4.🐺÷🦁

1.4K 200 15
                                    

"Entah mengapa kau bisa melakukan hal tersebut dengan mudah.~ Leon

▪▪▪▪▪▪▪▪▪▪
.

.
.
.
.
.
.
.
.

🐺🦁

  Di sebuah kamar bernuansa abu-abu, terlihat seorang pemuda tengah terdiam menatap sebuah bingkai foto. Didalam foto tersebut terdapat sepasang suami istri. Ia menatap keduanya sendu. Mengusap wajah wanita dalam foto itu dengan penuh kerinduan.

"Ovan rindu," katanya lirih.

Jovan, pemuda itu terus menatap lekat foto orang tuanya. Sedari pulang sekolah dia diam disini. Rasa rindu yang begitu besar sudah dirinya tanam begitu dalam.

Tiga tahun berada di negara ini dengan alasan menyampaikan rindu tidak membuahkan hasil. Ia sudah cukup lelah mencari tempat untuk menyampaikan rindunya. Tidak ada petunjuk sama sekali. Mereka seolah tidak pernah ada.

'Tingg..Tongg..

Jovan tersadar, dengan segara menyimpan bingkai fotonya pada laci dan beranjak keluar kamar. Melihat siapa yang datang, ia tersenyum melihat kedua temannya.

"Lama amat sih!?" Ia terkekeh mendengar gerutu Brian.

Ketiganya duduk diruang tamu, saling diam dan menatap.

"Tumben kesini?"

Brian mengerucutkan bibirnya.
"Dateng salah, Gak dateng salah!"

"Dihh kalo si Kane mah gapapa, kalo lo perlu dipertanyakan." Jovan menatap sinis Brian. Membuat pemuda itu melempar dirinya dengan batal sofa.

Kane yang disebut hanya diam sambil memakan kuaci yang ada dimeja.

"Papa nyari lo." Brian merebut toples kuaci dipangkuan Kane. Pemuda itu tidak masalah, dia hanya diam menatap datar Brian.

Jovan menggaruk dagunya dengan menggunakan jari, ia nampak berfikir.
"Ngapain?" Tanyanya polos.

"Lo pikun atau gimana? Noh liat, kalender!" Brian menatap kesal sambil menunjuk kalender di dinding. Ingin rasanya dia lempar Jovan keluar lewat jendela.

Jovan tertawa, melihat kalender pada dinding lalu mengangguk.
"Ya, kapan-kapan gua mampir."

Mendengar hal itu Brian dan Kane menatap tajam.

"Gua seret atau pergi sendiri?" Kane bersuara dengan nada dingin. Agaknya dia sudah lama memendam suara.

Jovan malah tertawa mendapat tatapan tajam dari kedua temannya.
"Males gua, gak untung juga." Ujarnya santai. Menyandarkan tubuhnya pada sofa.

Keduanya semakin menatap tajam. Tidak untung, katanya. Padahal ini demi kesehatan Jovan sendiri.

"Jo!" Brian berseru.

Jovan justru tersenyum, memandang televisi yang menyala tenang. Menghela nafas sejenak lalu mengangguk.
"Iya gua tau, entar gua pergi."

"Jo, seret nih buatin minum dong." Brian sudah lupa dengan keadaan yang menjadi sunyi.

Jovan menatap datar Brian. "Ogah! Buat aja sendiri." Tolaknya mentah.

MĄŚĶÃ {Topeng} || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang