The Biantara Twins

33 0 0
                                    

Semua orang ingin menjadi Morgan. 
Pemuda yang sangat populer di kalangan remaja SMA Institut Indonesia, aktif di kegiatan sosial dan berbagai ekstrakurikuler keolahragaan di sekolahnya.
Morgan juga sangat pandai, dirinya sering diminta untuk menjadi perwakilan dalam lomba cerdas cermat. Banyak para guru yang sudah bisa melihat kesuksesan Morgan di masa depan.

Begitu juga dengan Morgen, saudara kembar Morgan.
Dirinya juga sangat populer, namun lebih aktif di kegiatan seni, seperti menjadi ketua paduan suara, pemeran utama di setiap festival teater, dan beberapa kali menjuarai lomba melukis. 
Karena bakat seninya itu, Morgen sudah banyak mendapatkan tawaran beasiswa di berbagai institut seni baik yang berada di Indonesia maupun di luar negri.

"Ayah dengar, kamu mendapatkan surat beasiswa lagi, Morgen. Apa kamu sudah memikirkan mana yang akan kamu pilih?"

"Belum Yah, aku tidak begitu tertarik dengan yang mereka tawarkan. Aku sudah lelah menjadi pekerja seni." Jawab Morgen.

"Royal College of Art, bukan main-main Morgen! Kamu harus tahu, berapa ratus juta yang sudah dikeluarkan kakekmu untuk menyekolahkan ayahmu ini di sana. Dan lihat hasilnya, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau. Handphone, kamera, mobil terbaru, baju besutan desainer ternama. Menjadi kurator seni memang sulit, tapi ini buat masa depanmu. Masa depan keluargamu juga."

"Yah, aku akhirnya mendapat tawaran beasiswa juga loh."
Kata Morgan mendinginkan suasana.

"Ya." Jawab ayah

"That's it? Hanya ya saja?" Sahut Morgan kesal

"Morgan, ayah tahu masa depanmu sudah sangat jelas. Hanya saja adikmu ini, kita tidak akan pernah tahu seperti apa kedepannya. Ayah lihat di lenganmu ada tato. Mau jadi apa kamu? Preman?!" Bentak ayah.

Morgen mencoba menelan terlebih dulu babi panggang yang telah dikunyahnya. Kemudian ia berdiri mendekati ayahnya dan berteriak,
"Ayah tidak akan pernah tahu apa mauku! Dan ayah, beserta keluarga ini tidak akan pernah melihatku kembali lagi!"

"Morgen! Jaga bicaramu! Masuk ke kamarmu sekarang!"
Teriak ibu dari dapur. Morgen cepat-cepat mengemasi barangnya dan berlari menuju kamarnya.

"Ayah dan ibu tahu, tidak hanya Morgen yang akan menghilang. Tapi juga aku.. aku sudah menandatangani beasiswa di Eberhard Karls, Jerman. Dan maaf Bu, aku gagal mendapatkan beasiswa di Stanford."
Morgan lantas mengemasi barang-barangnya dan pergi menyusul Morgen.

Percekcokan keluarga Biantara memang terkenal di wilayahnya. Mereka memiliki 3 orang anak. Anak pertamanya, Natasha sudah terlebih dulu pergi meninggalkan rumah. Ini karena Natasha bermimpi menjadi seorang model, sedangkan keinginannya sangat ditentang oleh keluarganya yang konservatif.

                                                                                                                                       

"Udah lah Gan, gak perlu ngebelain aku segitunya. Kita udah gede, udah punya jalannya sendiri-sendiri. Kak Natasha udah ngilang duluan dan liat, aku tracking semua sosmednya, liat ini.. London Fashion Week. Dia udah jadi modelnya Vera Wang."

"Siapa juga yang belain kamu. Aku juga capek ditekan sama ibu, sama ayah, digadang-gadang bakal jadi dokter bedah terbaik lulusan Stanford. Yakali.. orang aku sukanya main Bola."

Mereka saling memandangi satu sama lain dari kasurnya yang bersebelahan.

"Tapi Gen, gaada salahnya kok kamu ambil beasiswa juga. Aku tuh sayang loh sama bakat kamu. Kamu bisa nulis lagu, bisa nyanyi, bisa main musik, pengen jadi apa sih kamu ini?"

"Kamu gaakan ngerti, Gan. Aku pengen nyusul kak Natasha. Aku pengen jadi desainer." Jawab Morgen

"You what?? Desainer? Anjing, you went to far Gen. Ya aku sih gak masalah kamu jadi desainer, at least kalau mau ninggalin rumah kamu harus punya alasan yang jelas. Ambil lah salah satu beasiswa itu, terus kamu bisa sambil kursus jahit baju atau gimana. Percaya, duit tabunganmu bakalan abis buat 3 bulan tinggal di New York."

Morgen menyodorkan beberapa lembar kertas pada Morgan. Dibolak-baliknya kertas itu, kemudian Morgan menggeleng-geleng sambil menjambak rambutnya.

"Parsons, School of Design. Aku udah sign juga. Kamu bukan ayah atau ibu, Gan. Mereka aja gak bisa nentuin jalanku, apalagi kamu yang cuman kembaranku. By the way.. aku ngeliat kok surat dari Stanford. Kamu lolos kan jadi dokter disana? Tapi aku gak berusaha ikut campur urusan kamu, tuh."

"Ok, kapan kamu berangkat ke New York? Aku yang anter, sekalian mau ketemu kak Nat."

"Beneran? Beneran ini Gan? Yesss!! You're the best lah. Kita bakar aja surat dari Stanfordnya."


                                                                  *            *          *          *

"Nah, gini dong jagoan ayah. Masuk ke universitas Yale, ambil manajemen teater. Eh salam ya, kalau ketemu Natasha. Bilangin kalau pakai baju yang bener, jangan kayak manusia purba kekurangan bahan. Ayah loh, risih lihat mukanya Natasha dipajang di toko-toko celana dalem."

Morgen cuma mengangguk, karena dia tahu, cepat atau lambat, ayahnya pasti akan mengetahui kebohongannya.

"Dan Morgan.. kamu bisa lebih baik dari ini. Kuliah kok olahraga, itu lansia di komplek juga keliling lapangan bola tiap sore. Kapanpun kamu ada kesempatan untuk pindah jurusan, ambil lah. Atau kamu kuliah dulu setahun ya, terus ayah subsidi nanti ke Stanford."

"Yah, kalau aku ke Stanford, bukan sebagai murid. Tapi udah sebagai pelatih olahraga disana. Stanford yang bayar aku, bukan aku yang bayar Stanford."

Dan akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan rumah.

Secret Life of Street WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang