Lagu Pasto - 2 hyunjin

99 11 7
                                    

Tentang semesta, yang seolah selalu tidak suka melihat hangat menyapa indera.

-----

Kantin teknik ramai seperti biasanya. Biasanya ya? Iya gadis itu keseringan nongkrong di teknik padahal ia merupakan salah satu bagian manajemen. Sebenernya arti sesungguhnya dari nongkrong di teknik bagi gadis itu adalah menunggu si manusia kasat rasa peka, manusia dingin bak kutub Utara yang sayangnya sudah gadis itu perjuangkan hampir dua tahun, namun enggan meleleh juga.

Gadis itu, panggil saja Kim, akan selalu seperti hari ini, terdampar di kantin teknik setelah memperoleh luka yang sayangnya selalu Kim tepis. Berharab hari esok, berganti dengan hal manis.

Demi dia yang gadis itu perjuangkan, Kim berusaha menjadi manusia sempurna yang bisa apa saja, yang bisa menjadi apa yang dimaunya, ternyata sama saja, tak pernah cukup. Lama-lama capek juga.

Kim yang sedang memejamkan mata sambil menyandarkan punggung di kursi kantin, mendadak ingin menyebutkan seluruh isi kebun binatang saat alunan lagu Pasto terdengar dari pengeras suara, itu radio kampus.

"Sejak kapan sih di kantin teknik ada begituan!?" Kim merengut saat netra bulat miliknya menemukan dari mana sumber suara itu berasal, ternyata pengeras suara di pojok atas ruangan.

Memilih menelungkupkan kepalanya di atas kedua tangannya yang sebelumnya sudah ia lipat di meja kantin.

Gara-gara lagu Pasto yang masih mengalun, Kim jadi mikir, sebenarnya dua tahun ini ia sedang memperjuangkan apa? Hah pesimis itu datang lagi.

Sebegitu sulit kah baginya untuk menerima cinta? Menerima sayang? Menerima perhatian? Menerima hangat seseorang? Semesta seolah-olah selalu menegaskan kalau ia tak akan pernah layak untuk mendapatkan hal demikian, miris sekali bukan.

Dua tahun lalu, beliau yang selalu ia sematkan dalam doa, yang selalu menemaninya, yang selalu mengertinya, meninggalkannya. Tanpa pesan, tanpa pamit, tanpa selamat tinggal. Tuhan lebih menyayangi bundanya.

Beliau yang ia sebut ayah, entahlah. Kepergian bunda meninggalkan banyak luka, membuat orang yang ia sebut ayah yang sudah gila kerja semakin mendewakan kerja, menjadi pribadi semakin berbeda yang sama sekali tak mengenali dirinya, putrinya. Berharap dengan menjadi penggila kerja, semua luka akan segera sirna, tanpa tahu putrinya juga sama terlukanya.

Haha, sungguh putri yang malang. Rasanya Kim ingin menertawakan dirinya sendiri dengan sekeras-kerasnya. Mengatakan pada dirinya dengan lantang bahwa semesta memang tak menginginkannya untuk merasa berharga hingga layak dicintai, tak layak merasakan hangat yang sempat menyapa lewat bundanya.

Ah, itu kenangan lama yang selalu Kim simpan rapat tanpa ingin membukanya, tanpa ingin menengok, tanpa ingin ada yang mengendus keberadaannya dengan berlagak semua baik-baik saja, ketawa-ketiwi sepuasnya, seperti hidupnya hanya penuh dengan suka cita warna. Padahal ia hanya menapak di ranah abu-abu saja.

Jika boleh dijabarkan, hampir dua tahun Kim memperjuangkan kakak tingkatnya itu tak lain agar ia bisa merasakan hangat yang tak pernah ia rasakan lagi. Kim pikir, orang dingin pun akan luluh seiring berjalannya waktu jika Kim menunjukkan semua perhatianya, ternyata nggak. Malah semua orang mempertanyakan kewarasannya, mencibir, dan mungkin menganggapnya sudah putus urat malu.

"Lo itu mengganggu, Lo ngerepotin!" Itu kata Arka, katingnya saat keluar kelas dan mendapatinya sedang menunggu di bangku depan kelas sambil menenteng kotak bekal. Padahal Kim belum mengeluarkan suara barang satu kalimat.

Penolakan seperti itu sudah biasa mengingat hampir dua tahun ia menempeli kakak tingkatnya itu, tapi kalimat terakhir tadi, membuat Kim terdiam kaku.

Milenial GangWhere stories live. Discover now