I don't know what to do I'm acting like this without even knowing Such an ambiguous thing
Kala itu, angin membelai surai hitam milik seorang gadis yang berada di bawah teduhnya pohon. Tenggelam dalam hening yang ia ciptakan. Valerie-nama gadis itu-yakin bahwa apa yang didengarnya itu adalah suara dari sosok yang berada disampingnya setelah beberapa sekon yang lalu mengutarakan frase dalam sekali tarikan nafas. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas ucapan tersebut selain membiarkan sunyi menelan mereka secara perlahan. Pada akhirnya gadis itu menghela nafas, mencoba menguatkan dirinya sendiri untuk mengucapkan frase yang ia yakin nantinya akan menyakiti diri.
"Lalu, apa yang ingin lo omongin ke gue? Bukannya tadi lo bilang ingin bicara sesuatu," tanya Valerie. Sesungguhnya Valerie tahu apa yang akan dikatakan oleh lawan bicaranya. Tapi dirinya butuh kepastian dari kuriositas yang selama ini ingin ia dengar dari lawan bicaranya bukan frase tidak pasti dari orang lain.
Sosok itu menggoreskan senyumnya setelah mendengar ucapan Valerie, dan sesekon kemudian, "Lo tahu kalau gue itu suka banget sama hal yang berbau pesawat." Ya, Valerie sangat tahu apa yang disukai Dhani. Kendaraan yang mampu terbang di angkasa itu adalah kesukaan Dhani sejak kecil sedangkan menjadi pilot adalah cita-citanya. "Bokap bilang setelah gue lulus dari SMA, gue bakalan sekolah penerbangan di Australia," lanjut Dhani.
Valerie tidak tahu harus bertindak seperti apa, apakah harus ikut senang karena kebahagiaan Dhani atau sedih karena harus kehilangan sahabatnya. Gadis itu menatap Dhani sambil tersenyum. Setidaknya sebagai sahabat, Valerie harus bisa menempatkan dirinya. Membiarkan dirinya ikut terhanyut dalam kebahagiaan yang Dhani rasakan sekarang. Tapi Valerie menyadari bahwa hatinya berkata lain.
All night, I tossed and turned My heart feels off I'm starting to get snappy What do I do?
Lagu kesukaan Valerie melantun dengan indah, ditelinganya terselip earphone yang terhubung dengan ponsel miliknya. Lagu Half Moon yang dinyanyikan oleh Dean mewakili perasaannya kali ini. Valerie pribadi tidak terlalu menggemari musik aliran R&B. Tetapi ketika Sabtu malam menyambutnya dengan berselancar di dunia internet, yang berakhir mendengar lagu-lagu aliran R&B / soul, maka hari-harinya mendendangkan lagu milik Dean pun dimulai.
Ada satu eksistensi yang membuat lagu itu terus-menerus menempeli pikiran Valerie, lalu memprogramkan wajahnya yang memetakan senyum manis sebelum ia terlelap, lantas keesokan hari, Valerie akan mendapati sesuatu berkonfrontasi di dalam dada ketika mereka berada dalam spektrum yang sama. Adalah Dhani, sahabatnya sejak tahun pertama sekolah dasar. Dhani, yang ia asosiasikan seperti lubang kelinci dalam epik Alice in Wonderland; menyita kuriositas, mendistraksi fokus, menagih atensi, dan ketika ia sepenuhnya jatuh, semestanya terjungkirbalik.
Tetapi katakanlah Valerie terlalu pengecut untuk mengirimkan sinyal bahwa ia menyimpan sebentuk romansa untuk pemuda itu, takut merusak persahabatan yang telah terjalin lama-alasan klise memang. Hingga tahun-tahun terlewati, dan sampailah mereka di penghujung perjalanan sekolah menengah.
Apalagi setelah kejadian sehari yang lalu, membuat Valerie bingung tentang perasaannya. Pada satu sisi ia senang melihat Dhani berada dekat dengan impiannya, tetapi sisi lain merasakan sedih yang amat dalam karena setengah kebahagiaan hidupnya akan pergi untuk menggapai cita-citanya.
Valerie benci akan hal yang bersifat melankolis. Seharusnya hari kemarin tidak pernah datang kehidupannya. Acara mengobrol mereka tidak begitu lama. Barangkali hanya beberapa menit. Namun efeknya cukup kuat hingga membuat Valerie terserang sindrom galau a la anak remaja zaman sekarang. Sialnya, mau bagaimana lagi? Saat itu Dewa keberuntungan tidak berada dipihaknya.
Semenjak hari itu, Valerie belum sesekon pun bertatap muka dengan Dhani. Bisa saja Valerie berkelit dari realita, bertandang ke kelas Dhani, mengajak makan siang bersama atau sekadar mengobrol. Tapi hati Valerie belum siap memandang mata indah Dhani yang meluluhlantakkan pertahanan dirinya.
Menghindar pilihan yang tepat, bukan?
It's the last time, so I got ready to say goodbye.
Hari itu tiba; menurut Valerie sebulan rasanya seperti sehari-benar-benar terasa cepat. Semalam Dhani mengiriminya pesan, mengingatkan untuk datang ke bandara, barangkali Dhani ingin mendengar Valerie mengucapkan salam perpisahan. Baik. Itu hanya khayalan yang menumpang lewat dipikiran Valerie, abaikan saja.
Dan di sini, di bandara yang diutarakan Dhani semalam. Tempat Valerie berpijak sendirian-menunggu eksistensi Dhani.
Sebuah metafora segera membumbung ketika pandangan keduanya saling membentur; mengirim sinyal pada tungkai masing-masing untuk merajut langkah ke koordinat satu sama lain. Jarak mereka cuma sekepalan tangan sehingga parfume Dhani yang searoma teh hijau baru diseduh menerobos sinus gadis di hadapannya.
"Ternyata elo datang duluan saking niatnya. Emang ya, lo itu sahabat baik gue," ucap Dhani. Entah kenapa Valerie merasa ada bom yang menghujam jantungnya, meluluhlantahkan dirinya. Sahabat. Anggap saja bahwa Valerie menerima dirinya berlabelkan 'sahabat baik Dhani' oleh pemuda itu. Nyatanya, Valerie menganggap Dhani lebih dari sekadar sahabat. Ia tidak menyangka hingga saat kepergiaan Dhani, label itu masih melekat pada dirinya dan sepertinya tak akan pernah berubah.
"Yaudah sana cepetan masuk. Nanti kalau lo terlambat, gue juga yang repot." Didorongnya punggung tegap Dhani. Reaksi dari pemuda itu berupa sebuah resital tawa kecil atas tindakan Valerie. "Kayaknya lo benar-benar pengen gue cepet pergi, bahkan lo belum ngucapin salam perpisahan ke gue," keluh Dhani sambil menampilkan senyum manisnya.
"Duh, Dhani, hati-hati ya disana. Inget! Jangan lupa makan yang teratur. Jangan lupa hubungin orang-orang yang ada di Indonesia. Belajar yang benar, katanya mau ajak gue keliling dunia. Kalau lo gak jadi pilot, gue harus ngeluarin banyak biaya buat travelling." Valerie menjeda ucapannya. "Cepat-cepat pulang ya," lanjut Valerie yang diakhiri senyum tipis.
"Iya, bawel. Udahan ya, sepertinya sudah waktunya gue berangkat. Jaga diri baik-baik selama nggak ada gue. Kalau ada waktu senggang, gue bakalan ke Indonesia. Australia-Indonesia dekat, kok." Dan sehabis memeluk Valerie, Dhani melesat; presensinya ditelan pintu masuk di ujung koridor bandara.
Valerie mendesah. Ia berdiri dekat kaca transparan besar yang menghadap ke arah landasan pesawat. Netranya tertuntut untuk terus memandangi pesawat yang ditumpangi Dhani. Dalam hitungan beberapa sekon, pesawat yang membawa Dhani pun terbang meninggalkan landasan, mengangkasa sepenuhnya.
Seharusnya, Valerie sudah mulai beranjak dari tempatnya berdiri sekarang. Namun serebumnya tak dapat mengontrol tubuhnya untuk merajut langkah. Tanpa sadar, kristal bening jatuh perlahan dari bola mata indah miliknya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.