Akar dari Sembilan

6 1 0
                                    

Huh, tak usah menceritakan apa yang aku lakukan di luar negeri. Hei, kuliah tak seperti film romansa pincisan di Ftv. Monoton sekali. Tugas yang dikasih mepet deadline, kewajiban pribadi dan menonton televisi. Sesekali mengabari Busur, Kasur dan Gunung kalau aku baik-baik saja.

Maksudnya fisiknya masih sehat. Jikalau kalian tanya mental, aku sempat stres karna tugas dan tidak sempat jalan-jalan. Boro-boro jalan-jalan, keluar apartment itu membeli keperluan hidup, kuliah dan sekarang.

Ya, sekarang. Karna aku sudah menjadi sarjana, aku berencana kembali saja. Seperti yang dikatakan menteri pendidikan saat ini—Jerome Polin yang aku dukung dia dari dia masih kuliah di Negeri Doraemon.

"Seberapa jauh kamu menuntut ilmu di negeri orang, kamu harus kembali dengan memajukan negeri kelahiran."
Sebenarnya bukan seperti itu, sih perkataannya. Tapi, kalau dilihat mirip juga.

Di manakah aku?

Setelah tadi turun dari pesawat, aku memesan taxi agar menjemputku di Bandara CIKRAK. Beruntung sekali, aku masuk ke taxi tanpa kehujanan. Hujan turun dengan deras ketika aku sudah duduk nyaman di dalam mobil taxi. Pak sopirnya juga ramah sekali. Tak jarang beliau mengajakku mengobrol di tengah perjalanan. Kesan pertama yang membahagiakan ketika kembali ke tanah air.

Aku jadi penasaran. Busur ternyata sudah memiliki dua anak dengan suaminya. Yang pertama adalah perempuan, sedangkan yang kedua adalah laki-laki. Yang perempuan namanya ialah Gisel Paramita. Yang laki-laki namanya Safdi Zuful. Uh, jadi nggak sabar.

"Terimakasih, Pak. Ini bayarannya," Ucapku setelah sampai di depan rumah Busur.

"Iya, Nduk ... sama-sama," Balas Beliau.

Kasih sedikit kejutan bisa juga, haha. Di tahun 2006 ini, sebutannya adalah surprise. Tak apalah, aku harus berdamai dengan kesunyian kali ini.

Aku melangkah perlahan ke pagar. Ternyata pagarnya sudah terbuka. Lengah sekali Busur. Bagaimana bisa dia mengurusi anak kalau lalai seperti ini? Aku bakal memarahinya habis-habisan.

Melangkah lagi lebih dalam, aku menemukan kamar yang terbuka sedikit. Samar-samar aku mendengar Busur bercurhat dengan anaknya. Aku mengintip. Ternyata yang diajak curhat adalah anak lelakinya yang sudah tidur, Safdi. Kenapa dia curhat ke anaknya yang baru satu tahun itu? Kenapa nggak ke aku saja, ish.

"Bagaimana bisa ayahmu itu nggak pulang-pulang. Dia bahkan nggak angkat telepon Ibu. Nggak ada kabar. Tega-teganya si Bintik menelantarkan dirimu dan kakakmu. Bedebah itu ...." Busur mengusap air mata yang dari tadi bercucuran.

Yang aku pikirkan, apa yang dilakukan Bintik sampai-sampai Busur tidak seperti biasanya?

Tak apa jika aku tidak menjadi sandaran Busur, tetapi aku pastikan Bintik bakal menerima akibatnya.

Aku bergegas ke taxi kembali, karena ternyata koperku masih ada di sana. Mungkin pak supirnya merasa nggak enak kalau harus meninggalkan koper orang asing di pinggir jalan.

Sudah sampai di depan gedung apartemen, aku membayar uang tambahan ke pak supir. Tidak lupa membawa koperku yang sempat tertinggal. Uh, berat juga.

"Maaf, ya Pak. Sekali lagi maaf dan terimakasih sudah menjaga koper saya tadi."

"Perlu bantuan, Nduk? Kayaknya itu koper berat sekali."

"Tidak usah, Pak. Sudah biasa, hehe."

"Yaudah, kalau gitu, Nduk. Bapak cus pergi, hehe."

Aku masuk ke dalam gedung dengan kaki terseok-seok. Bohong kalau aku sudah terbiasa dengan koper yang berat. Aku menaiki lift yang ada.

Untung saja tidak eror liftnya. Kalau saja eror, aku akan menyumpahi tukang servis lift karena aku patah kaki gara-gara naik tangga dengan koper berat ini.

Salah Kaprah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang