002

218 12 0
                                    

A/N: Contains strong language, please be wise. Ada perubahan nama tokoh, hanya nama, Nasha menjadi Adrienne. Di media adalah foto Maddock. Penjelasan yang panjang yang diperanin oleh Adrienne memang sengaja. Karena awal cerita dia harus banyak ngenalin kan, jadi jangan bosen ya. Hihihi.

===========#$%^&(/

Adrienne's POV

Silir angin musim semi yang semakin dingin menembus pori-pori kulit tubuhku. Keringat dingin yang mengalir di leher, rambut-rambut kecil di sekitar kening dan pelipis yang basah menghantarkan suasana lelah.

“DIMANA!” aku kembali meninggikan nada suaraku. Dan bersamaan dengan itu, air mata tak tertahankan menuruni pipiku. Rapuh sekali.

Namun pria yang berumur enam puluhan itu masih tak berkutik. Kilat di matanya bahkan tidak terlihat seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Kala itu, pria ini termasuk salah satu pria yang tak terkalahkan. Postur dan otot yang melekat di tubuhnya begitu menjanjikan perannya sebagai seorang penjahat berkelas di  Meksiko, bahkan di kota besar New York sekali pun.

“D-dia,” pria itu mulai membuka mulut. “di-a diambil sesaat setelah kau menemuiku.” Cara berbicaranya yang terbata-bata dan mata pria itu yang memerah menyiratkan rasa takutnya. Takut akan diriku, takut akan apa yang dilakukan olehku.

“Ak-aku tidak tahu dimana, Adrienne.” Kepalan tanganku mengendur, aku tak sanggup melakukannya lagi. “Aku, a-aku sungguh tidak tahu.”

Terpikir akhirnya olehku untuk melepaskan genggamannya dan mendorong keras dirinya ke jalan. Tubuhku semakin lemas meresponnya, pandangan mataku kosong tak mengerti menatap apa. Napasku tak beraturan. Setelah memastikan emosiku terkendali, pria berumur itu membenarkan letaknya dan mengambil posisi duduk masih di tempat yang sama.

“Aku langsung berhenti sesaat setelah kejadian itu, Adrie.” dia masih sedikit menunduk.

Aku masih menatap kosong lurus ke depan. Pandangan mobil dan sosok pria yang mobilnya aku hancurkan tadi seakan hanya garis-garis buram yang tak tertangkap dengan benar oleh retina mataku. Penjelasan pria baya itu tidak cukup memberikan bayangan akan keadaan Ayah sekarang. Aku merebahkan tubuh di pohon Ara yang cukup besar, tanganku bergerak mengambil lututku sendiri, mendirikannya. Kedua mataku tiba-tiba saja terasa berat dan begitu lembab. Aku tidak pernah berharap menjadi rapuh seperti ini.

 “Maafkan aku, Adrie. Aku harus segera pergi. Aku tidak ingin seseorang melihat kita dan terjadi sesuatu padamu.” ujarnya sedikit terdengar menjijikan di telingaku.

Dia, Tuan Jenskin adalah musuh bebuyutan ayahku yang tentu saja membuatnya menjadi musuh bebuyutanku juga. Setelah kejadian itu, mereka― bekas para penandang cacat wisma yang menjadi korbannya― bilang, pria ini menjadi sakit-sakitan. Paru-parunya terganggu, ditambah asma dan diabetes yang dideritanya, membuatnya harus ditendang keluar dari grup mafia yang paling berkuasa di New York. Tubuhnya juga sangat ringkih sekarang. Well, fuck with that! Aku tidak peduli, aku tidak peduli sedikit pun dengan keadaannya. Namun sebagai manusia normal, aku masih memberinya kesempatan untuk hidup sebelum aku melahapnya habis karena tidak memberi tahu keberadaan ayahku sekarang. Karena faktanya memang dia tidak mengetahui apapun sejak itu.

Pria itu mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang dimilikinya akibat benturan hebat pintu mobil yang sengaja aku buka tadi. Aku baru saja merusak motor Jenskin dan mobil pria asing yang masih aku biarkan menonton kejadian ini. Dia berjalan pincang ke sisi kananku mengambil kaca spion yang pecah dan rusak parah ke dalam tas gendongnya, dan setelahnya, dia pergi tanpa lagi berkata.

“Aku payah, aku sangat payah, aku tidak berguna.”

Sedu perlahan mulai mencuat keluar dari mulutku. Semua penyesalan atas apa yang telah aku lakukan pada ayahku, aku tidak lagi sanggup untuk menyimpannya. Bagaimana Ibu meninggalkanku demi bajingan itu tanpa alasan. Tepat di hadapanku Ibu mencium pria bajingan itu dan berlari pergi tanpa sedikit pun menoleh. Mungkin untuk meninggalkanku sedikit koin sebagai upah makan untuk satu malam? Tidak, dia tidak menoleh sedikit pun, bahkan hingga sekarang. Apakah ini kali pertamanya ada seorang anak yang begitu membenci Ibunya sendiri? Apakah aku sehina itu sehingga aku pantas ditinggalkan oleh kedua orang tuaku sendiri di bilanganku yang belum genap sebelas, saat itu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BIZZARETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang