01 || Gadis Pita Biru

100 8 8
                                    

Menu sarapan di kelas XI IPA 2 hari ini adalah fisika. Wajah penghuni kelas yang tak bersemangat dihinggapi rasa harap, berharap rehat dari rumus segala rupa.

Dengan napas tersengal Regan berdiri di ambang pintu kelas. Wanita paruh baya memiliki garis wajah tegas terhenti sejenak membahas materi impuls, Bu Ira mengangguk singkat mempersilakan pemuda tampan itu menjadi pusat perhatian seisi kelas.

"Terima kasih Bu, izinkan saya memper...." belum genap kalimat pemuda di sana, Bu Ira memotong.

"Perkenalannya bisa nanti-nanti. Saya tahunya kamu terlambat dan hukumannya berdiri di luar kelas sampai jam pelajaran saya selesai."

Serentak seisi kelas tercengang dengan titah sang guru. Bu Ira dikenal kedisiplinannya dalam mengajar. Si anak baru yang enggan membantah tak kuasa menentang, hanya menurut meski mendumel dalam batin.

"Gaya yang bekerja sebesar...." sayup-sayup suara Bu Ira menyusup indra dengar Regan.

"Gak mungkin gue diem di sini terus. Kantin oh kantin i'm coming," dengan santai kakinya melangkah menuju kantin.

Disambut ramah oleh emak kantin, Regan memesan sepiring nasi goreng komplit telur mata sapi ditemani segelas es teh manis. Rasa kesal atas perjuangan untuk tiba tepat waktu, makan adalah pelampiasan terbaik pemuda satu ini. Perutnya menyalakan mode isi daya.

"Sengaja bolos mau temui Neng di sana ya," emak kantin beropini tanpa bertanya sembari menyodorkan pesanan Regan.

"Loh gadis mana, Mak?" heran Regan mengedarkan pandangan, "Gak ada janji ketemu. Lagian hari pertama masuk sekolah saya, Mak."

"Walah, anak baru ya. Pantas saja Emak tidak ingat wajah ganteng kamu," puji emak membesarkan hati Regan.

"Kenapa tidak masuk kelas? Kelas berapa? Namanya siapa? Sebelumnya sekolah di mana?" sederet pertanyaan diborong emak kantin yang mulai kepo. Karena Regan baik hati dan tidak sombong dengan sepenuh hati menjawab satu per satu pertanyaan.

Selepas emak kantin kembali menyibukkan diri. Ekor mata Regan tak luput dari sosok gadis berpita biru dipojok kantin tengah mengaduk bubur ayam tanpa minat. Biasalah, jiwa penasaran seorang Regan.

"Gak usah liatin aku kayak gitu."

Terkejut dengan suara ketus gadis di sana, gelagapan Regan menyendok nasi dari piring hingga tak bersisa berharap gadis di sana lekas menghentikan tatapan tanpa ekspresi.

Naas, harapan tetap harapan. Gadis itu justru beranjak dari tempatnya. Pura-pura tidak tahu Regan berusaha senatural mungkin menikmati makanan.

"Emak, titip bubur ya. Istirahat nanti Dina makan."

"Siap, Neng. Taruh di situ dulu, nanti Mak simpan," sahut emak kantin.

Dalam kepura-puraan, Regan merasakan tengkuknya berkeringat, sebuah tatapan mengarah padanya.

"Kalem makannya, tidak perlu maksa kalo sudah kenyang," tutur sang gadis menghangat.

Bukan ketenangan yang didapat. Regan semakin kikuk, beralih meneguk es teh manisnya hingga tandas. Sebelum gadis benar-benar meninggalkan kantin, disempatkannya melirik paras cantik gadis berpita biru yang mengulum senyum.

"Woah anjir, gue yang baper."

*****

"Kemana aja lo, Din?" tanya Gatha, rambut pirang sebahu dihiasi jepit rambut korea.

"Tadi ke kantin," jawab Dina yang baru saja kembali ke Lab. komputer menyambar buku paket matematika kelas 12 yang tempo waktu dipinjam dari perpustakaan.

Kedua gadis di Lab. komputer bersama dua siswa kelas X IPA menyibukkan diri belajar untuk lomba olimpiade. Persiapan mereka terhitung seminggu menuju hari perlombaan.

"Kak, Zarhan sama Bagas duluan balik ke kelas ya," pamit Zarhan dan dihadiahi anggukan oleh kedua gadis notabene kakak kelas.

"Okay, nanti di grup WhatsApp kabaran lagi kalo jadi belajar barengnya," Gatha menambahi sebelum Zarhan bersama Bagas angkat kaki dari Lab.

Menyisakan Gatha bersama teman seperjuangannya. Dirinya menghembuskan napas kasar. Dilirik temannya ini masih berkutat dengan soal-soal penuh angka.

Gatha mulai jenuh, alih-alih mengamati rambut hitam lurus gadis dengan kuciran kuda dihiasi pita biru membiarkan beberapa helai rambut terselip di belakang telinga.

"Gue jadi insecure kalo gini," celetuk Gatha.

"Dina. Lo idaman cowok banget deh. Pinter, rajin, cantik, paket komplit spesial."

Pemilik nama sejenak mengalihkan atensi, membalas penuturan gadis di sampingnya yang hilang selera menyelesaikan soal sarat unsur-unsur kimia.

"Siapa cowok yang mengidam, Gat?" Dina asal tanya, niat mengurangi rasa insecure Gatha justru menguji kesabaran.

"Gue sabar nih, Din. Semoga gue makin cantik sampai Taehyung kepincut pesona gue terus ngajak nikah, idaman gue banget," halu Gatha mengalahkan mimpi dalam mimpi.

"Astaghfirullah, kamu hamil Gatha sampai mengidam Taehyung? " heboh Dina menatap horor Gatha.

"Heh, sembarangan. Itu mulut lo yang salah atau otak lo konslet?!" Gatha gemas ingin menjitak kepala gadis kelewat pinter atau dikatakan apa?

Sejurus kemudian hanyut dalam canda sampai hal yang absurd sekalipun mereka tertawa lepas, mengabaikan lembaran-lembaran kertas latihan yang menguras pikiran.

Derit pintu mengambil alih perhatian dua gadis di sana. Dia yang tiba-tiba kehadirannya membuat perbedaan raut wajah di kedua gadis. Gatha dengan riang menyambut, memasang senyum terbaiknya. Berlainan dengan Dina yang tidak menginginkan kehadirannya.

Agam Hardana, siswa terpopuler di sekolah dengan bakatnya dibidang akademik maupun non-akademik. Berparas rupawan bak pangeran negeri dongeng dengan postur badan tegap mampu memikat hati kaum hawa dalam sekali lihat, diberkahi aura berkarisma dan sifat dingin yang melekat hingga dijuluki makhluk kutub es.

Pemuda itu mengenakan seragam olahraga berdiri di ambang pintu menghentikan tawa Gatha dan Dina. Senyum Gatha merekah sempurna, "Eh, tumben lo ke sini. Nyariin mantan atau masa depan lo?"

Dina menyikut lengan gadis satu itu, sungguh sangat tidak nyaman saat tatapan tajam itu menghujam ke arahnya. Dia disebut mantan? Sejak kapan ada hubungan spesial antara dirinya dengan makhluk es? Huh. Lalu dengan bangga seorang Gatha mengaku masa depan si kutub es?

"Din, temui Bu Ira sekarang di ruang guru," tutur Agam singkat tanpa menunggu reaksi Dina, ia kembali bergabung dengan teman-temannya di lapangan meneruskan permainan bola basket. Dina menghembuskan napas dengan kasar. Degup jantungnya sempat-sempatnya tak karuan.

Gatha mengerucutkan bibirnya, "Gue ditinggal sendiri, deh."

"Kamu gak sendiri. Ada yang diam-diam merhatikan kamu dari pojok sana," Dina menyeringai beranjak pergi sebelum benda yang mulanya dekat Gatha melayang ke arahnya.

ENDlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang