Chapter 1

70 7 0
                                    

16 Maret, 2018

Aku berada di suatu kebun bunga. Kupu-kupu dan burung dengan berbagai warna terbang mengelilingiku. Kebunnya sangat luas sampai-sampai ujungnya tak terlihat, namun aku tak peduli. Kali ini wujudku sebagai gadis remaja dan mengenakan gaun terusan putih, setangkai bunga tulip mencuat dari keranjang piknik yang entah sejak kapan kubawa. Aku terus berjalan tanpa tahu arah dan kulihat matahari dengan cepat berganti menjadi bulan dan bintang-bintang, kupu-kupu dan burung berganti pula menjadi kunang-kunang, alhasil menciptakan pemandangan yang amat indah, menakjubkan, dan tidak akan pernah kulihat lagi. Dan di satu momen ajaib itu aku bertemu pandang dengan-

"Hayo ketemu siapa"

Tanpa kusadari Deva sudah duduk di belakangku, wajahnya sangat amat dekat hingga aku bisa mendengar dan merasakan napasnya. Aku tertawa kecil dan menutupi mukanya dengan tanganku, karena tidak ingin Deva melihatku salah tingkah dan malah semakin menggodaku.

"Ya siapa lagi, itu yang di mimpi." jawabku berusaha terdengar ketus namun yang keluar malah suara mencicit.

"Gua maksudnya?" Deva mengaitkan jari-jarinya dengan tanganku yang tadi mendarat di mukanya. Lagi-lagi aku tidak bisa mengendalikan jantungku, Deva terlalu manis untuk diacuhkan.

"Pede ih" aku menarik tanganku dan menopang dagu untuk menutupi wajahku yang memerah. Deva memang pacarku, dan hubungan kita pun sudah berjalan sejak kuliah, kira-kira 3 tahun yang lalu. Namun tetap saja tak terbiasa berduaan dengan seseorang yang memiliki ketampanan surgawi seperti dirinya. Sekarang saja walau sudah satu tahun bekerja di kantor ini, Deva tetap menjadi perhatian para perempuan kantor.

Aku diam-diam meliriknya sembari melanjutkan jurnalku. Mood Deva sepertinya sedang bagus hari ini, sedari tadi ia hanya tersenyum melihatku seperti orang bodoh. Senyumnya sangat manis dan berlesung pipi, membuat siapapun termasuk si hati batu sepertiku meleleh melihatnya.

"Ada apaan si senyam senyum ga jelas" akhirnya kutanyakan karena tidak tahan lagi

"Tebak deh" senyumnya malah semakin menggodaku, oh Tuhan, kenapa kau menciptakan makhluk seperti dia?

"Ya mana tau tolol, apa sih, baru beli PS?"

"Salah banget, tebak lagi"

"Baru mecahin rekor cewe ke 1000 yang lu tolak?"

"Sama yang tadi pagi harusnya 1001 sih, tapi bukan itu tolol"

Rasanya ingin kujambak rambutnya, entah dia melakukan itu dengan sengaja atau tidak, tetap saja menyebalkan. Sepertinya orang ini sangat ingin melihatku frustasi.

"Dah ah males, nyerah gua"

"Nyerah nihh, yakin?" Ia mengangkat sebelah alis dan tersenyum menggoda, "Kalo nyerah nggak dapet kado nanti"

"Kado apaan dah emang gua ultah sekarang?"

"Lah ngelindur dia, kan emang ultah lu hari ini begeeeeeee" Deva tertawa lepas melihat mukaku yang semakin memerah. Tapi nyatanya memang aku lupa hari ini ulang tahunku, yang menurutku pun tidak begitu penting.

"Ssst jangan kenceng-kenceng, malu anjir diliatin satu kantin" aku dengan kalap menutup mulutnya, yang lagi-lagi berakhir dengan tanganku digenggamannya.

Deva menyodorkan sebuah buku jurnal bersampul kulit berwarna biru langit dengan bunga kering dan kartu ucapan diikat pada sampulnya. Tangan kanannya mengelus kepalaku, yang membuat wajahku semakin panas dan saat ini jantungku ingin meloncat keluar dari kerongkonganku.

"Happy birthday Maria, aku bersyukur kamu lahir di dunia ini," ucapnya sambil menatap lurus ke mataku, matanya begitu jernih dan tulus seperti mata anak kecil. "Semoga kamu suka ya, aku liat jurnalmu yang sekarang kamu campur sama jurnal mimpimu kan, yang ini kamu pake aja buat cerita si-dia-yang-selalu-kamu-mimpiin"

Aku hampir saja tersedak kopi yang sedang kuminum, terlihat jelas raut mukanya yang cemburu ketika dia menyebut si pria di mimpiku. Memang aku pun sadar aku terlalu sering menceritakannya sampai-sampai hidupku hanya tentang orang itu, dan tanpa sadar aku sudah terobsesi.

"Lu cemburu?" tanyaku

"Nggak, dia kan cuma khayalan lu, yang nyata itu gua" ucapnya dengan raut muka serius, namun sepersekian detik kemudian ekspresinya kembali ceria seperti biasa. "Mimpi itu jangan terlalu dipkirin, dunia nyata lu jadi terbengkalai kan, sampai-sampai lu lupa hari lahir lu sendiri"

Tapi Deva, orang itu bukan sekedar khayalanku semata. Pria itu terasa sangat nyata, dan sangat mustahil jika aku memimpikannya terus menerus. Namun aku memilih untuk bungkam dan membiarkan semuanya berjalan seperti biasa.

"Oh iya, gimana kelanjutannya mimpi lu semalem?" tanyanya sembari menyeruput kopiku, dasar.

"Dih kopi gua, asal minum aja, beli sendiri sono!" seruku, "lah lu bukannya udah baca tadi? ya gitu-gitu aja sih mimpi gua"

Deva memang duduk membelakangi cahaya matahari, namun justru mempertegas garis rahangnya. Cih, tidak adil sekali bisa tetap rupawan walau dengan pencahayaan yang jelek, aku iri sekali.

"Gausah melotot begitu ah, iye tar gua beliin kopi pulang ngantor" kata Deva sembari tersenyum tengil, "kalo mimpi lu gitu-gitu aja, trus ngapain lu catet tiap hari?"

Aku memainkan pulpenku dengan gelisah. Ya, alur mimpiku selalu sama, lantas mengapa aku masih terus mencatatnya? Apa yang aku harapkan dari mimpiku ini? Akankah suatu saat nanti aku akan berhenti memimpikannya?

"Nggak tau" ucapku setengah melamun, "menurut lo, gua harus ke dukun ga sih?"

Deva tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sampai menarik perhatian seluruh orang yang ada di kantin. Duh, malu-maluin banget emang ini anak.

"Devvv diemm heh, malu bgst" kataku sembari menutup mukaku sebisanya.

"Mar, mar, jaman gini lu masih percaya dukun? umur lu berapa sih? 80?" akhirnya ia berhenti tertawa juga, masih menahan tawa ia kembali mengejekku "masalah kayak gitu lebih baik ke psikolog atau psikiater, Mar. Tapi gua yakin kalo lu konsul nanti bakal dirujuk ke RSJ"

"Sumpah Dev, kalo ga di tempat umum udah gua cekek lu sampe mampus"

"Aww choke me mommy~" godanya, sembari mengedipkan sebelah mata, membuat mukaku panas.

"Gue cekek beneran nangis lu" jawabku ketus, aku membereskan barang-barangku dan beranjak pergi sebelum Deva menyadari betapa merahnya mukaku. Dan juga sebelum ia mengejekku lebih lanjut.

"Eh eh kok ngambek, iyaa maaf gue keterlaluan ya bercandanya tadi?" ucapnya dengan menahan tanganku, membuatku berhenti dan mendengarkannya. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak bujukan Deva, apalagi dengan puppy eyes semanis itu. "Maaf ya, oh iya kalo lu mau ditemenin ke psikolog atau psikiater, gue mau kok, mau banget malah. Kabarin gue ya kalo lu udah siap."

Aku tersenyum, kemarahanku seketika pula meleleh, memang berbahaya sekali pacarnya ini. Kubilang padanya untuk jangan khawatir dan aku juga belum membutuhkan bantuan seperti itu saat ini kemudian aku kembali ke kantorku.

Memang benar aku tidak butuh bantuan psikolog atau psikiater. Kenapa aku bisa yakin? Karena aku sudah pernah. Satu tahun terapi saat kuliah di tahun keduaku tidak menunjukkan hasil yang signifikan, bahkan insomniaku pun tidak sembuh, bukan aku yang tidak mau dibantu, tapi memang tidak bisa.

Dugaanku, mimpi-mimpi itu bukan berasal dari alam bawah sadarku. Mungkin iya, namun hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya berasal dari sesuatu yang lain, karena laki-laki itu terasa sangat nyata, sangat hidup. Hal itu juga yang membuatku terus mencatat mimpi-mimpiku, berharap suatu saat aku dapat menemukan sesuatu tentang laki-laki itu, siapa ia dan alasannya selalu mendatangi mimpiku selama 5 tahun tanpa henti.

***

Jurnal Mimpi MariaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang