Dewa dan Rasya bagaikan buah apel dan ulatnya. Begitulah kata orang lain.
Dewa hampir sempurna tanpa celah jika saja tidak memiliki sahabat seperti Rasya Ilusi Bidnaya. Sampah sekolah, itulah sebutan untuknya.
Bagi Rasya, Dewa adalah segalanya, pun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dewa memijit pelipisnya yang migrain seketika. Pemuda berwajah kalem itu baru saja terbebas dari soal latihan olimpiade kimia, namun tak sampai sepuluh menit, ia mendapat laporan bahwa sahabat tak tahu dirinya kembali berulah.
Dewa melonggarkan dasi yang terasa kian mencekiknya. Ia menatap malas ke arah gadis yang duduk di hadapannya, mereka terhalang meja kerja Dewa.
"Ka—"
"Dewa, lo tahu berapa jumlah pasir yang ada di jam pasir ini?" Gadis dengan kepang satu itu memotong ucapan Dewa begitu saja. Bahkan ia tak mau repot-repot hanya untuk menatap Dewa. Dua bola mata cokelatnya menatap lekat jam pasir yang berada di meja kerja Dewa, bahkan dahinya sampai mengerut karena begitu serius.
Dewa menghembuskan nafas jengah. Jika bukan sahabatnya, sudah dari lama Dewa membuang gadis ini ke TPS. Iya, pembuangan sampah, karena gadis ini sudah dianggap sampah sekolah di SMA Laskar Aksara.
"Kali ini, ulah apa lagi yang lo buat?" Dewa tak memusingkan pertanyaan tak bermutu yang keluar dari bibir tipis gadis di hadapannya.
"Rasya!" panggil Dewa dengan nada tinggi saat tak ada sahutan dari gadis itu.
"Cuma buang seragam anak yang lagi ganti di toilet ke atap, terus gue siram dia pakai air dari kolam ikan plus ikan-ikannya, terus gue tambahin bon cabe sebagai penyedap rasa—"
"Dan lo bilang itu cuma! Itu udah keterlaluan Rasya!"
Rasya mengerjapkan netra cokelat bulatnya dua kali. Alisnya yang melengkung sempurna sedikit terangkat.
Apa kelakuannya sudah kelewat batas sehingga Dewa membentaknya?
"Ikut gue." Dewa berdiri dari kursi kebesarannya. Ia memperbaiki dasi yang menggantung di lehernya.
"Kemana?" Rasya masih duduk santai di kursinya.
"Lo pikir setelah lo melakukan kesalahan, lo nggak akan minta maaf?"
"Enggak."
Dewa mengatur emosinya. Hari ini ia masih terlalu sayang untuk tidak menenggelamkan Rasya ke segitiga bermuda, nggak tau kalau besok.
Setelah melalui percekcokan panjang dengan Dewa, akhirnya di sinilah Rasya berada. Duduk di ruang BK bersama Dewa, Guru BK, dan adik kelas perempuan yang tadi dikerjainya. Rasya duduk bersebelahan dengan Dewa, sedangkan guru BK dan adik kelas itu duduk di seberangnya.
"Rasya! Ayo minta maaf!" Guru BK bertubuh kecil dengan suara melengking itu berujar memecahkan keheningan.
Rasya mengangguk dengan malas. "Sorry, sengaja."
Dewa yang duduk di sebelah Rasya meringis miris. Apa itu cara meminta maaf dengan benar?
"Minta maaf yang bener," tegur Dewa seraya berbisik. Ia berkata lirih hingga hanya Rasya yang dapat mendengarnya.
Rasya menghembuskan nafas jengah. Sejenak, ia mengamati adik kelasnya yang kini sudah memakai seragam sekolah. Mungkin beli baru lagi. Ia mengukir senyum terpaksa. "Maaf, Kakak emang sengaja ngerjain lo."
Adik kelas yang sedari kedatangan Rasya hanya menunduk kini mengangguk. "Iya, aku maafin, Kak. Tapi ...." Adik kelas itu menggantungkan ucapannya, menimang apakah ia harus menanyakan sebabnya.
"Tapi?" ulang Dewa. Ia menunggu kelanjutan ucapan dari adik kelasnya.
Adik kelas itu menatap Dewa sebentar, kemudian menunduk lagi. "Tapi kenapa kakak melakukan itu ke aku, aku salah apa?"
"Oh, lo nggak salah apa-apa. Gue cuma iseng aja. Gue juga nggak tau lo siapa," jawab Rasya santai.
Setelah melewatkan waktu dua jam dengan mendengarkan teguran yang tidak berpengaruh baginya dari Guru BK, Rasya merasa seperti terbebas dari sidang tindak kekerasan begitu keluar dari Ruang BK. Ia meregangkan ototnya yang terasa kaku karena tidak leluasa bergerak di ruang BK tadi.
Dewa yang sedari tadi menunggu di luar ruangan dengan bersandar pada dinding, memejamkan mata, kini menegakkan tubuhnya. Ia mengulurkan sebelah telapak tangannya untuk menutup mulut Rasya yang tengah menguap.
"Kapok nggak?" tanya Dewa. Walau ia sudah pasti tahu jawabannya seperti apa.
"Enggak lah."
"Kapan tobat sih lo? Nunggu tangan sama kaki dipotong?"
"Boleh," jawab Rasya dengan menyeringai senang. Ia mengulurkan kedua tangannya pada Dewa.
Dewa menarik tangan kanan Rasya dan memelintirnya. "Dasar masokis."
Yang Rasya lakukan hanya tertawa. Sakit. Ia bisa merasakannya. Tapi entah kenapa rasanya menyenangkan bagi Rasya.
Dewa menghentikan aksinya lalu mengurut tangan Rasya. Ia takut perbuatannya malah membuat tangan Rasya terkilir.
"Masuk kelas sana."
Rasya langsung menggeleng cepat. "Kata Bu Septa gue harus dihukum," sahutnya dengan yakin seraya mengebut nama Guru BK-nya.
Dewa mengangguk. Sahabatnya ini memang spesies yang langka. Rasya suka dihukum. Hukuman apapun yang diberikan, baik dari Dewa maupun dari Guru akan ia jalani dengan sungguh-sungguh. Mungkin jika anak lain akan kabur dan mengabaikan hukumannya.
"Salin buku ensiklopedi hukum di buku tulis lo."
"Siap laksanakan, Dewa Yang Agung." Rasya mengangguk dengan semangat. Ia berbalik dan ngacir menuju perpustakaan.
Dewa hanya menggeleng tak mengerti. Bagaimana bisa ia betah menjalin persahabatan dengan gadis aneh macam Rasya Ilusi Bidnaya.