Fourth Piece | Alea

97 5 0
                                    

Fourth Piece

"Eh, kantin yuk!"

"Duh, sori, Al. Gue ada rapat nih, duluan ya."

"Gue juga mau kumpulan sama anak Cheers, Al. Gatau deh, mau ada event gitu katanya. Bye, Alea."

Aku hanya bisa mendengus saat Mia dan Anne berlalu. Malas rasanya kalau harus ke kantin sendirian. Sebenarnya bisa saja sama anak-anak lain. Tapi saat ini kelas sudah benar-benar kosong melompong. Sial.

Aku menggeser beberapa buku diatas meja. Memberikan space yang cukup untuk menelungkupkan kepalaku sejenak. Kemudian menutup mataku perlahan. Tidur di jam istirahat mungkin bukan pilihan yang terlalu buruk. Setidaknya bisa lupa sama rasa lapar untuk beberapa saat.

"Kenapa gak ke kantin?"

Aku mengeratkan mataku saat mendengar suara itu. Sama sekali enggan membuka mata dan melihat wajahnya. Hampir seminggu lebih sejak kejadian itu, dan ini adalah pertama kalinya dia 'benar-benar' menghampiriku. Sedikit pengecut juga rupanya.

"Lo gak laper?"

Aku memutar kepalaku kearah tembok. Menunjukkan kalau aku masih enggan bicara dengannya. Aku bisa mendengar anak itu menghela napasnya keras. Kemudian duduk di sampingku.

"Gue minta maaf, Le."

Satu kalimat itu entah kenapa membuatku berpikir. Selama ini aku memang marah pada laki-laki ini, tapi untuk alasan yang mana, aku juga masih ragu.

"Gue emang salah. Gue minta maaf. Maaf karna udah bikin lo marah atas perlakuan yang gak lo duga. Maaf karna mungkin bikin lo kecewa karna sebenernya gue-"

Aku mengangkat kepalaku sebelum dia benar-benar menyelesaikan perkataannya barusan.

"Gue maafin lo."

Aku tau rasanya pasti akan berat saat ucapanku berikutnya keluar dari mulutku beberapa detik lagi. Untuk itu aku menghela napas sejenak dan menghembuskannya perlahan.

"Apa setelah ini kita bisa bersikap kaya biasanya? Kayak Rakil-Alea sebelumnya. Gue khawatir lo gak akan bisa, Kil. Karna gue juga gak bisa."

Ucapanku barusan benar-benar membuat laki-laki itu termenung sejenak. Kemudian entah kenapa ia menarik sudut bibirnya keatas. Tersenyum entah untuk apa.

"Well, kita emang udah gak bisa jadi Rakil-Alea kayak sebelumnya. Tapi apa kita bisa jadi Rakil-Alea untuk selanjutnya?"

Perkataannya berhasil membuatku menelan ludah susah payah. Berusaha membasahi tenggorokkanku yang benar-benar terasa kering.

"Le?"

Dia bertanya lagi. Kali ini dengan menatapku lebih intens. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa hanya dengan sebuah pengakuan konyol itu, tatapannya bisa benar-benar berubah seperti ini.

"Gak bisa, Kil."

Aku bisa melihat sinar matanya meredup.

"We'll never be Rakil-Alea like before nor after!" Tegasku.

"Tapi, apa salah kalau gue suka sama lo dan ngerusak persahabatan kita, Le? Lo lebih pengen kita sahabatan aja ketimbang...pacaran mungkin?"

PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang