“Kau sudah bangun, Sayang?,” Mas Lintang mengecup lembut pipiku. Dia membangunkanku sepulang dari jamaah subuh di masjid.
“Hmmm ... ,” aku menggeliat, “ah, rasanya badanku sakit semua, Mas.” Jawabku membenarkan posisi tidurku. Hamil tua membuatku susah tidur nyenyak. Telentang sebentar membuat sesak nafas, miring ke kiri sebentar sudah pegal-pegal. Ah nikmat sekali rasanya.
“Sabar sayang, sebentar lagi saat dia hadir ke dunia, kau sudah tak akan merasa kepayahan ini lagi,” kanya sambil mengelus perut buncitku.
“Ayo bangun, salat subuh dulu, lalu kita jalan-jalan! Atau mau kugendong ke kamar mandi?” godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
“No! Aku masih bisa jalan sendiri.”
Dia berjalan ke kamar mandi membawakan handuk dan menyalakan kran air panas, lalu berjalan lagi ke arahku, mengambilkan sandal lantai, dan memasang di kakiku yang sedikit bengkak.
“Terima kasih,” kataku mengelus sebelah pipi, sikapnya memang selalu manis.
Berjalan melewati timbangan berat badan, aku naik dan melihat angkanya yang terus bertambah, terkejut karna ke kanan terlalu jauh, ternyata Mas Lintang meletakkan satu kakinya di belakangku.
“Menyebalkan!” aku berbalik, memukuli dadanya.
Dia berlari sambil tertawa. “Aku tunggu di luar ya, Sayang!”
“Hemmm.”
Mas Lintang, melemparkan kecup jauh yang kutangkap lalu kubuang. “Dasar gombal.”
Keluar dari kamar aku sudah di sambut segelas susu hangat. Mas Lintang sendiri yang membuatkan, seperti biasanya. Setelah terminum habis, ia juga yang kembali menaruhnya di dapur, dan aku berjalan ke luar rumah terlebih dahulu.
“Pagi, Bu! Kami mau jalan-jalan, mau dibelikan sesuatu untuk sarapan?” sapaku pada ibu yang sedang menyiram tanaman di depan rumah.
“Tidak, nanti ibu masak saja. Sana kalian pergi saja.” Usir ibu mertua.
“MasyaAllah, cantik sekali, ya?”
“Siapa? Ibu ‘kan memang dari dulu cantik.”
“Mawarnya, Ibu.”
Bunga mawar di depan rumah memang sedang mekar indah-indahnya. Seperti kisah cinta kami berdua yang semakin merekah sejak ada dia yang begitu kami damba.
“Secantik dirimu, Sayang.” Lagi, suamiku itu memang pintar menggombal.
Aku mencebik, mengabaikannya, dan terus berjalan ke jalan raya yang masih sepi. Mas Lintang mengikuti dengan berlari kecil dengan terus menggodaku. Sepertinya dia memang senang melihat istrinya kesal.
“Mas, kata dokter wanita hamil tidak boleh malas, tapi ibu selalu melarangku ini itu, dan membuatku malas bergerak seharian,” keluhku padanya.
“Berbahagialah, tidak banyak ibu mertua yang sebaik dia.”
“Benar juga, mungkin itu cara Allah memperkenalkanku dengan kasih sayang seorang ibu, di mana aku tak cukup waktu merasakannya, dulu.”
Panggilan telepon membuatku terbangun dari mimpi yang indah tetapi menyesakkan hati. Kenapa tiba-tiba mimpi datang seperti yang pernah kualami di masa lalu. Sementara aku tidak sedang memikirkan mereka semalam sebelum tidur.
Tangan ini mencari benda pipih yang suaranya membangunkan tidur tadi, kutemukan di atas nakas, dekat lampu tidur. Terlihat di tampilan layarnya nama mantan ibu mertuaku, sepertinya dia begitu merindukanku, hingga datang dalam mimpiku.Meski berat hati, kuterima juga panggilannya.
“Assalamualaikum, Bu!”
“Wa alaikumsalam, Nak! Ke mana saja kamu ini? Hitung berapa panggilan ibu yang tak kamu jawab?” cecarnya dari jauh seakan sedang memarahi anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravinka
General FictionBagaimana jika seorang istri terpaksa melangkah keluar rumah dan digantikan wanita lain? Ravinka harus merasakan pedihnya hamil sendirian saat percerain merengut kebahagiaannya bersama Lintang- suaminya-. Bisakah mereka kembali bersama demi buah hat...