Medina melirik dari balik sekat kubikel ketika samar-samar ia mendengar suara Tama. Terselip perasaan iri setiap kali Tama berbincang akrab dengan Hasna, staf administrasi departemen HSE. Tentu saja akrab, Hasna sudah lebih dulu bekerja di perusaan ini jauh sebelum Tama bergabung. Apa lagi Medina yang baru kemarin sore. Lamat-lamat Medina memperhatikan, Tama nampak jauh lebih santai bila berhadapan dengan Hasna. Intensitasnya mengalihkan tatap mata tak sekentara saat berhadapan dengan Medina atau staf perempuan yang lainnya.
"Ngawur! Mbak Hasna itu orang lama. Bahkan dia sudah di sini sebelum Pak Rudy." Tepis Kia ketika Medina mengutarakan dugaannya terhadap Tama dan Hasna. "Lagi pula Mbak Hasna itu single parent. Mas Tama masa ia mau sama janda anak satu." Imbuh Kia lagi.
Tapi perasaan iri di hati Medina amatlah mengusik. Setelah Tama pergi, Medina menghampiri kubikal Hasna dengan alasan ingin tahu perihal peraturan cuti. Padahal sebenarnya Medina sudah tahu. Sungguh ia ingin tahu, seberapa menyenangkannya Hasna sampai Tama sering mampir ke kubikalnya tiap kali melintas.
"Jatah cutimu sudah diperbaharui semua sama HR. Masih full dua belas hari." Terang Hasna sambil menatap layar komputer, mengecek status cuti Medina di dalam sistem. "Kamu mau ambil cuti sekarang?"
"Bukan-bukan. Cuma pengen tahu aja gimana teknisnya cuti datang bulan." Medina berdalih.
Hasna menjentikkan jarinya lalu mengeluarkan sebuah buku saku dari laci yang berisi seluruh peraturan tentang administrasi kepegawaian. Buku itu sudah lecek dan banyak bekas lipat di sampulnya. Nampaknya Hasna sudah berulang kali membaca buku itu.
"Kamu cukup kasih aku surat keterangan dokter. Nanti sisanya biar saya yang urus."
Medina mengangguk paham—karena memang dia sudah paham sebelumnya.
"Ada lagi yang mau ditanya?"
Tatapan mata Medina bertemu dengan setelan kerudung dan gamis yang Hasna pakai. Pakaian yang cukup mencolok bila dibandingkan dengan karyawan lain yang mayoritas tampil necis dan modis. "Saya punya kakak yang bajunya sama persis kayak Mbak Hasna." Medina menunjuk Hasna sekilas. "Pakai baju panjang tiap hari, emang enggak ngerasa gerah?" Medina betulan bertanya karena penasaran.
Hasna tersenyum sebentar. "Justru ini pakaian yang paling nyaman yang pernah saya punya. "Hasna berdiri dari kursinya. "Memang terkesan gerah karena bajunya tertutup. Tapi sebenarnya ini baju adem banget, lho. Kalau ada angin lewat, anginnya masuk sampai ke dalem. Seger."
Medina tergelak mendengar jawaban Hasna yang polos dan apa adanya.
"Dan baju gamis ini ramah global warming." Hasna menambahkan.
Kening Medina berkerut samar. "Kok, bisa?"
Hasna tersenyum misterius seraya menjentikkan jarinya. "Pemanasan global. Lapisan ozon menipis. Sinar UV lolos lebih banyak. Bukan cuma UV A dan UV B, sekarang sudah ada UV C yang bisa menyebabkan kanker kulit." Hasna merentangkan kedua tangannya. "Sunblock harus terus diapply tiap dua jam sekali. Ribet. Kalau baju ini tinggal dipakai aja. Menutup seluruh tubuh dan menangkal radikal bebas."
Serta merta Medina teringat Ghaida yang juga pernah punya jawaban logis mirip seperti Hasna. "Pakaian longgar itu baik untuk kesehatan. Terutama daerah kewanitaan. Celana gemes atau jeans yang katanya lebih nyaman, justru membahayakan miss v. Lagi pula gamis ini lebih praktis. Dipakai ke kantor, oke. Dipakai ke kondangan, juga oke. Dipakai jalan-jalan, bisa. Dipakai ke kondangan, jelas bisa. Dipakai ke acara reunian, apa lagi. One for all."
"Tertarik mau coba pakai long dress kayak gini?" Pertanyaan Hasna membuyarkan lamunan Medina.
"Enggak, kok. Cuma penasaran aja." Balas Medina dengan nada enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Maaf Untuk Ghaida
RomanceSebuah cerita bersambung tentang Ghaida si gadis hijrah yang berjibaku berdakwah di rumah selama sepuluh tahun. Namun apa daya, ibu dan adiknya bagai terperangkap di masa lalu. Mau seberapa keras Ghaida menunjukkan perubahan pada dirinya, ibu dan Me...