Agam Hardana nama gue. Agam yang dikenal banyak orang adalah siswa tampan nan dingin dengan segudang prestasi. Memiliki latar belakang keluarga lebih dari cukup tak buat gue bergantungan sama orang tua. Dikelilingi teman-teman yang akrab serta merta menjadi pendukung. Dengan begitu, hidup gue sudah cukup sempurnakah?
Seribu sayang, kehidupan gue yang terlihat sangat aman, damai, dan bahagia nyatanya tidak sesuai dengan sudut pandang kacamata satu ini.
Sore ini dengan awan mendung, sinar mentari menjadi latar suasana gue disudutkan Mami tepat salah satu meja kafe outdoor.
"Agam, kamu masih mau ngelawan Mami?!" Mami lelah untuk kesekian kali mendapati tingkah gue.
"Mami, Agam masih nurut sama Mami lho ini," jawab gue yang langsung ditolak mentah-mentah.
"Apanya yang nurut , hm?"
"Kenapa Mami harus dipanggil sama wali kelas kamu lagi di sekolah tadi?"
"Mami, Agam...."
"Mami enggak mau terima alasan apapun. Kamu itu sudah kelas 3 SMA. Sudah besar kamu, Nak. Jangan kamu berulah lagi di sekolah. Biar apa kamu bertindak seperti anak nakal gitu? Sebelumnya kamu kan sering ikut lomba, ikut organisasi, ikut banyak kegiatan masa kamu mau mulai nakal lagi?"
Gue tersenyum miris. Seandainya Mami mau mendengar penjelasan gue. Hari ini gue tidak mungkin bertindak bodoh.
"Mami banyak kerjaan, harus nyiapin jadwal rapat bos Mami. Tolong hargai Mami, jangan berulah lagi."
Mami beranjak pergi menuju mobil jemputan kantor yang stand by di depan kafe. Punggung Mami yang kian jauh membuat rasa muak gue timbul.
"Sialan, gue capek banget," dengan rasa kesal dari saku gue comot barang yang mengandung nikotin dan dinyalakan dengan pemantik.
Perlahan gue menghembus asap yang sangat tidak sehat itu ke udara. Perlahan rasa sesak yang tidak dapat gue jelaskan dengan kata-kata lagi telah memenuhi ruang pikir dan hati. Lambat laun gue kembali tenang, mempertahankan kewarasan di tengah kegilaan hidup.
"Woy, Agam." Suara cempreng gadis itu sangat gue kenal dari kecil. Yup, dia Gatha Meerliana yang hobinya mengoleksi jemput rambut korea. Dia adik sepupu gue dan berani-beraninya ia masih mengenakan seragam yang notabenenya sudah tiga jam lalu waktu jam sekolah berakhir.
"Dih kusut banget muka lo, nih minum dulu varian kopi kesukaan gue," Gatha menyodorkan segelas asian dolce latte dingin.
"Aneh ya lo, biasanya juga orang ngasih minum kesukaan orang yang mau dikasih. Bukan kesukaan sendiri," gue geleng-geleng kepala menyambar minuman yang berbaik hati diberikan.
"Gue mau yang berbeda dong," cengir Gatha menyeruput minumannya.
"Ngapain lo di sini, Bocah?" tanya gue tanpa basa-basi.
"Aduh, ga bisa basa-basi dulu apa. 'Lo ke sini pakai apaan tadi atau lo lapar ga, mau makan apa?' peduli dikit dong."
"Yaudah. Lo lapar ga?"
Gatha menganggukkan kepala seperti anak kecil.
"Mau makan apa?"
"Mau makan orang," jawab Gatha asal.
"Jangan ngadi-ngadi lo. Apa cepetan?" gue yang semulanya enggan banyak bicara terbawa suasana.
"Gue mau makan nasi pecel Pak Ogah."
"Oke, yok gaskeun," gue beranjak dari duduk dan melemparkan hoodie ke arahnya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDless
Подростковая литератураRumit perwakilan kata tentang hati. Lelah perwakilan kata tentang perjuangan. Sedangkan, ilusi perwakilan kata tentang kamu. Dina Amanda Putri, siswi SMA biasa yang berusaha tampak cukup. Cukup cantik, cukup pintar, cukup terbiasa menggurat rangkaia...