Malam ini, Nafeeza berada di kafe D'Lux, ia bekerja sebagai penyayi. Tidak setiap hari, hanya tiga sampai empat kali dalam seminggu. Setelah menyelesaikan pekerjaanya, ia bergegas pamit pulang.
"Mas Haris, Fee balik duluan, ya?" tanyanya meminta izin kepada pemilik kafe.
"iya, hati-hati, Jangan ngebut bawa motornya!"
"Siap, bosku." Jawabnya, sebelum keluar dari cafe.
Tepat pukul sepuluh malam ia sampai dirumah. Tentu saja rumahnya dalam keadaan sepi karena, hanya ada Ayahnya serta asisten rumah tangga Bi Tina dan suaminya Mang Ujang.
"Baru pulang, Nak?" tegur sang Ayah, yang tengah duduk di sofa depan televisi.
Nafeeza mendekat dan menciun tangan ayahnya.
"Iya, Yah, habis dari kafe. Yaudah, Fee ke kamar dulu." Pamitnya seraya berjalan menuju kamarnya.
Jika kalian mengira ia anak seorang CEO atau pemilik perusahaan besar, maka kalian salah. Ia hanya anak seorang sekretaris di perusahaan besar milik sahabat ayahnya, tentu saja ayahnya sering pulang larut malam. Itu sebabnya ia merasa kesepian jika harus dirumah sendirian. Ibunya, sudah meninggal sejak melahirkannya delapan belas tahun yang lalu, yang membuatnya tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Ia hanya dibesarkan oleh ayahnya dibantu dengan Bi Tina.
Tanpa seorang Ibu disampingnya kadang membuatnya ingin merasakan pelukan dan kasih sayang seorang Ibu. Ayahnya, memilih tidak menikah lagi karna sangat mencintai ibunya. Padahal ia sering menyuruh ayahnya untuk mencari istri lagi agar ada yang merawat dan mengurusi kenbutuhannya. Namun, ayahnya selalu menolak.
***
"Selamat pagi, Ayah," sapa Nafeeza seraya mencium pipi kanan ayahnya dan duduk tepat didepan lelaki yang sudah merawatnya selama Sembilan belas tahun untuk sarapan.
"Pagi, Sayang, kuliah jam berapa hari ini?" Ayah bersuara sebelum memasukkan sendok berisi nasi goreng ke mulutnya.
"Jam Sembilan, Yah," jawabnya seraya menerima piring berisi nasi goreng beserta telur mata sapi kesukaannya dari Bi Tina, kemudian berkata, "Terima kasih, Bi."
Bi Tina pun pamit ke belakang setelah selesai melakukan tugasnya. Rutinitas yang tidak pernah terlewatkan oleh Nafeeza di pagi hari yaitu sarapan dengan sang Ayah.
"Fee, Ayah mau ngomong." Ayah memulai obrolan setelah mereka menghabiskan makanannya.
"Mau ngomong apa, Yah?" tanya Nafeeza dengan menatap mata ayahnya. jantungnya berdugub kencang, firasatnya mengatakan ada hal penting yang akan disampaikan ayahnya.
"Ayah mau menjodohkan kamu dengan anak sahabat Ayah. Kamu masih ingat Om Farhan, kan? Sahabat sekaligus atasan ayah." Ayah berbicara dengan lembut.
Seperti tersambar petir disiang bolong, sungguh ini bukan yang ia harapkan. Nikah muda, bahkan ia sama sekali tidak terpikir olehnya.
"Ayah serius? Aku baru sembilan belas tahun, Yah," jawabnya seraya menampilkan wajah terkejut.
"Karena kamu masih muda, Ayah takut anak perempuan satu-satunya yang Ayah punya salah pergaulan di luar sana. Makanya ayah menjodohkanmu agar ada yang menjaga dan mengawasi karena, Ayah tidak dua puluh empat jam bersama kamu," ujar Ayah dengan menatap sayang puteri semata wayangnya yang sangat mirip dengan mendiang istrinya.
"Apa tidak ada cara lain, yah?" bujuk Nafeeza dengan manja.
"Ayah rasa ini yang terbaik. Kamu mau, kan?"
Nafeeza menghela nafas panjang, ia tidak mungkin menolak permintaan ayahnya sebab, kebahagian ayahnya adalah yang terpenting.
"Iya, Fee, mau. Kalau ini bisa bikin Ayah bahagia, pasti akan Fee lakukan," putusnya sambil tersenyum manis.
"Terima kasih, Nak." Ayah berpindah kesamping Nafeeza kemudian memeluk dan mencium puncak kepala anaknya dengan saying, kemudian berkata, "Nanti malam kita ketemu dengan keluarga Om Farhan, yah?"
Nafeeza hanya mengangguk dalam pelukan ayahnya, membuat sang Ayah tersenyum bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dari Ayah
General FictionNafeeza Sabhira Almahyra, gadis cantik berusia sembilan belas tahu harus menerima perjodohan dengan lelaki yang tidak mencintainya, bernama Akhtar Farzan Wijaya yang merupakan senior sekaligus presiden mahasiswa di kampusnya. "Asal kamu tau...