2

20 4 0
                                    

Hari ini hari sial bagi Oji. Opet, beat bututnya mogok. Tidak sial-sial amat sebenarnya, Opet mogok didepan komplek rumahnya. Yah, setidaknya ia masih bisa mutar balik masuk komplek mendorong Opetnya sambil misuh.

"pet, lo ngertiin gue dikit ngapa dah? Gue ini ada janji ama ayang beb. Ntar gue diputusin gara-gara telat jemput dia gimana? Nurut sekali-kali lah, pet. Gue ngabisin setengah tabungan demi ngasi makan lo, bayarin pajak, servis rutin. Baek banget deh gue, tapi lo bandelnya minta ampun. Coba deh ya, gue mana pernah ngebuat lo sampe kelaperan. Ya walaupun bensin literan doang tapi kan itu juga duit, pet." Oji manyun sepanjang jalan.

Sebenarnya ia bisa saja memakai mobil Papa yang terparkir rapi di garasinya. Cuman tadi, saking takutnya kelupaan waktu sehabis main PUBG, Oji langsung tancap gas sama si Opet. Tapi hari ini kayaknya memang bukan harinya Opet.

"paaaaa. Kunci Cecep dimana ya? Opet ngambek lagi." Oji sudah sampai beberapa menit yang lalu –kembali kerumahnya– lantas tunggang langgang mencari kunci Cecep, mobil Papa. Bukan Oji yang sekurangkerjaan itu memberi nama setiap kendaraan yang ada dirumahnya, tapi Papa. Papa memang begitu, Oji wajar saja. Malah tidak peduli. Sempat misuh karena Papa memberi nama beat bututnya dengan nama Opet, tapi mobilnya sendiri diberi nama Alex. Biar impas, Oji memberi nama mobil hitam itu Cecep.

"di laci. Cari baik-baik, misuh terus kapan ketemunya?" Oji mendengus. Sibuk mengobrak-abrik laci lemari Partisi yang membatasi Ruang Keluarga dan Ruang Tamu.

"gak ada paaaaa."

"cari yang bener deh, jangan bikin papa panik juga."

Oji menghela nafasnya, "gak adaaaa."

"laaaaah." Oji mengernyit bingung mendengar sahutan Papa diseberang telfon. "keikut papa kak. Hehehe." Oji menjauhkan ponselnya lantas menatapnya kesal sambil berkacak pinggang.

"terus aku gimanaaaa? Aku mau jemput nanaa."

"angkot kan ada kak."

"PAPA!"

Papa terkekeh diseberang sana, "cari kunci serep di laci lemari kamar papa."

Oji masuk ke kamar Papa, mengobrak-abrik laci lemari yang dimaksud. "dapet. Oke pa, tengkiu, lop yu. Bai." Lantas memutus sambungan. Tapi sebelum benar-benar menutup laci itu, Oji melirik ke sebuah foto. Yang dimana ada Papa dan seorang Pria yang juga terlihat seumuran dengan Papa, saling merangkul dan tertawa satu sama lain. Lantas menutup lemari itu, Oji tidak peduli.

Sudah lama sebenarnya Oji tidak menyentuh Cecep, karena Opet tetaplah yang terbaik. Alasannya? Kalau macet cepat sampai lah. Tidak seperti sekarang, ia harus terjebak macet lampu merah di perempatan belum jauh dari kompleksnya. Sebenarnya Cecep sempat hampir jatuh ke tangan Oji dan Opet jatuh ke tangan Alisa, adiknya. Tapi mengingat adiknya itu memilih tinggal dirumah eyang putri di Malang, akhirnya Opet tetap menjadi soulmatenya. Ya tidak papa juga sih. Oji tidak peduli. Yang penting cepat sampai dan tidak terjebak macet, itu saja.

Ah ya, tahu tidak? Awalnya Oji ragu ingin menembak Alina. Ya, karena Alina itu kayak punya segalanya. Bukan apanya, ia hanya trauma dengan Feby yang secara terang-terangan mencela Opet, jelas lah Oji marah. Tapi Alina, justru gadis itu memilih diantar jemput olehnya bersama Opet, katanya seru. Oji jelas heran. Perempuan zaman sekarang lebih memilih pria bermobil dan tubuh yang berbalut barang branded daripada kesetiaan dan ketulusan, juga Opet. Bukan insecure, cuman ya... Alina bisa dibilang cukup mampu. Alina masuk Fakultas Kedokteran saja lewat jalur Mandiri. Yang dimana, biaya jalur mandiri FK itu cukup buat beli 1 unit mobil yang seharga sama Cecep, belum lagi biaya uktnya. APAKAH SETARA DENGAN BIAYA HIDUP OPET? Oh, tentu tidak kawan :)

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang