Tentang yang Pernah Ada

14 1 0
                                    

Asha menatapku seperti menyuruh untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun, rasanya aku masih belum siap juga, andai reaksi ibu tak seperti yang aku harapkan, itu akan menyakiti hatiku lagi.

“Orang patah hati sering banyak makan untuk mengalihkan perhatian, Bu! Mungkin aku sebagian dari mereka, jadi tak mengontrol berat badan.”

Ibu malah tertawa. “Ada-ada saja anak jaman sekarang, jaman ibu ditinggal ayah Lintang, makan saja tak pernah merasa enak. Kalau bukan Lintang yang memaksa, tak ada sesuap pun yang masuk.”

“Ibu kan, orang kuno!” kataku tertawa. Ibu menjewer telingaku.

Kami melanjutkan dengan acara makan. Selesai makan, Asha pamit pulang, dia bilang ingin bertemu Arfian untuk membahas kelanjutan hubungan mereka. Sementara, ibu masih tinggal untuk bicara berdua, lebih tepatnya Ibu yang bicara dan aku banyak mendengarkan.

“Runi sudah hamil, Inka! Tapi mengapa ibu tak sebahagia saat kau hamil dulu? Rasanya semua biasa saja, bahkan Lintang juga terlihat tak sebahagia bersamamu.”

“Mungkin semua sedang berproses, Bu. Cobalah lebih menerima kehadirannya, apalagi dia sedang hamil, butuh perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Janinnya akan terpengaruh dengan psikis ibunya, Bu.”

“Sekarang rumah begitu sepi, dan terasa ada kehampaan di sana. Runi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ayahnya, dan Lintang lebih sering pulang malam. Makanya, ibu sering mencari hiburan datang kesini.”

“Jadi aku hanya pelarian, Bu?” tanyaku bercanda.

“Bukan begitu, ibu sudah terlanjur menemukan sosok anak dalam dirimu, jadi ibu tak bisa mengabaikanmu meski sudah menjadi mantan menantu." Kata ibu sambil menerawang. Mungkin mengingat masa indah bersamaku.

Beliau bercerita banyak hal, Mas Lintang yang tak pernah lagi tersenyum apa lagi bercanda, sikapnya menjadi sedingin salju. Ibu juga merasa menyesal atas semua yang sudah terjadi. Namun semua tak mungkin terulang lagi bukan?
Entah aku harus bahagia atau ikut sedih dengan pernyataan ibu, tetapi aku mencoba bersikap biasa saja. Anggaplah aku hanya mendengar seorang ibu yang sedang berkeluh-kesah tentang anaknya, tak perlu kupikirkan, jika itu tentang matan suamiku. Ini demi tetap memelihara kewarasanku.

Kadang, rasanya aku ingin kembali ke desa tempat nenek membesarkanku saja, di Kota Yogyakarta. Mungkin akan lebih tenang, jauh dari masa lalu yang terus membayangiku, bahkan seperti mengejarku.

“Bu, aku berencana pindah ke Jogja. Saat surat pengunduran diri sudah dikabulkan oleh kantor.”

Ibu Nami tampak kaget, dan mungkin tidak rela.

“Apa kamu ingin pergi, karena ibu selalu mengganggu?”

“Mungkin ...." Aku menunggu reaksi ibu.

“Kalau begitu ibu tidak akan datang lagi. Kamu, tetap bisa hidup tenang di Jakarta, tak perlu lari dari ibu." Katanya seperti menggambarkan rasa akan kehilangan.

“Aku, hanya bercanda. Bukan tentang ibu, hanya saja aku memang ingin kembali ke Jogja,” elakku, padahal yang sebenarnya memang ingin menghindari mereka.

Ibu pulang cukup malam, saat Mas Lintang menelepon mencarinya. Aku dengar dari ujung telepon suaranya masih sama. Masih mendebarkan jantungku, tiba-tiba rindu yang kupendam, menyeruak ke permukaan.

Lebih menyedihkan saat Ibu Nami mengatakan ada di rumahku, tapi Mas Lintang seakan abai dengan tidak menanyakan kabarku sedikit pun. Tidakkah dia rindu? Atau setidaknya ingin tahun keadaanku.

Rasanya aku jadi sulit bernafas. Mengendalikan diri agar tak menangis saat ini juga, setidaknya sampai Ibu pergi meninggalkan rumahku. Aku menjatuhkan diriku di sofa dan menangis lagi sejadinya. Masih sakit, sangat sakit. Apa artinya cintaku masih sama? Masih belum berkurang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RavinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang