Memulai Hari Baru

16 0 0
                                    

Bersyukur bisa melewati hari-hari terburuk adalah yang pertama aku lakukan saat ini. Meski masih tertatih, kini semuanya mulai berjalan lebih baik.

Dua bulan sudah berlalu semenjak malam itu, saat kuputuskan untuk meninggalkan rumah Mas Lintang dan ibunya. Memilih tinggal sendirian di rumah yang kami beli dengan uang bersama, aku dan Mas Lintang.

Kami membelinya bukan untuk tempat tinggal, hanya sebagai harta milik bersama, yang akhirnya diberikan padaku setelah putusan sidang perceraian.

Alhamdulillah segala proses perceraian berjalan mudah karena aku meminta demikian dari pihak Mas Lintang. Aku yang mengajukan gugatan dan dia hanya tinggal menandatangani surat cerai.

Tak lupa aku meminta Mas Lintang untuk tak pernah datang ke persidangan, agar membuat hakim mengesahkan perceraian lebih cepat, yaitu hanya dalam tiga kali pertemuan sidang.

Mas Lintang sudah menikah dengan wanita pilihan ibunya, sebulan pasca perceraian kami disahkan oleh kantor pengadilan agama. Sesuai janji yang kuminta, ia tak pernah lagi datang menemuiku.

Kadang, hanya mantan ibu mertua yang sesekali datang ke rumah, menceritakan apa yang terjadi dengan Mas Lintang saat ini. Entah apa niatnya, aku tak mengerti, sebenarnya diri ini pun merasa muak, namun aku masih punya peri kemanusiaan, tak mungkin mengusirnya begitu saja.

Aku memang sebatang kara di kota besar ini. Sedang di kota asalku, Yogyakarta, setelah ibu dan ayah meninggal bersamaan dalam sebuah kecelakaan, aku tinggal bersama nenek. Selang dua tahunan setelah pernikahanku, nenek pun meninggal. Jadi tinggallah aku sendiri pasca berpisah dari Mas Lintang. Mungkin karena itu, Ibu Nami kasihan dan masih sering berkunjung.

Jangan tanya apa yang terjadi dua bulan ini seperti apa? Memulihkan kepercayaan diri sanggatlah sulit. Berusaha tak peduli dengan pandangan aneh orang yang bertanya-tanya. Belum lagi tentang rasa sakit akibat patah hati ini, begitu menguras air mata.

Ya Allah,  andai saja diri ini artis, mungkin konferensi pers akan aku lakukan agar tak ada yang mencibir dan memandang hina tanpa pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya padaku.

Saat tetangga mulai menanyakan keberadaan Mas Lintang yang hanya terlihat sekali datang ke rumah ini, aku memberanikan diri berbicara jujur pada mereka. Kukatakan bahwa kami sudah berpisah.

Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, aku tak ambil pusing, bagiku jujur dengan statusku sekarang adalah keputusan terbaik.

Berdiri di depan cermin dengan riasan sederhana, bersiap menuju kantor di mana aku bekerja di bagian staf administrasi.  Kepalaku akhir-akhir ini sering pusing dan badan pun merasa lemas.

Seperti pagi ini, rasanya malas sekali pergi bekerja. Andai saja ini hari libur, mungkin tidur seharian untuk memulihkan badan akan lebih menyenangkan. Tapi aku terlanjur banyak izin cuti sebelum hari ini, jadi aku harus tetap berangkat meski dengan sangat malas.

Berjalan keluar dengan sepeda motor dan disambut sapaan ibu-ibu tetangga di depan gang rumah, tempat pak tukang sayur biasa mangkal, aku melajukan motor sedikit pelan untuk sekedar menyapa dari atas kuda besi ini.

“Permisi, Ibu-ibu!” aku mengangguk dengan sopan.

“Berangkat kerja, Mbak Inka! Tidak belanja dulu? Ini sayurnya segar-segar!”

“Iya, Bu! Permisi ya semuanya, jamnya sudah mepet," jelasku sambil tetap memacu motor dengan perlahan-lahan.

Menghindari perkumpulan semacam tadi sudah menjadi kebiasaanku, agar aku tak harus banyak berinteraksi yang akhirnya membuat kekepoan mereka semakin menjadi.

Aku tersenyum sendiri saat mengingat seseibu yang selalu terlihat baik dan peduli, tapi dia selalu menyebar hasil tangkapannya untuk menjadi konsumsi publik. Jadilah cukup seperti ini saja caraku berdamai dengan mulut tetangga.

RavinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang