-Slow Reading-
Sesuatu yang tak terlihat dari setiap sudut, hanya jadi sebuah bayangan yang berada di ruangan gelap. Manusia memutuskan sesuatu dengan mengandalkan satu sisi, tanpa menggali lebih dalam dan mencoba memahami sisi yang lain. Faktanya, kebanyakan orang memang seperti itu, menilai dari apa yang mereka lihat tanpa mengetahui kebenarannya. Jika kita berdiri di tengah dua permukaan cermin datar. Saat kita ingin bercemin, kita hanya perlu menggunakan satu cermin. Lalu cermin yang lain tidak perlu digunakan lagi.
Tangisan seseorang terdengar begitu lirih di ruangan yang sepi dengan minimnya pencahayaan. Menahan suara isak tangis agar tak terdengar sampai ke luar ruangan. Hatinya terasa sakit karena menghadapi kehidupannya yang sekarang. Tak akan ada lagi yang mau mempercayai dirinya. Ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Tuhan telah memberikan sebuah hukuman padanya. Hukuman akibat perbuatannya. Lalu saat ini, ia harus mengeluh kepada siapa?
Ia takut jika harus berkata jujur kepada orang tuanya. Apa mereka akan percaya? Apa mereka akan kecewa dan memarahinya? Atau malah membelanya? Ia tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki semuanya. Apa yang telah dia perbuat memang bukan hal yang bisa dibenarkan. Namun, perlakuan teman-temannya juga tidaklah benar, bukan? Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis untuk saat ini. Bagaimana dia bisa menghadapi teman-temannya besok? Ia hanya sendirian sekarang.
Gadis yang biasanya selalu ceria dan sangat jarang mengeluarkan air mata itu, kini menjambak rambutnya sendiri, menggigit bibirnya hingga terluka. Dia masih tidak bisa menerima semua ini, terlampau terkejut karena semuanya terbongkar. Ia hanya tak ingin tersaingi dan jadi yang terbaik. "Kenapa aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya?" ucapnya di sela tangis yang masih belum mereda. Orang lain bisa tidur dengan nyenyak, tapi saat ini. Ia bahkan hampir menghabiskan satu malam dengan menangis.
Saat matahari terbit dengan sempurna, Jessy terbangun dan segera pergi untuk mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. "Ahh, baiklah semuanya sudah siap," ujarnya sembari memasukkan dan merapikan buku-buku miliknya ke dalam tas sekolahnya. Ia hampir menutup tasnya. Namun, ketika melihat satu buku yang baru ia beli kemarin ia langsung menepuk jidatnya. "Uh! Hampir saja lupa novel 'How Come' titipan Mina." Sesegera mungkin ia memasukan novel titipan Mina ke dalam paper bag, supaya tidak lupa dan tertukar dengan miliknya. Omong-omong, dia sangat heran karena teman-temannya selalu membicarakan novel yang satu ini, kata mereka ceritanya sangat bagus. Karena rekomendasi dari teman-temannya juga, ia langsung membelinya.
"Mina!" panggil Jessy sambil berlari kecil ke arah temannya yang sedang mengobrol dengan Karin itu.
"Hai," balasnya sambil melambaikan tangannya.
Jessy turut menyapa Karin yang berada di sebelah Mina, "Hai, Karin." Karin membalasnya dengan ulas senyum manisnya.
Gadis itu pun turut tersenyum."Ini titipanmu." Ia langsung memberikan paper bag yang sedari tadi ditentengnya itu pada Mina.
Mina langsung membuka paper bag itu dan melihat isinya. Ia sangat senang karena Jessy tidak salah membeli novel yang ia incar. "Wah! Terimakasih. Ternyata kau tidak salah membelinya," kata Mina sambil terkekeh. Jessy hanya membalasnya dengan tawa. Namun tak berlangsung lama tawa itu terhenti tatkala melihat siswa yang baru saja datang dengan menunduk.
Jessy langsung menatap siswa itu dengan sinis dan muak. Mina hanya berpura-pura tak melihat keberadaannya sembari membuka novel barunya. Sedangkan Karin hanya diam walau sebenarnya, jauh dalam hatinya, ia sangat tak menyukai orang itu. Rasanya mereka sangat ingin pindah sekolah karena harus melihatnya setiap hari. Jessy yang tak tahan langsung menghentikan langkah murid itu. Ia harus menyapanya bukan? "Pagi, Manusia tipu-tipu."
KAMU SEDANG MEMBACA
INVISIBLE [END]
Fiksi Umum[ONE SHOOT] Pernah mendengar kutipan, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti? Berpikir bahwa korban bully akan menjadi orang jahat? Tidak, bukan seperti itu. Cerita ini hanya mengisahkan satu dari dua sisi sudut pandang. Lalu bagaimana...