Kiyo

479 47 6
                                    

Siang itu, mereka mendapat paket dari Anyang. Setelah dibuka ternyata berisi beberapa macam sayuran segar hasil panen orangtua Mingyu yang bercocok tanam untuk mengisi waktu luang. Mereka bilang sayuran organik adalah yang paling bagus untuk pertumbuhan Seungjae.

"Appa, carrot," kata Seungjae yang berdiri di kursi –sambil menunjukkan sebuah wortel yang lebih besar dari genggaman tangannya.

"Iya, carrot, wortel," sahut pria itu, sedang sibuk menyiapkan untuk mengemas sayur-sayuran tersebut agar tetap segar dalam beberapa hari ke depan.

"Telfon orang rumah dulu, Hyung. Nanti mereka bertanya-tanya sayurnya sudah sampai belum," Seungkwan yang melintas membawa keranjang berisi pakaian bersih mengingatkan, sebelum mereka mulai sibuk mengemas.

"Oke,"

Mingyu mengambil handphonenya di sofa, sementara tetap memperhatikan anak mereka yang sedang asik mempelajari bermacam-macam sayur.

"... iya, Eomma. Ng, aku akan mengemasnya seperti yang Eomma bilang. Seungjae sedang—"

"Appa!" Anak laki-laki itu terlihat hendak turun dari kursi, kali ini agak kesulitan. Baru akan beranjak, rupanya Seungjae sudah berhasil. Di tangannya tampak membawa sesuatu. "Ini Seungjae, dari tadi paling bersemangat,"

"Appa, hand,"

Sambil mendengarkan ucapan Ibunya di seberang, Mingyu menuruti permintaan Seungjae –mengulurkan tangan dan membuka telapak tangan karena sepertinya anak itu hendak memberikan sesuatu.

Belum sempat mendarat, matanya menangkap sesuatu yang bergerak-gerak berwarna hijau cerah. Seketika pria itu menarik tangannya dengan wajah yang panik.

"Appa?" Seungjae mendongak menatapnya, dengan kening mengernyit.

"Eomma, sebentar," ujarnya. "Seungkwan!" seru Mingyu –ia berusaha agar tidak terdengar panik tapi kakinya naik ke atas sofa. "Seungkwan!"

Tak lama, yang lebih muda keluar dari kamar agak tergesa karena dia pikir Mingyu sedang butuh bantuan. Memang tidak salah, tapi melihat pria itu berada di sofa, terlihat santai membuatnya agak kebingungan.

"Kenapa, Hyung?"

Lewat isyarat mata, Mingyu menunjuk pada Seungjae yang masih berdiri di dekatnya.

Seungkwan langsung merespon, ia hendak menegur karena berpikir Seungjae akan memakan jelly padahal belum waktunya. Tapi, begitu melihat jelly itu menggeliat, bulu kecil di tengkuknya meremang.

"Papa!" Dengan senyuman cerah, Seungjae menunjukkan seekor ulat berwarna hijau pada Papanya yang masih mematung di tempat. Sejujurnya dia sangat dilemma. Ingin meledakkan ketakutan, tapi dia khawatir akan mempengaruhi anak mereka ke depannya. Dia dan Mingyu sepakat tidak ingin Seungjae menjadi penakut seperti mereka berdua.

"Ah, itu ulat, Sayang," katanya, berlagak seolah dia baik-baik saja.

"Untuk Papa," Anak laki-laki itu mendekat, membiarkan ulat yang sebesar jari-jari kecilnya di telapak tangan.

Seungkwan menoleh pada pasangannya, meminta pertolongan –tapi pria itu lebih pucat dan ketakutan dibanding dirinya.

Sambil mempertahankan senyumnya, Seungkwan melangkah –mengambil salah satu teflon mainan Seungjae. "Coba letakkan ulatnya disini," katanya, menyimpan mainan tersebut ke lantai.

Seungjae dengan bersemangat menuruti, dan menyimpan ulatnya disana. Serangga hijau nan empuk itu langsung menggeliat berada di tempat baru.

Seungkwan dan Mingyu saling berpandangan. Moment ini adalah yang paling membingungkan dalam hidup mereka. Keduanya sangat takut serangga, namun tidak ingin bereaksi histeris demi anak mereka. Di sisi lain, rasanya ingin menjauh beratus-ratus meter karena tidak tahan menyaksikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Years LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang