Chapter 3

13 0 0
                                    

"Maria Manika, harap ke ruangan saya sekarang juga"

Mampus.

Dengan keadaan masih setengah sadar, aku terhuyung menuju ruangan direktur. Sembari berdoa bahwa kali ini kesalahan yang kuperbuat tidak fatal seperti minggu kemarin, aku membuka pintu ruangan direktur. Wangi lavender lembut tercium, bukan wewangian yang menyengat, namun alami karena direktur memakai lavender asli yang beliau taruh di sudut-sudut ruang kerjanya. Direktur duduk di belakang meja kerjanya yang rapi seperti biasa, dengan vas bunga lavender, map-map yang tersusun, dan papan nama bertuliskan Jati Hanenda Lingga, S.H.Int., M.M.

Berbeda dengan penataan ruang kerjanya yang lembut dan cantik, direktur sendiri orang yang terkenal galak, kaku, dan bahkan tak segan main tangan. Beliau menatapku tajam yang hanya berdiri canggung di depan pintu, kemudian ia memberi isyarat dengan matanya untuk menyuruhku duduk. Rambutnya acak-acakan dan kantung matanya sangat jelas terlihat. Walaupun masih muda, direktur merupakan orang yang sangat bertanggung jawab dan jauh lebih dewasa dari umur maupun penampilannya. Aku baru kali ini melihat direktur dengan penampilan seacak-acakan ini, semoga bukan karena kesalahan kerjaku.

"Kamu tahu kesalahan apa yang kamu buat kali ini Maria?" Direktur tampan itu memejamkan mata sembari bersandar di kursinya. 

"Tertidur saat jam kerja pak...?" Jawabku ragu-ragu.

"Betul," beliau membuka mata dan menatapku tajam, "dan apa akibatnya?"

"Eemmm... pe- pekerjaan saya terlantar pak"

Jika baru pertama kali bertemu atau berpapasan di jalan dengannya, pasti akan mengira dia laki-laki yang gentle, berwibawa, dan halus tutur katanya. Sangat pas dengan image penggila bunga, terutama lavender. Well, bagian berwibawa nya memang benar, namun aku sangat ragu bahwa beliau benar-benar menyukai bunga. Mungkin lavender-lavender ini hanya bertugas sebagai pengusir nyamuk, atau memang ia memiliki selera yang aneh.

Jujur aku selalu terdistraksi oleh wewangian lavender di ruangan direktur. Wanginya selalu mengingatkanku akan suatu tempat, entah itu di mimpiku maupun di kehidupan nyata. Setelah ini aku harus ingat untuk membaca ulang jurnalku dan barangkali aku menemukan sesuatu tentang lavender disana. 

"Kamu tahu sudah berapa kali melakukan kesalahan? tiga kali, Maria!" direktur menghela napas panjang, "kali ini kamu terlambat mengumpulkan assessment yang seharusnya sudah ada di meja saya 2 hari yang lalu sebelum saya pulang ke Indonesia!"

Celaka. Aku lupa sama sekali mengenai assessment itu, sudah kutaruh di flashdisk, namun aku lupa ada dimana benda itu. Tuhan, kenapa aku bisa menjadi pelupa seperti ini! Coba ingat-ingat lagi Maria, kapan terakhir kali aku memegang flashdisk ku?

Aroma lavender yang memenuhi hidung dan tatapan direktur membuyarkan lamunanku. "Ma-maaf pak, akan saya kumpulkan hari ini juga" aku menyadari telapak tangan dan kakiku sudah banjir keringat dingin, "hardcopy atau softcopy ya pak?"

"MENURUT KAMU?!" bentaknya tak sabar, "saya mau assessment itu hari ini juga, sebelum jam 4 sore, sekarang lebih baik kamu kembali sebelum saya kehilangan kesabaran"

Direktur mungkin menyadari aku gemetaran karena hampir terjatuh 2 kali, sekali saat tersandung kaki kursi dan yang lain saat membuka pintu. Udara segar terasa sangat menyenangkan setelah keluar dari ruangan direktur yang penuh wangi lavender. Kadang aku bertanya-tanya apakah orang itu tidak mabuk, ataukah sedari awal ia sudah mabuk sehingga tidak peduli lagi.

Rina segera menawariku teh hangat begitu melihat betapa pucatnya aku. Panasnya gelas membuatku menyadari betapa dingin dan gemetarannya tanganku. Setelah menghembuskan napas panjang aku mencoba menguraikan masalahku perlahan. Memang, flashdisk sialan itu kecil sekali dan ditambah dengan keteledoranku, voila, benda itu hilang dengan mudahnya. Mungkin aku butuh gantungan kunci yang jauh lebih besar dan menimbulkan bunyi ketika terjatuh. Rina menawarkan bantuan untuk mencari, namun aku harus menolaknya. Ini salahku dan aku harus membereskannya sendiri.

Jam di dinding menunjukkan pukul 3 dan flashdisk sialan itu belum juga ketemu. Meja kerjaku sudah sangat berantakan, aku tidak tahu dimana lagi harus mencarinya. Ingin sekali kuhubungi Deva, namun aku tahu ia juga pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya. 

"Kenapa panik banget, kan, tinggal print aja langsung pake data di komputer lo?" tanya Hendra, salah satu teman kantorku.

"Yang di komputer sini masih mentahannya, ndra. Semua data sama hasil finalnya ada di laptop, dan laptop gue ada di kosan" jawabku, "duh, padahal udah selesai dari kemarin-kemarin, udah gue pindah ke flashdisk juga, tinggal print, sumpah!"

Hendra menghela napas, "iye udah, lo marah-marah sekarang juga flashdisk lo ga langsung nongol kan. Mending sekarang lo balik ke kosan ambil laptop".

Hal itu bukannya tak terpikirkan olehku, namun perjalanan pulang-pergi dari kantor ke kos memakan waktu sekitar satu setengah jam, itupun kalau jalanan tidak macet. Tadinya aku yakin bahwa flashdisk ku ada di kantor, hanya saja aku lupa menaruhnya dimana. Tanpa berpikir panjang lagi aku bangkit dan mengambil kunci motorku (benda ini tidak hilang karena kupakaikan gantungan kunci yang amat banyak dan meriah), berdoa semoga hari ini tidak hujan karena pasti akan menyebabkan kemacetan parah.

Sungguh, sepertinya hari ini semua kemalangan menimpaku. Begitu keluar dari basement, hujan turun dengan derasnya sehingga aku terburu-buru menepi untuk memakai jas hujan. Sebagai orang yang percaya hal-hal di luar nalar, aku percaya di hari ulang tahun ke-24 ku ini Tuhan mengirimkan pesan bahwa aku akan tertimpa kemalangan bertubi-tubi selama setahun kedepan. Bukannya tahun-tahun sebelumnya aku terhindar dari masalah juga, sih. Aku menghela napas dan menerima kenyataan bahwa ini hanya akibat dari kecerobohanku semata.

Dan, ya, dugaanku benar. Kemacetan sangat parah di jalan raya, bahkan motor sekalipun susah untuk menyalip mobil-mobil ini. Sialan, flashdisk sialan. 

Aku sangat kesal sampai-sampai kurasakan air mataku mengalir hangat di pipiku, berbaur dengan tetesan hujan yang dingin. Cepat-cepat kuusap mataku sebelum pandanganku kabur karena air mataku. Aku meluapkan kekesalanku dengan mengklakson keras-keras mobil di depanku karena mereka seperti tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama. Tahu begini seharusnya naik bus umum saja tadi, ketika melihat orang-orang yang menunggu di halte menaiki bus dengan jalur tersendiri sehingga terbebas dari kemacetan, mau tak mau aku merasa iri sekaligus menyesal. 

Setelah bus itu pergi, ada seseorang di halte bus itu yang tidak ikut naik. Ia memakai payung hitam hingga menutupi wajahnya, walaupun halte tersebut memiliki atap. Hingga perlahan orang tersebut menurunkan payung, menyibak wajah pucat dibaliknya.

Walaupun hujan sangat deras, aku tahu dan sangat mengenali wajah itu.

Wajah pucat yang setiap malam menghantui mimpiku.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jurnal Mimpi MariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang