Tepi Perpisahan : Jadi kamu Harsa?

32 3 0
                                    

"Mungkin kebahagiaan yang nyata nggak sepenuhnya bisa disebut kebahagiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mungkin kebahagiaan yang nyata nggak sepenuhnya bisa disebut kebahagiaan. Karena 0,1% nya tercipta dari kesedihan."














Iris terbangun dengan cahaya putih yang menyambut, seperti biasanya.
Iris pikir akan ada Harsa di hadapannya. Tapi kemudian justru menampakkan seorang Mersa yang menatapnya penuh kekhawatiran.

"Dek kamu bisa denger Mas?"


"Ris?"



"Bawel banget Mas Mersa nih..", Iris bergumam disela-sela penyesuaian matanya dengan cahaya.

Mersa tak menjawab lagi seperti biasanya. Pemuda itu justru terduduk lemas di kursi samping ranjang Iris.

Dan Iris sadar, apa yang harus ia bicarakan pada saudaranya itu.



"Maafin Ris, Mas."

Mersa mengambil tangan Iris, menatap perban luka yang membalut tangan gadis itu.

"Kamu ini! Habis tidur dua hari kenapa jadi mellow begini?!", Mersa tersenyum dengan kedua mata lelahnya.

"Jangan kaya gini lagi ya, dek? Jantung Mas mau lepas rasanya. Gusti Nuh Agung..."

"Memang cuma Mas Mersa yang perduli sama Ris."

"Hus! Jangan ngomong kaya gitu."

Iris akhirnya tersenyum kecil. "Mas, Ris boleh minta sesuatu?"

"Kalo aneh-aneh Mas tinggal balik ke Solo."

"Tega banget."

"Anterin Ris ke cafe deket-deket sini."

"Oke, Mas balik Solo sekarang."

"Mas Mersaaaa serius! Ris mau ketemu seseorang. Dan mungkin, habis ini kita punya adik baru. Jangan bilang-bialng ke ayah sama emak, dia bakal jadi adek Ris, tapi bukan anak ayah sama emak."

"Biar Mas yang bawa orangnya kesini. Siapa namanya? Rumahnya dimana? Kamu-"

"Mas? Boleh ya?", Iris mengiba.




Pada akhirnya Mersa mengiyakan. Keduanya saat ini sedang dalam perjalanan ke cafe tempat Harsa bekerja.

"Maaf kak, tapi hari ini Harsa nya ambil cuti karena saudaranya meninggal."

Begitu mendengar ucapan salah satu kasir disana, Iris menggeret lengan Mersa menjauh setelah mengucap terimakasih.

"Mas Mersa sehat kan?"

"Bisa nyetir dengan baik?"

"Pendengaran oke?"

Mersa mengangguk tiga kali.

"Ris yang nunjukin arah, kita kerumahnya Harsa sekarang."

Mersa mendengarkan dengan baik, bahkan pedal gas sempat diinjak kuat-kuat. Tak butuh waktu lama, Iris sampai di rumah Harsa.

Rumah Harsa yang selalu tampak sepi bagaimanapun keadaannya. Dengan sisa tenaga sehabis bangun dari koma, Iris berlari, meninggalkan Mersa di belakang.

Iris tak ingin berpikiran buruk, tapi ia takut Harsa melakukan suatu hal bodoh seperti dirinya. Karena Iris tau persis bagaimana rasanya kesepian saat satu-satunya orang yang jadi kekuatan menghilang.


"HARSA!"

Iris mendorong pintu utama yang ternyata tak dikunci.

Tak seperti kondisi terakhir yang Iris lihat, rumah Harsa terlampau gelap. Tapi ia tau Harsa ada di dalam. Tanpa banyak membuang waktu ia berlari ke lantai atas.

Iris sempat tertegun saat melihat Harsa terduduk di tepi kasur. Pemuda itu terdiam dengan memeluk surat kusut yang pernah ditulis Talitha. Juga surat pernyataan yang waktu itu Iris tulis.

Talitha benar-benar pergi.

Harsa memang diam, sunyi. Tapi air mata yang menetes tanpa henti itu memberi tau Iris tentang sesuatu. Harsa hancur. Dan Iris tau betul.

Dengan pelan Iris menarik Harsa ke dalam pelukan, membiarkan tangis pemuda itu pecah dengan segala emosinya yang tumpah.

Iris turut berkaca-kaca, Iris tau Harsa begitu mencintai Talitha sebagai satu-satunya yang ia punya. Pemuda ini hanya tak banyak menunjukkan rasa sayang akibat berusaha menahan segala luka demi kebahagiaan adiknya.

"Sebelumnya aku berhasil ngebawa dia menjauh dari jalan. Tapi kenapa Tuhan selalu punya cara buat ngambil dia dari aku?"

Harsa bergumam di sela tangis. Saat itu juga, tembok kokoh milik Harsa telah roboh.

Iris hanya dapat menepuk pelan punggung lebar Harsa. Luka miliknya hanya dapat di sembuhkan oleh sang waktu.

"Kamu udah berhasil ngebuat Talitha bahagia, sekarang Tuhan yang ambil alih. Talitha juga bilang kamu harus bahagia, kan?"

Mersa menyaksikan keduanya dari jauh. Ia merasa adik perempuannya tumbuh jadi lebih dewasa.

"Aku Iris, setelah ini aku yang bakal jaga kamu, bareng Mas Mersa juga. Kamu nggak akan bermimpi sendirian, Sa."

Mersa akhirnya mendekat, menepuk pelan kepala Harsa sebagai tanda perkenalan.

"Jadi kamu Harsa? Kamu harus mau jadi adik saya karena kamu udah ngebuat Iris kaya orang kesetanan padahal perban lukanya masih basah."





"Satu lagi, kayanya harus potong rambut. Primitif soalnya."

Tanpa ragu Harsa mengangguk, tersenyum meski pancaran sedih di kedua mata masih begitu pekat.

Iris turut tersenyum bahagia. Berkat Harsa, kini tercipta kelegaan di ruang hatinya. Kini ia tak akan kesepian meskipun tanpa Mas Mersa.







Makasih, kak. Pesanku buat Kak Harsa udah tersampaikan.




















Author note :

What do you think?

Apa aku harus lanjut buat series member lainnya atau cukup sampai disini?

Dari setiap book yang aku tulis, aku harap kalian bisa nerima pesan yang mau aku sampaikan.


Tertanda,

Violetjii

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang