Terik matahari menyengat lembut menerpa kulit nya yang langsat. Semburat merah terlihat di pipi nya beserta cucuran keringat yang menetes. Dari objeknya yang jauh, matanya memicing. Berharap matanya tak salah lihat dengan keadaan di balik gerbang.
"Kamu lagi kamu lagi. Bosen saya liat kamu telat. Gak usah banyak alesan. Lari!"
"Ta-tapi pak..."
"Gak ada tapi tapian."
"Aduh aduh, ini lagi. Kamu telat lagi loh nak. Padahal rumah kamu deket loh. Kenapa... bla... bla... bla... bla."
Sekiranya itu percakapan yang terdengar olehnya.
Duh pake telat lagi...
Dengan sigap, gadis itu berlari cepat menuju gerbang belakang sekolah. Berharap masih ada harapan untuk bisa masuk kelas meski jam pelajaran pertama sudah dimulai.
Dengan sedikit tenaga, gadis itu mendorong pelan pintu besi berkarat. Bunyi decitan terdengar sedikit nyaring. Wajahnya pun dilanda panik. Takut ketahuan.
Duh, ada yang nyadar gak ya? Semoga enggak.
Krieeet..
Berhasil.
Pintu besi berkarat itu terbuka selebar tubuhnya. Tanpa basa basi gadis itu masuk tanpa melihat situasi.
"Kirana?"
Seketika langkahnya terhenti kala namanya tersebut. Matanya tertutup tak berani seiring tubuhnya menegang. Tak berani menoleh kebelakang, gadis itu hanya bisa menunduk dan menutup mata.
Mati aku.
Derap langkah terdengar pelan. Malah membuat gadis itu terpaku menegang tak berani. Semakin mendekat suara langkahnya membuat degub jantung nya terdengar jelas olehnya. Dan, hap...
"Aaaa... hmmmph."
Bermula sebuah tangan menyentuh pundaknya kini beralih dengan sebuah bekapan dimulut dan tubuh yang ringan dalam dekapan.
"Ssst... jangan berisik." Bisiknya pelan.
Gadis itu terpaku melihatnya. Dari jarak dekat dalam dekapan, rasa hangat menjalar dari perut menuju jantung lalu merembet ke wajahnya. Rona wajahnya tercetak jelas seiring dengan semburat halus matahari yang menghangat.
Dari sini, Kirana mengaguminya. Pahatan indah ciptaan tuhan yang sedang menoleh mengamati sekeliling.
Tersadar akan posisinya, gadis itu berusaha bangkit.
"Ma-maaf."
"Gak apa apa. Ayo ikut."
Lengannya tertaut oleh tarikannya. Sedangkan otaknya terlalu lambat untuk mencerna. Sadar siapa yang sedang menariknya berjalan Kirana melepaskan tautannya paksa.
Lelaki itu hanya memutar balikkan tubuh dan menatapnya heran.
"Na-nanti kamu aduin aku ke pak Jae."
"Enggak."
"Ta-tapi..."
"Udah lo diem. Lo sama gue. Jadi aman."
Dan lagi, tangannya kembali bertaut. Hatinya kembali menghangat dengan sikapnya. Bingung. Otak nya masih belum terkonek dengan kejadiannya kali ini. Dirinya hanya pasrah, dan berharap lelaki di depannya ini benar membantunya untuk membuat dirinya aman.
Hingga di persimpangan, lelaki itu mengambil sebuah buku kecil di kantong dan menyerahkannya. Lantas Kirana hanya menatap bingung. otaknya masih belum bisa mencerna semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indestructible
Fiksi RemajaIndestructible: The Pinnacle of The Coin That Was Thrown Someone once said to me, "humans have 3 faces. and we don't know which one to use." Gue kira, ini cuman omong kosong. Dan seiring berjalannya waktu...