Third Piece | Rakil

130 6 0
                                    

Third Piece

Semakin lama perasaan itu dipendam, semakin besar juga kemungkinan perasaan itu meledak. Kenapa? Karna setiap harinya, perasaan itu semakin bertambah dengan sendirinya tanpa bisa dicegah. Semakin lama semakin numpuk. Semakin diaduk-aduk semakin bergolak lah pula. Disaat perasaan itu meluap, maka buncah lah semuanya.

Seperti perasaan gue.

Gue udah memendam perasaan gue ini hampir 5 tahun. Semakin bertambah setiap hari. Semakin bergejolak tiap hari. Semakin membuat tubuh gue seolah akan meledak.

Alea.

Satu nama itu entah kenapa dan sejak kapan bisa benar-benar begitu melekat di hati gue tanpa alasan yang jelas. Satu-satunya nama yang selalu membuat perasaan gue tumbuh dan bergejolak. Satu-satunya cewek cerewet yang mampu membuat gue nyaman tiap kali bareng dia. Satu-satunya cewek yang pengen gue jagain sampe akhir hidup gue.

To be honest, awalnya gue sempat menyangkal perasaan aneh yang tiba-tiba muncul lima tahun lalu ini. Perasaan berdesir pertama kali saat melihat dia tersenyum. Perasaan bahagia saat dia milih gue sebagai temen ceritanya. Juga perasaan terusik saat dia mulai didekati orang lain.

Perasaan-perasaan itulah yang membuat gue akhirnya melakukan segalanya secara diam-diam agar dia tetap bersama gue.

Hingga kesalahan gue terungkap seminggu yang lalu. Membuat dia begitu marah. Gue gak tau apakah dia marah karna gue ngelakuin hal picik itu ataukah karena gue yang nyatanya jatuh cinta sama dia. Yang jelas, dia mulai jaga jarak aman dari gue.

"Kil, lo marahan sama Lea? Tumben."

Temen satu tim gue, Gian, tiba-tiba nanya begitu latian basket sore ini selesai. Gue cuma bisa menggeleng atas pertanyaannya. Kita gak marahan. Tegas gue dalam hati.

"Terus, kok lo berdua jauh-jauhan sekarang? Biasanya kemana-mana bareng. Mulai dari berangkat sekolah sampe pulang sekolah pun bareng."

"Gak juga."

Padahal dalam hati gue bener-bener kangen masa-masa itu. Alea sekarang lebih milih berangkat dianter sopir ketimbang nebeng bareng gue kayak biasanya. Dia juga lebih milih ke kantin sama temen-temennya ketimbang gue. Dia bener-bener jaga jarak aman dari gue seolah gue ini adalah binatang buas terinfeksi virus yang siap menerkamnya kapanpun.

"Terus? Apaan dong kalo bukan marahan? Karna nyatanya kalian berdua gak kayak dulu."

"Gue sama dia gak marahan. Cuma dia yang marah sama gue."

"Huh?"

Gue liat Gian mengerutkan keningnya seolah ingin bertanya apa kesalahan gue sampe bikin cewek itu marah sama gue. Hal itu sedikit membuat tubuh gue berubah kaku. Kalau Gian sampe nanya, apa gue harus jawab jujur? Jawab kalau gue suka sama Alea. Gue cinta sama cewek itu sejak lama. Apa gak bakal kedengeran gila?

"Jadi lo ngelakuin sesuatu yang bikin Lea marah? Ya.. itu sih lo yang kudu minta maaf artinya. Kenapa diem aja?"

Perkataan Gian mulai menjernihkan otak gue. Gue gak bisa terus-terusan cuma diem mandangin Alea yang membenci gue dan menjauh dari gue. Gue harus lakuin sesuatu. Gue gak bisa kehilangan Alea.

PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang