Fifth Piece | Rakil

145 4 4
                                    

Fifth Piece

-February 6th, 2015-

Hari ini hampir seharian turun hujan. Hampir seharian pula gue gak berhenti keinget sama dia.

"Ih, kenapa sih ujan terus? Nyebelin."

"Emangnya kenapa?"

"Gak suka aja. Abis jadi penghambat aktivitas orang."

"Ujan itu kan berkah dari Tuhan, Le."

"Iya, sih. Tapi tetep aja suka kesel."

Gue tersenyum mengenang kejadian hari itu. Kejadian dimana gue sama dia terjebak hujan di salah satu halte pas pulang sekolah. Sebenernya bisa aja gue kayuh sepeda gue menerobos hujan. Gak peduli seragam putih-biru gue basah kuyup nantinya. Tapi saat itu gue harus nemenin dia yang bener-bener gak suka sama hujan.

"Kil, duluan ya," Gian menepuk pundak gue. Menyadarkan gue kalau bel pulang ternyata udah bunyi daritadi.

"Yap!" Sahut gue. Kemudian masukkin beberapa buku ke dalam ransel dan ikut melangkah keluar kelas bersama anak-anak kelas gue yang lainnya.

Sejenak gue berhenti begitu melangkah keluar pintu. Menatap rintik hujan yang masih belum juga reda. Lantas dengan cepat gue memutar tubuh gue, hendak melangkah berlawanan arah. Menuju kelas Alea. Berharap kalau dia masih berada di dalam kelas. Tapi sebelum benar-benar melangkah, mata gue menangkap sosok yang hendak gue temui. Gue bisa merasakan sudut bibir gue terangkat membentuk senyum.

Sudah beberapa minggu ini gue 'mengusik' kehidupan dia. Gue memantapkan hati untuk perjuangin perasaan gue. Gue gak bisa terus-terusan maksa buat ngilangin perasaan gue karna jatohnya gue malah penasaran setengah mati apa jadinya kalau gue perjuangin perasaan konyol gue ini. Tentu dengan harapan kalau Alea gak bakal nolak gue. Gue mau dia natap gue sebagai Rakil yang jatuh cinta sama dia. Bukan Rakil sebagai sahabatnya.

"Eh, sori. Hotty-Chocs lo masih baru kan? Gue beli, ya? Please."

Tanpa tau malu, gue memberhentikan salah seorang cewek yang membawa cokelat panas di tangannya. Sambil tetap memastikan Alea tak menghilang dari pandangan gue.

"Lo apaan sih? Beli aja sendiri di kantin."

"Jangan gitu dong. Gue gak punya waktu buat ngantri di kantin. Gue beli punya lo, ya? Please!"

Ekor mata gue tetap memerhatikan langkah Alea.

"Gue bayar dua kali lipat deh, ya. Nih uangnya. Thank you so much. Bye."

Gue memberikan uang 20.000-an terakhir gue sama si cewek. Kemudian mengambil alih Hotty-Chocs dari tangannya dan bergegas pergi. Gak peduli anak itu bakal marah atau apa. Setidaknya gue udah bayar dua kali lipat.

Dengan senyum yang merekah gue setengah berlari menuju gerbang. Gue tau, niat gue berikutnya adalah nemuin Alea dan ngasih cokelat panas favorit dia ini. Sounds modus so much, right?

Gak perlu waktu lama, gue akhirnya mendapati Alea berdiri di gerbang sekolah. Gue lihat dia menunduk, memerhatikan sepatunya yang mungkin basah dan kotor karna terpaksa berlari menuju gerbang. Dia pasti lagi nunggu dijemput. Gue mesti bergerak cepat. Begitu siap menerobos hujan yang tidak terlalu deras ini, tanpa gue duga, Alea malah kembali melangkah. Setengah berlari menuju halte.

Dia gak dijemput. Dewi Fortuna sedang berpihak sama gue kayanya.

Lagi-lagi gue mengulum senyum.

"Gak dijemput?" Kata gue begitu berhasil berdiri di sampingnya. Gue memandangi sekitar. Ternyata hanya ada kami berdua yang berteduh di halte ini. Kemudian gue mendengar dia bergumam pelan tanpa menoleh sedikitpun ke arah gue.

"Want me to drive you home?"

Gue tetap menawarkan diri meskipun gue tau dia bakal nolak. Dan benar saja, gue liat dia menggeleng. Cukup membuat kecewa sebenernya. Kecewa karna gue masih aja belum berhasil.

"Nih."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, gue menyodorkan cokelat panas yang gue bawa. Memang tak sepanas tadi, tapi setidaknya masih hangat. Gue masih bisa merasakannya di tangan gue karna dia gak kunjung menyambut pemberian gue.

"Buat lo." Kata gue lagi.

Dia benar-benar membiarkan tawaran gue mengambang di udara. Sama sekali tak menerimanya, dia malah menoleh, mengangkat wajah menatap gue. Hampir beberapa detik gue rasa. Dia tetap menatap gue seperti mencari sesuatu.

"Kenapa?"

Dia mengerjap begitu gue bertanya.

"Please stop doing these freaky things. I'm begging you, Kil."

Kening gue seketika berkerut. Pandangan gue sempat goyah. Oke, kalau selama ini dia mengabaikan gue. Mengabaikan niat gue. Setidaknya gue masih bisa pura-pura gak kenapa-kenapa. Karna bagi gue, itu merupakan bagian dari perjuangan. Tapi saat dia meminta gue menghentikan semuanya, rasanya begitu menohok. Gue gak akan. Gue gak bisa untuk berhenti.

"Gue gak ngerti these freaky things yang lo maksud itu apa, Le." Kata gue akhirnya. Menarik kembali cokelat panas-semi-dingin yang terabaikan tadi, kemudian memilih untuk meneguknya sedikit.

Gue mungkin masih bisa bersikap baik-baik aja kalau dia meminta gue berhenti dengan amarahnya. Tapi melihat dia memohon seperti itu, sama saja seperti dia menancapkan lembing tepat ke arah gue tanpa ampun.

"You won't give me a chance, will you?"

Gue menerawang jauh menatap langit mendung. Langit yang seolah mengungkung bumi dengan rinai hujan yang turun dari kungkungannya.

Entah kenapa, saat ini gue merasa terwakilkan olehnya.

----

Well, done. Cerita ini cuma direncanain sampe part ini doang terakhir. Hoho. Tadinya sih mau bikin cerpen. Tapi ya lucu aja kali kalo di chapter begini. Hehe. Jadi sebut aja super mini novel XD

6-7 Februari 2015. 11.50 am.

PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang