1 - Prahara Di Meja Makan

10 1 0
                                    

Tik... Tok... Tik... Tok...

3

2

1...

Teng...

"Haaar---"

"Morning bundahara Irnanya akuuu~"

Wanita yang sudah memasuki setengah abad itu mengernyitkan dahinya heran ketika dia mendapati anaknya turun tangga dengan semangat. Tidak seperti hari hari sebelumnya, dimana dirinya harus berteriak menggemparkan satu rumah terlebih dahulu agar anaknya itu mau bangun dan berangkat kesekolah. Tapi kini, dia sudah mendapati anaknya rapih dengan seragam dan tas sekolah yang tersampir di pundaknya. Bahkan dengan santainya dia mengambil beberapa lebar roti tawar dan melahaonya selembar. Lalu berlalu menuju dapur.

"Tumben kamu jam segini udah rapih. Biasanya masih koloran."

"Ck bhundha mah, Haish bhanghun shephet shalah. Haish bhanghun shihang aphalhagi."

"Kebiasaan, telen dulu tuh roti. Baru ngomong." Tegurnya sembari mengolesi roti nya dengan selai. "Yaudah sana duduk. Biar bunda siapin sarapan kamu. Mau dibuatin apa?"

"Hengg? Hengghak hushah bhun, bhiar Haish ajhah."

Seketika Irna menghentikan kegiatan mengolesi rotinya. Dan refleks dia memutar tubuhnya menghadap haris yang masih saja sibuk di dapur.

Dengan segera, Irna bangkit dari duduk dan berjalan cepat mendekati anak lelakinya. Tanpa diduga, Irna memegang dahi anaknya dan memutar mutar tubuh anaknya dengan heran.

"Ck, bunda apaan sih?" Protes anak lelaki tersebut ketika tubuhnya di putar putar oleh Irna.

"Kamu sehat?"

"Astaga bund, kalo aku gak sehat, mana mungkin aku ada di hadapan bunda sekarang. Paling aku masih di kamar selimutan." Ucap anak lelaki itu sembari melewati ibunya dan duduk di meja makan.

"Ta-tapi tumbenan gitu."

Irna menyusuli anaknya itu. Dia pun duduk di kursi dengan sedikit tergesa gesa. Bukan untuk melanjutkan aktivitas sarapan yang tertunda, melainkan untuk memerhatikan putranya yang sedang menikmati sarapan buatannya sendiri.

"Buuuun kenapa sih? Risih tau di perhatiin terus. Aku kan jadi salting."

Dengan rasa jengah, karena ucapan anak lelakinya itu, Irna melemparkan gulungan tisu yang berada di dekatnya. Lelaki itu meringis mendapati lemparan gulungan tisu tebal tersebut tepat di dahi.

"Sakit bun, kok dilempar sih? Untung bukan sendok bunda yang dilempar, coba---"

"Shhhtt... sekarang, jawab pertanyaan bunda. Hari ini kamu kenapa?"

"heeeng?" Tanya nya bingung sembari melahap roti panggangnya. "Aphanyha yhang Khenhapa bhun?"

"Telen dulu ih dibilangin."

"Iyha iyha."

Dengan terpaksa, lelaki itu menelan bulat bulat roti pangganya. Hingga...

"Heuugh..."

"Eh-eh-eh kamu kenapa?"

Melihat anaknya yang memegang leher dengan wajah kaku, Irna medadak panik. Dengan segera dia menyodorkan susu miliknya.

"Cepetan minum, bunda gak mau ya kamu mati keceket."

Tanpa basa basi, lelaki itu meraih gelas tersebut dan menenggaknya hingga setengah tandas.

"Cep.. ah~ lega."

"Duh kamu ini bikin bunda kaget. Mangkanya makan tuh baca bismillah."

"Ba-baca kok. Bismillahi wall awallu wall akhiru. Tuh baca."

"Heuh kamu ini. Yaudah sekarang jawab pertanyaan bunda tadi."

"Yang mana?" Tanya nya sembari mengelap sisa susu di bibirnya.

"Itu yang tadi. Kenapa kamu hari ini bangun gak musti di teriakin, terus bikin makan sendiri, teruuuus~ ah itu tumbenan kamu bikin bekel. Buat siapa? Kamu ada pacar ya? Siapa namanya?kok bunda gak tau?"

"Satu satu bund." lelaki itu pun menenggak kembali susu yang di sodorkan ibunya hingga abis. Lantas dia pun mencari posisi yang enak untuk berbicara. "Sebenernya..."

"Sebenernya?"

"Aku..."

"He'eh iya?"

"Pengen aja sih."

Heeh? Irna pun mengubah raut wajahnya tak percaya. "Serius kamu? Gak ada alesan gitu?"

"Enggak bund. Aku emang pengen aja bangun pagi."

Irna tertawa sedikit kencang dan menyandarkan punggung di kursi. Setelah itu mengubah raut wajahnya dengan serius menatap anak lelakinya. "Bokis nya keliatan banget kamu."

"yeh, kok dibilang bokis. Seriusan aku bund. Harusnya bunda bangga dong aku bisa bangun pagi."

"Ck, B aja kali. Masih banyak anak tetangga yang bisa dibanggain, contohnya---"

"Reyhan anak pak RT yang setiap hari gak ketinggalan sholat subuh di masjid. Ali anak pak Imron yang suka bantuin orang tua. Terus Marcus anak pak Mardani yang hobinya nemenin ibunya belanja. Anak mana lagi yang belum kesebut?" Tanya nya dengan senyum lebar tapi palsu.

"Ih kamu emang pinter deh, makin sayang."

Lelaki itu hanya bisa memutar bola matanya malas. Dengan tanpa sengaja, dia melihat jam tangan yang dia gunakan. Jam setengah 7 kurang 10. Oke, waktunya berangkat.

"Yaudah bund, udah mau jam setengah 7. Aku mau berangkat." Ucapnya sambil menjulurkan tangan ke arah Irna.

Irna menyambut uluran tangannya dan terjadilah salam salaman antara anak dan orang tuanya. Namun, saat sudah selesai salam salaman, anak lelaki itu tidak langsung pergi. Namun, dia masih saja mengulurkan tangannya.

"Kenapa? Kan udah salim?"

"Masa bunda lupa."

"Hah? Apa nih?"

"Itu bun, tunjangan harian. Bunda kan menteri keuangan di rumah ini. Dompet krisis nih bund."

Mendengar ucapan lelaki itu, sontak wajah Irna mendatar. Dan dilihatnya wajah anak lelaki nya yang tampan ini tersenyum cerah tanpa beban.

Dengan ancang ancang 3, 2, 1...

"KAMU BOROS BUAT BELI NARKOBA YA?!"

Bertepatan dengan teriakan Irna, lelaki itu lari meninggalkan rumah untuk pergi kesekolah. Melihat kelakuan anak lelaki nya, Irna hanya menggelengkan kepala tak mengerti.

"Hehe, kamu itu ya, ada aja kelakuannya."

Tanpa sengaja, Irna melihat gelas susu nya yang tandas hambis tak bersisa. "Astaga, itukan susu diet low-fat ku. Duh mana udah abis lagi."

Di sisi lain...

Kruyuk... kruyuk...

"Duh, ini kok perut rasanya gak enak ya?"

*****

So, Kalau kalian suka boleh dong kasih bintangnya😊. Dan kalau kalian punya kritik sama saran bisa tulis di komentar.

See you to next chapter darl!

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang