21.40 WIB
.
.
.Derasnya hujan bersama sambaran petir yang menggelegar. Rasa dingin menyapa masuk kedalam kamar dengan jendela terbuka. Maka, tirai tertampias basah oleh tetesan air yang menyerang masuk.
Disebuah kursi rotan, seorang lelaki berkepala tiga duduk termenung menatap luar. Malam kelabu berhias air Tuhan yang turun menambah suram temaram nan kelabu. Dinginnya malam karena hujan tak di indahkan olehnya. Bahkan dengan tatapan kosongnya, tangannya masih saja asik terjulur memainkan percikan air yang turun.
Jedeeer...
Suara kilat bersahutan menambah ramainya suara semesta. Tak ada rasa takut atau gentar, malah lelaki itu menutup matanya menikmati.
Hah...
Sebuah hembusan nafasnya melolos keluar bersama asap vapor keluar menyemarakkan suasana, menajamkan seluruh panca indra yang dia punya.
Jedeeer... duaaar...
"Aaarrrggghh!"
Prang!
"Aaaargghh!"
Bruuuk!
"Huaaaaaa!"
Teriakan bersahut dengan lemparan barang terdengar. Bukan maksud untuk menyiksanya. Tapi hanya itu yang bisa lelaki itu perbuat.
Ya, teriakan seorang perempuan yang sedang tantrum karena Post Traumatic nya. Terlebih lagi...
"Gue gak mau buta!!!"
Ya, perempuan itu buta.
Hati lelaki itu teriris mendengarnya. Tak kuat. Sudah hampir tujuh belas tahun lamanya, keadaan ini sering terjadi. Terlebih lagi bila hujan datang dengan suara petir yang menggelgar.
Dengan tubuh lelah, lelaki itu berjalan mengetuk pintu sebelah kamarnya. Lalu mengambil kunci serep yang tersimpan di ventilasi kamar dan membuka pintu bercat hitam.
Ceklek...
Pintu terbuka lebar, seorang perempuan berbaju lusuh itu berjalan terseok seok dan akhirnya jatuh kelantai. Merasa masih ada tenaga, perempuat itu menyeret tubuhnya bergerak menuju pojok kamar sambil meraba. Dan akhirnya, perempuan itu duduk dengan gemetar sambil menelungkupkan tubuh.
Lelaki itu hanya memperhatikan. Tak mau mengganggu.
Dengan pelan, dia memasuki kamar bernuansa hitam putih itu dengan hati hati. Sembari memunguti pecahan gelas yang berserakan dan menaruhnya pelan di atas meja.
"Ssst..." bisiknya mendekati perempuan itu sambil memeluknya.
"It's okay. Kamu gak sendiri."
"Huh? Huaaa!!" Lagi, perempuan itu kembali tantrum dan memberontak di pelukan nya.
"Ssst-Ssst-Ssst... kamu mau apa?"
"A-aku bu-butuh---"
"Ssssstt... nanti ya nanti. Lagi diusahain. Kamu sabar ya?" Ucapnya menenangkan.
Perempuan itu hanya diam dalam senggukannya. Tak menjawab, tapi isak tangisnya mulai mereda.
Dengan penuh rasa kasih sayang, lelaki itu mengangkatnya bangkit dan merebahkan tubuh perempuan itu di tempat tidur. Namun saat hendak pergi, lengannya tertahan oleh cengkraman perempuan itu.
"Jangan pergi!" Ucap perempuan itu dengan cepat. "Dhi-dhirga jangan pergi ya?"
Lelaki itu tertegun mendengarnya. Namanya terucap dari bibir tipis perempuan itu. Hatinya menghangat. Dhirga tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indestructible
Teen FictionIndestructible: The Pinnacle of The Coin That Was Thrown Someone once said to me, "humans have 3 faces. and we don't know which one to use." Gue kira, ini cuman omong kosong. Dan seiring berjalannya waktu...