1

48 5 3
                                    

Bukan yang pertama kalinya, Oji marah atau kesal pada yang namanya kehilangan dan kepergian. Ia sudah biasa. Kepergian temannya satu persatu karena hal yang tidak masuk akal, kepergian Dama –sepupu sekaligus teman baik tempatnya bercerita– ke Jerman demi menempuh pendidikan, kehilangan cinta kasihnya –seorang gadis cantik bernama Olin yang pernah mengisi hatinya– yang membuatnya dilanda muram selama seminggu, dan kehilangan benda-benda kesayangannya secara tiba-tiba ditempat yang sama.

Namun, semuanya berjalan begitu saja. Seolah terbiasa, Oji menganggap perihal kepergian dan kehilangan adalah suatu hal yang lumrah dalam hidup. Orang datang lalu pergi, iya 'kan? Kita hidup lalu nantinya juga akan berada dibalik peti dan tanah, lalu kita seolah hilang begitu saja dari dunia. Diingat atau tidaknya kita, tergantung. Apa kita mati, meninggalkan nama seperti yang orang-orang bilang? Tergantung. Bagi Oji, hal itu sudah seharusnya ada dan menjadi pelengkap lembaran cerita manusia.

Takdirnya sudah begitu. Entahlah, Oji sesekali bersikap skeptis pada hal yang berbau takdir. Terkadang ia menyebut takdir itu sebuah kebetulan yang direncanakan Tuhan. Lalu apa bedanya? Oji hanya..., tidak memercayai satu kata itu. Tentang benda-bendanya yang hilang, ia pikir itu hanya kebetulan saja. Mungkin ia lupa menaruhnya dimana. Atau dengan kepergian seseorang dari hidupnya dan meninggalkan ruang kosong lalu setelahnya seseorang yang baru akan mengisi ruang kosong itu. Semua yang terjadi adalah sebuah kebetulan, baginya.

Termasuk teman-temannya dan kisah cintanya. Pertemuannya dengan teman-temannya lagi-lagi hanyalah sebuah kebetulan. Bicara soal teman, Oji bilang teman-temannya hanyalah teman-teman yang biasa saja. Seperti teman-teman kalian. Oji hanya bisa tergelak saat seseorang mengharapkan sosok teman yang akan selalu ada, menemani hari-harinya, melakukan hobi yang sama, terlihat akur sampai dikira bersaudara. Mungkin ada orang-orang diluar sana yang mengalami hal itu, tapi ia terkadang terlalu skeptis hanya untuk hal sepele seperti itu dan menganggap hal itu hanya ada didalam dunia fiksi. Seperti kalimat 'realita itu tidak akan seindah ekspektasi'. Teman-temannya hanyalah teman seperti pada umumnya, bercanda saat dosen mereka tengah menjelaskan, melempar tatapan genit saat adik-adik Maba lewat dihadapan mereka, tertawa lebih dulu saat temannya terjatuh baru setelah itu ditolong, bersedih bersama karena skripsi yang terus-terusan direvisi, menahan kesal saat salah satunya meminta bantuan padahal sedang dalam mode mager-magernya, menggosipi salah satu dari mereka saat ada yang berhalangan hadir ditongkrongan, mengejek satu sama lain kalau sedang sial, dan berlaku seenaknya seolah mereka sudah seperti teman yang sudah kenal dari lahir.

Bukankah teman-teman Oji adalah bentuk ekspektasi kita semua? Mengharapkan teman-teman kocak dan akan berlaku seenaknya pada kita, yang justru kita menganggap hal seperti itu seperti sebuah goals dalam pertemanan. Menganggap hal itu seperti 'teman-temanmu enak ya. Asik semua. Gak kayak teman-temanku yang membosankan'. Maka sekali lagi, Oji akan menghadapkan kita pada kiblat : 'realita itu tidak akan seindah ekspektasi'.

Jika menurut Oji teman-temannya seperti selayaknya manusia pada umumnya, maka baginya Olin, Feby, Farah, dan barisan para mantannya adalah manusia yang luar biasa! Termasuk kisah cintanya dengan Alina. Baginya, Oji adalah seekor semut yang lapar ditengah padang pasir yang gersang dan Alina adalah air baginya. Eh, tunggu dulu.., kalau semut dan air..., mati dong?! Ya sudah, Alina akan berperan sebagai gula. Yang dimana Oji akan terus mencari Alina di kelasnya, di kantin fakultas gadis itu, di parkiran kampus, di rumah Mega, di apartemennya, dimanapun. Kenapa? Kan semut akan selalu mencari makanan manis dimanapun itu, sama halnya seperti Oji mencari Alina dimanapun sampai Alina terkadang kesal dibuatnya. Biarlah teman-temannya meledeknya dengan sebutan 'bucin', Oji tidak peduli. Karena hanya Alina yang akan selalu Prud**ential padanya, always listening always understanding.

Alina sendiri bukan mahasiswi Psikologi yang selalu Prudential seperti yang dikatakan Oji. Gadis itu adalah mahasiswi Kedokteran satu tingkat dibawah Oji. Orang-orang terkadang heran, mengapa Alina mau menjalin tali silaturahmi tingkat atas alias pacaran dengan Oji, yang notabenenya lelaki itu adalah mahasiswa fakultas Hukum semester akhir. Sementara anak Hukum sering dipandang sebelah mata dengan fakultas lain. Karena banyak sekali berandalan yang lahir dari fakultas kampusnya. Bukan hanya berandal kampus, kating yang cantiknya kayak bidadari juga ada, kating most wantednya ciwi-ciwi maba juga rata-rata dari hukum, sampai playboy kelas kakap kampus juga banyak yang dari fakultas itu, anak-anak petinggi Negara, dan banyak lagi deh. Tapi diantara yang tersebutkan tadi, Oji masuk ke dalam golongan playboy tapi tidak sampai ke tingkat kelas kakap juga, mantannya masih bisa dihitung jari. Tapi sejak sama Alina, mau taubat aja deh, katanya. Lihat saja nanti.

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang