Istana Gubuk

20 2 0
                                    

Namaku Hinata, Aku seorang lelaki yang tentu saja bukan perempuan. Teman-teman menyebutku Nata. Namun berbeda dengan seseorang yang kerap kali memanggilku dengan sebutan Hina. Terkadang aku merasa kesal, begitu hinanya aku dengan nama Hina itu.

Ditengah teriknya siang, aku menyusuri jalanan kota dengan motor klasik pemberian Kakekku empat tahun lalu. Meski panas ini cukup menyiksa, namun aku harus tetap melakukannya.

Cukup lama, hingga aku tiba disebuah cafe. Aku mulai memasuki pintu cafe itu sambil pandangan mataku berkeliling disetiap sudutnya. Namun yang kucari tak kutemukan jua karena mungkin pengunjung cafe hari ini lebih ramai dari biasanya. Aku masih mematung seperti anak yang kehilangan ibunya di tempat umum.
Tak lama kemudian aku mendengar teriakan.
"Hinaaa.. Aku disini." Teriak seseorang dari sudut cafe bagian belakang. Seketika suasana menjadi hening.

Aku langsung menoleh kearahnya, semua orang menatapnya dengan aneh. Pasalnya ia seperti tak punya malu berteriak dengan keras. Ia melambaikan tangan ke arahku sambil berkata,
"Hina, kemarilah!" Kini semua orang beralih menatap ke arahku.

Aku hanya tersenyum kaku, dan melambaikan tangan dengan ragu. Nafasku terhenti sesaat sampai suasana cafe kembali seperti semula.

Aku menghampirinya yang tengah menyesap coffee latte kesukaannya. Hingga nampak kumis putih diatas bibirnya. Aku tertawa kecil, hingga ia bertanya.
"Apa ada yang salah?"

"Tidak, hanya saja kamu menggemaskan." Kataku yang membuat pemilik pipi chubby itu seperti udang rebus.

"Diluar panas ya," Aku mengipas ngipas kaos hitam yang kukenakan.

"Iya, makanya aku memesan kopi panas." Ucapnya dengan santai. Aku kembali tersenyum, namun dia hanya menatapku penuh tanda tanya.

Gadis berambut sebahu dengan poni depan yang sedang duduk dihadapanku ini bernama Asmirah. Gadis berusia 21 tahun, yang berdarah Jepang namun memiliki nama seperti orang Jawa. Berbeda denganku, nama seperti Jepang namun asli Jawa. Ayah dan Ibunya pindah ke Indonesia setelah mereka menikah, jadi tentu saja Asmirah kelahiran Indonesia.

Aku pernah bertanya kepada Asmirah mengapa orang tuanya memberi nama seperti orang jawa. Ia menjawab bosan dengan nama Jepang, orang tuanya ingin yang berbeda makanya ia diberi nama Asmirah yang berarti indah bagai batu permata. Memang benar sesuai dengan orangnya. Matanya kecil dan bercahaya, senyumnya manis dan kulitnya putih.

Aku terus menatapnya yang sedang mengoceh sambil sesekali ia sesap kopinya. Entah apa yang ia ceritakan, sedari tadi aku hanya fokus menatap wajahnya. Kemudian ia tersadar jika ocehannya sama sekali tak ku dengar.

"Hina, Hina..." Panggilnya, namun aku hanya tersenyum ke arahnya. Wajahnya menunjukkan kekesalan.

"Hina... Sedari tadi kamu mendengarkanku atau tidak?" Asmirah mengayun ayunkan pertanyaannya.

"Iya aku mendengarkan." Jawabku

"Apa?" Mulutnya membulat.

"Iya iya, akan aku dengarkan. Lanjutkan ceritamu." Ucapku sambil menaruh kedua tangan di atas meja berpura-pura fokus mendengarkan.

"Kapan kamu mau ke Istanaku? Sudah tiga tahun kita saling mengenal, namun kamu belum pernah mampir." Ucapannya membuatku terkejut.

Asmirah selalu menyebut rumahnya dengan Istana. Selama tiga tahun kami kenal, Ia selalu bercerita bahwa ia tinggal di sebuah istana bersama keluarganya. Ia juga bercerita bahwa di lingkungan sekitar Istananya tak ada yang lebih baik dan indah dari miliknya. Semua yang ia inginkan selalu ada di sana. Namun sekalipun ia tak pernah mengajakku ke rumahnya. Tak tahu mengapa hari ini ia pertanyakan tentang hal ini padaku.

Ragam KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang