00 || PROLOG

94 10 17
                                    

Bagai ratusan kunang-kunang gemerlap lampu rumah penduduk hingga lampu sepanjang tepi jalanan. Tak luput gedung pencakar langit nyaris berhimpitan, kendaraan yang lalu lalang di jalanan kota seolah semut berbaris panjang tanpa henti.

Sinar rembulan menyapu lembut wajah berseri gadis yang bersimpuh di tanah bukit memandangi kesibukan kota sejak senja berpamit. Ada hal menarik disetiap malam memandangi kesibukan kota, tak lain ialah bianglala raksasa dengan megah berputar pada porosnya tepat di tengah alun-alun kota.

"Ingin berjumpa dirimu di sana," gumamnya dengan mata berbinar.

Semilir angin perlahan memaksa sang gadis merapatkan jaket dan menitipkan harapannya yang sama kesekian kali pada langit.

*****

Beranjak waktu merajut hari. Sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kamar milik seorang pemuda. Pemuda bergelung di bawah selimut, hingga tiba gadis kecil dengan kuciran kuda lengkap mengenakan seragam merah putih berseru heboh memasuki ruang nuansa hitam nan putih.

"Abang, bangun!" Gadis itu menarik paksa selimut.

"Bunda, lihat abang nih. Gak mau bangun, Ara siram boleh?!"

Teriak gadis kecil menusuk indra pendengar. Pemilik kamar dengan cepat sadar dari alam mimpi, menimpal dengan suara serak.

"Adek bohong. Aranya abang usir dari sini boleh ya, Bun?"

Gadis kecil itu melotot kesal, mencampakkan guling tepat sasaran di wajah sang kakak kemudian ngacir melarikan diri penuh kemenangan.

"Ara!" sukses dibuatnya sang kakak kesal.

Jarum terpendek jam dinding nyaris di angka tujuh, masih dengan santai pemuda itu memandangi penampilan dirinya di cermin besar lemari.

"Ganteng banget gue hari ini, terpesona ciwi-ciwi."

"Ganteng doang, tapi PHP," celetuk seseorang.

Di ambang pintu gadis mengenakan seragam putih abu-abu meluapkan rasa kesalnya. Regan tersenyum kikuk, "Eh, pagi-pagi sudah ngomel. Gue baru mau melucur ke rumah lo. "

"Kelamaan nunggu sampai lumutan gue. Dasar cowok!" ketus Gea mengawali harinya dengan buruk. Sejam lalu menunggu di rumah membuatnya jengkel. Keduanya tetanggaan, jarak lima langkah dan teman bermain dari kecil walau usia mereka terpaut setahun.

Beranjak keluar dari kamar terburu-buru Regan meneguk teh manis hangat beralih mencium punggung tangan Bundanya disusul Gea. Berpacu dalam waktu, segenap jiwa Regan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan di atas rata-rata membelah kepadatan perlahan merayap di jalanan kota. Gea penumpang yang terbiasa diajak mendekat maut oleh teman kecilnya berseru riang.

"Regan, lebih cepat dong. Jangan mau kalah sama Valentino Rossi!"

"Mau mati bareng di sini?!"

"Gak usah ngajak-ngajak kalo mau mati. Maksud gue, jangan malu-maluin telat dihari pertama notabene sekolah baru lo. Dasar beban orang tua!"

"Heh, diem anak tiri!"

ENDlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang