Lalat Kecil

107 6 0
                                    



Sore hari identik dengan suasana penuh kehangatan, seharusnya begitu.

Tapi tidak berlaku di keluarga Grahita. Sore hari adalah jam paling hectic, tempat semua emosi dan sanksi seharian tumpah menanti chaos di seisi rumah.





'TAKK!'


"Kenapa harus Ris?! Kenapa bukan Mas Mersa?!"

Iris melempar sendoknya dengan kasar. Lagi, sore hari yang bukan selayaknya rumah.

"Mersa masih harus cari uang. Mas mu itu perlu modal untuk menikah. Tapi kamu, kamu bisa tunangan dulu sebelum menikah. Biaya hidupmu bakal aman. Calon suami mu mapan."

"Ayah! Ris masih semester 4, kalau Ayah mau ngebuang Iris, nggak gini caranya!"

"Ris! Dia itu ayahmu!"

Iris menatap emaknya dengan pandangan tak percaya. Tak pernah ada satu pun terlintas pikiran emak bakal membentaknya.

Tapi kemudian Iris menatap ayahnya sengit dan menggebrak meja. Hirau dengan mie godog Jawa di atas meja.

"Ris tau! Ris capek! Selalu Ris yang jadi kambing hitam!"

"Ris! Duduk! Selama ini Ayah ngajarin kamu supaya punya tata krama!"

"Ris nggak akan hilang tata krama, kalo Ayah juga menghargai Ris sebagai anak."


"KAMU MEMANG HARUS DIPUKUL BIAR NGERTI!"

"Pukul, Yah. Pukul seakan Ris bukan anak Ayah. Pukul! Biar Ris nggak merasa berdosa kalau nggak menganggap Ayah sebagai Ayah Ris lagi."

"Ris yakin hidup Ris akan jauh lebih baik tanpa Emak sana Ayah!"



Suasana meja makan sore itu terasa gamang. Setelah suara bantingan pintu kamar Iris menggema diseisi rumah, tak ada yang terdengar lagi. Semuanya bersembunyi, memilih tiap bilik kamar sebagai benteng pertahanan diri.

Iris mengunci pintu hanya untuk menangis tanpa suara di baliknya. Rasa isi kepala ingin meledak, justru emosinya yang meledak keluar.

Hatinya begitu sakit, lelah karena tugas kuliah, merasa tak adil karena hanya Ayah dan Emak yang berhak marah-marah. Sebagai anak, dia merasa telah kehilangan hak.

Masih dengan tergugu, Iris beranjak kemudian duduk di balik meja belajar. Masih dengan tangis, Iris kembali membaca surat pemberitahuan penerimaan beasiswa yang baru ia terima tadi siang. Dibacanya kalimat-kalimat runtut itu, untuk kemudian Iris tersadar. Tak berguna. Bahasa dan sastra sebentar lagi bukan menjadi ranahnya. Dia hanya akan berakhir seperti emak.

Hanya di rumah untuk mengurus ayah. Begitulah nasibnya selanjutnya.



"Mas Mersa, Ris nggak nyangka secepat ini Ris ingkar janji."

Sekelebat niat terlintas. Kalau dia menghilang, Ayah dan Emak tidak perlu repot membuangnya, dia pun tak perlu sakit hati karena gerbang mimpinya terpaksa ditutup rapat. Tak ada yang bakal menolongnya, bahkan Mas Mersa yang pergi merantau. Dia hanya perlu menunggu putih menjemput, gelap melingkupi.

Entah sejak kapan, satu goresan tercipta. Dengan sebelah tangan bergetar, Iris menggores untuk yang kedua kali. Ini pertama kalinya. Lebih dalam dan pedih.

Kali ini pergelangan tangannya terasa terbakar, perih. Tapi agaknya rasa sakit dan sepinya terobati.


"Tuhan, Ris minta maaf."

"Mas Mersa, maafin Ris ya..."

Iris masih sesenggukan, menatap nanar pada pergelangan tangannya yang kini terluka lebar.

Sampai pada akhirnya, surat itu tak lagi terlipat rapi, tetapi juga berubah merah.

Sebuah pertanda bahwa si pemilik sudah menyerah dan bersandar wajah di atasnya. Rasa kantuk menyerang, pening tak lagi dapat terhalang, dan gelap pun mulai datang. 


Malam itu Iris menyerahkan hidup, tanpa tau bukan hanya dia yang bakal redup.






















Author's Note :

Book ini bakal berbeda dari book aku yang lain karena bentuknya series. Satu tokoh cuma cuma ada 3-5 bab dengan nggak lebih dari 700 kata per bab nantinya.

Karena aku lagi nggak pengen nulis panjang-panjang. Jadi nanti setiap tokoh di setiap bab nggak berhubungan satu sama lain.

Aku juga berpikir kalian bakal bosen dengan konflik berat dan cerita yang panjang-panjang, so I make this series. Hope you enjoy it.




Tertanda,

Violetjii

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang