Kara menatap pantulan dirinya pada cermin yang ada di meja rias. Tangannya terulur perlahan menyentuh rahang kirinya yang terdapat tiga garis cap jari tangan hasil perbuatan Galan kemarin. Ia tidak menyangka saja kalau hasilnya akan membiru seperti ini, bahkan terlihat sangat jelas di kulitnya yang putih pucat.
Kara menghela nafas, sepertinya menjadi istri Galan membuatnya jenius karena harus terus memutar otak. Setelah kemarin memutar otak untuk mencermati maksud aturan main, sekarang ia harus kembali memutar otak untuk menutupi lebam di wajahnya.
Sebuah ide akhirnya muncul di otak 4G Kara. Ia mengambil concealer dari laci meja rias kemudian mengoleskannya ke bekas lebam menjadi beberapa layer.
Meskipun dengan meringis saat meratakannya ke wajah, akhirnya concealer itu berhasil menyamakan warna biru diwajah Kara seperti warna kulit yang lain. Kini tinggal mengoleskan lipbalm berwarna pink pucat kemudian ia siap turun kebawah untuk sarapan.
Kara menginjakkan kaki di lantai bawah, netranya tidak menemukan Galan baik di meja makan ataupun di ruang tamu padahal jam sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh. Ia pikir Galan belum bangun jadi ia berniat menyuruh bi Mar untuk mengecek.
"Bi Mar.." panggil Kara lembut dari meja makan.
"Iya mbak, sebentar. Bi Maryam di dapur."
Tak lama kemudian bi Mar datang membawa sepiring nasi goreng untuk Kara, "Bi Mar masakin mbak Kara ini. Mau nggak?"
"Mau kok" Kara tersenyum, ia meraih piring berisi nasi goreng dari bi Mar dan mulai memakannya. "Boleh minta tolong nggak Bi Mar?"
"Kenapa mbak?"
"Tolong liatin Galan dikamarnya. Kok jam segini dia belom turun, jangan-jangan ketiduran."
"Mas Galan tadi udah berangkat kok mbak."
"Udah berangkat?" Kara sedikit terkejut mengetahui fakta Galan berangkat sekolah lebih pagi darinya. Padahal menurutnya ia adalah siswa yang rajin mengingat dirinya tidak pernah terlambat, ternyata Galan lebih rajin lagi.
Bi Mar mengangguk kemudian menarik kursi di samping Kara dan menempatkan diri disana, "Mbak Kara, kemaren nggak papa? Sakit nggak? Kalo sakit nggak usah sekolah dulu mbak. Dirumah aja sama bi Mar." tanya nya khawatir dengan keadaan tuan muda barunya.
Hati Kara serasa terselimuti mendengar bi Mar khawatir padanya. Sudah sejak lama ia tidak pernah mendengar orang mengkhawatirkannya, terlebih lagi mama papanya. Entah benar atau bukan tapi Kara merasa kalau orang tuanya memang sengaja menjual ia di keluarga Raphael. Karena saat ia diminta menjadi istri Galan, kedua orang itu malah senang bukannya khawatir tentang bagaimana keadaannya, siap atau tidak.
"Enggak kok bi, Kara baik-baik aja. Ini juga tadi aku tutupin lebam nya pake concealer."
"Maafin bi Mar ya mbak." ucap bi Mar penuh penyesalan.
Dahi Kara berkerut, "Bi Mar nggak salah, kenapa minta maaf?"
"Bi Mar rasa harusnya kemaren bi Mar ngasih tau mbak Kara gimana sifatnya mas Galan, biar mbak Kara nggak ngebantah"
"..."
"Mas Galan tuh sifatnya bisa dipaksa tapi nggak bisa dibantah" sebagai asisten rumah tangga yang merawat Galan sejak lahir jelas bi Mar tau bagaimana sifat Galan. Sejak kecil laki-laki itu memang tidak suka dibantah. Pernah ketika memasuki sekolah dasar, Galan memukul temannya menggunakan harmonika saat latihan instrumen karena tidak mau menuruti perintahnya untuk berlatih serius. Lalu saat menginjakkan kaki di sekolah menengah, Galan juga pernah memukuli temannya sampai masuk rumah sakit karena tidak menuruti perintahnya untuk piket kelas. Bahkan karena masalah itu, Pak Brahmana sampai harus memindahkan anak itu ke sekolah lain karena trauma dengan Galan.
"Maksudnya?" Kara meletakkan sendok dan garpu ditangannya. Ada topik yang lebih menarik dibandingkan sarapannya kali ini.
"Dia nggak suka kalau perintahnya dibantah, tapi dia bisa dipaksa. Contohnya waktu nyonya maksa dia buat nikah sama mbak. Dia awalnya nolak, tapi karena nyonya terus maksa dia akhirnya dia mau. Nggak cuma itu sih mbak, sebenernya banyak lagi paksaan nyonya ke dia dan berakhir dia mau nurut. Mbak tau kan kalau dia sayang banget sama nyonya?"
Kara mengangguk.
"Itu karena dulunya nyonya selalu deketin dia. Nyonya juga sering cerita-cerita tentang hidup dia meskipun kadang nggak didenger mas Galan tapi dia tetep cerita. Tujuannya biar mas Galan mau terbuka sama dia, dan ternyata berhasil. Bahkan sekarang mas Galan jadi sayang banget sama nyonya."
"Terus sekarang apa yang harus Kara lakuin bi?" tanya Kara polos. Memang benar dia tidak tau apa yang harus dilakukannya. Sebenarnya dari keterangan bi Mar saja ia sudah paham harus bagaimana, tapi mengingat bahwa Galan memberinya aturan main membuat nyali Kara menciut. Aturan main itu seperti tembok penghalang yang membatasi Galan dengan dirinya agar tidak terlalu jauh dalam hubungan ini. Dan entah apa sebabnya hingga Galan memberi batas Kara sendiri juga tidak tau.
"Mbak Kara mau deketin mas Galan?"
Lagi-lagi Kara mengangguk, "Kara mau tapi bingung mau mulai dari mana. Kara juga takut kalo dia main tangan kaya kemaren lagi gimana? jujur Kara nggak siap bi. Kemaren aja Kara kaget banget dia berani main tangan saat nikah belum genap dua hari."
"Jangan takut mbak coba dulu deh, lebih terbuka sama dia. Bi Mar tau kalian butuh adaptasi namanya juga baru dua hari nikah. Tapi kalo nggak mbak Kara yang memulai dulu, mas Galan juga nggak akan memulai. Percaya deh sama bi Mar. Mungkin awal-awal mas Galan bakalan ngasih mbak omongan pedes tapi itu jangan dimasukin ke hati. Tebel kuping aja, terus deketin dia dan jangan nyerah. Terus yang paling penting jangan bantah perintahnya, biar dia nggak main tangan sama mbak. Bukannya nyalahin mbak Kara, tapi kemaren itu dia maen tangan karna mbak Kara ngebantah yang masalah kartu ATM itu."
•••
Mobil putih yang masih kinclong itu tinggal beberapa meter lagi akan sampai di sekolah majikannya, tapi tiba-tiba sang pengemudi secara spontan menginjak rem saat melewati seorang gadis berseragam SMA yang baru turun dari angkot.
"Joy, masuk!" panggil Kara—si pengemudi mobil dari balik jendela yang terbuka setengah.
Meskipun terlihat kebingungan, Joya tetap mengikuti instruksi yang diberikan Kara untuk masuk kedalam mobil.
"Mobil lo baru?" tanya Joya sambil menggerayangi setiap inci mobil dengan decakan kagum.
Kara mengangguk sebagai jawaban. Kakinya kembali menginjak gas memasuki gerbang sekolah. "Iya."
Lagi-lagi Joya menggeleng kagum melihat interior mobil keluaran terbaru yang terlihat feminim namun elegant ini, "Gila penganten baru mobilnya juga baru. Dibeliin Galan?"
"Enggak, Mertua gue."
"Enak sih kalo punya mertua konglomerat."
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIAGE IS JUST A GAME
Teen FictionGalan menganggap pernikahan mereka hanyalah sebuah game yang dapat berakhir kapan saja, namun ia lupa bahwa game sering kali membuat pemainnya kecanduan. #1 on SMA | 2/12/22 | #1 on fiksi remaja | 18/11/22 | #1 on perjodohan | 18/11/22 | #1 on nikah...