BAGIAN 1

282 8 1
                                    

Hujan saat ini turun begitu deras. Suara guruh dan sambaran kilat bersahutan, begitu menakutkan. Jilatan kilat bagaikan pedang malaikat yang sedang mengejar iblis terkutuk. Tanah di daerah itu sudah basah digenangi air hujan.
"Hiyat!"
Tar! Tar!
Dalam cuaca seburuk itu di pinggiran hutan Jatijajar terdengar suara orang bertarung ditingkahi suara lecutan cambuk. Memang, tengah terjadi pertarungan tak seimbang. Tampak tujuh orang laki-laki berpakaian prajurit kerajaan, tengah mengeroyok dua orang pemuda bersenjata cambuk yang sudah terluka. Ujung cambuk dua pemuda itu berbentuk tengkorak kepala manusia.
Siut! Wut!
Berbagai senjata tajam, berkelebatan, menghalau lecutan cambuk di tangan kedua pemuda berpakaian serba hijau dan serba kuning yang sudah kepayahan karena luka-lukanya. Tetapi mereka tidak mau menyerah juga. Dengan sisa-sisa tenaga, mereka terus bertahan sebisanya. Bahkan tampaknya sudah tidak memikirkan keselamatan lagi.
"Terimalah kematianmu, Anak Muda! Sayang pemuda seusiamu, telah memilih jalan sesat! Atau kau ikut bersama kami menghadap Gusti Prabu Narawangsa untuk menerima hukuman!" bujuk prajurit yang berkumis dan beralis tebal. Dialah yang menjadi pemimpin prajurit ini.
"Jangan ikut campur urusanku! Dan persetan dengan Gusti Prabu!" sentak pemuda yang berpakaian kuning.
"Keparat! Kalian benar-benar tidak tahu diri! Pengawal, cepat ringkus dia! Hidup atau mati!" perintah prajurit berkumis tebal.
Tanpa banyak basa basi lagi, para prajurit segera menerjang kedua pemuda yang menjadi buronan kerajaan. Tetapi keduanya tetap tidak mau menyerah begitu saja. Mereka tetap mengadakan perlawanan sebisanya tanpa memikirkan keselamatan diri lagi.
"Hiaaat!"
Walaupun bertahan sekuatnya, tetap saja kedua pemuda itu berada di bawah angin. Kembali mereka terdesak, dan hanya berusaha mengelak dan menangkis.
Sepuluh jurus kemudian, sebuah tusukan pedang menderu cepat ke arah dada pemuda berpakaian kuning. Maka secepatnya pemuda itu memiringkan tubuhnya, sambil berusaha mengangkat kakinya untuk menendang. Tapi di luar dugaan, satu luncuran pedang bersamaan datangnya, ketika kakinya terangkat. Dan....
Crap!
"Akh!" Pemuda berpakaian kuning itu mengeluh tertahan, ketika luncuran pedang salah seorang prajurit menancap di pahanya. Darah tampak mengucur deras ketika pedang itu tercabut.
Dengan segera pemuda yang berpakaian serba hijau melindungi. Dia bermaksud menghambat serangan berikut yang lebih dahsyat terhadap pemuda berpakaian kuning.
"Kakang Jayadi! Apakah kau tidak apa-apa...?!" tanya pemuda berpakaian serba hijau.
"Tidak perlu gelisah, Adik Arung Garda. Mati atau hidup tidak jadi soal bagi kita, bukan...?" tukas pemuda berpakaian kuning yang dipanggil Jayadi.
Kini pemuda berpakaian hijau yang bernama Arung Garda, menyerang para pengepung dengan mengarahkan ujung cambuknya yang berbentuk tengkorak ke arah kepala. Dan tampaknya, serangan tersebut tidak terlalu berbahaya, karena empat orang dari prajurit saja telah sanggup membendung.
Serangan balik prajurit benar-benar sangat membahayakan. Bahkan tiba-tiba ujung tombak salah seorang prajurit berhasil melukai lengan kanan Arung Garda.
Crasss...!
"Aaakh...!" Arung Garda terpekik. Lengan kanannya tampak mengucurkan darah. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, meluncur sebuah tendangan keras yang menghantam perutnya.
Des!
"Aaakh...!" Pemuda ini kontan ambruk cukup keras disertai pekik kesakitan. Sementara Jayadi yang mencoba menghalangi, juga tak luput mendapat bagian. Dadanya terhantam satu pukulan telak. Tubuhnya pun terhuyung-huyung disertai muntahan darah segar dari mulut, lalu ambruk ke tanah.
Ketika akan bangkit, telah terancam ujung tombak dan pedang yang berkelebatan menggiriskan. Rasanya nyawa mereka berada di ujung tanduk. Namun pada saat yang gawat, mendadak berkelebat tiga sosok bayangan yang langsung memapak serangan para prajurit.
Trang! Tring! Tring!
"Wuaaa! Akh!"
Para prajurit kontan menjerit tertahan, ketika senjata mereka tertangkis. Bahkan tangan mereka terasa seperti kesemutan dan bergetar mundur dua-tiga langkah ke belakang.
Setelah melakukan pemapakan, tiga sosok bayangan hitam itu tidak melanjutkan serangan. Mereka langsung berdiri, melingkari Arung Garda dan Jayadi bersikap melindungi. Sehingga para prajurit kerajaan dapat melihat jelas tiga sosok itu.
"Siapakah kau, Kisanak?!" tanya kepala prajurit kerajaan, setelah menatap beberapa saat dengan wajah terkejut.
"Hahaha...! Kami Siluman Tengkorak Gantung, yang tidak mengizinkan kalian membinasakan kedua orang ini!" jawab salah satu dari tiga orang yang baru datang ini.
Mereka semua memakai kerudung dan berpakaian serba hitam bergambar tulang tengkorak manusia. Bila dalam gelap, mereka bagaikan tengkorak manusia sungguhan. Di leher mereka masing-masing tampak melingkar seutas tali yang telah disimpul menjadi semacam gantungan. Maka tak heran kalau orang persilatan menjuluki Siluman Tengkorak Gantung.
"Di hadapan Siluman Tengkorak Gantung, kalian jangan sok jadi pahlawan! Kami berminat pada dua anak muda ini. Dan pergilah sebelum kami lupa diri!" ujar salah satu dari tiga Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tinggi besar. Lalu dibukanya tali gantungan yang melingkari lehernya.
Sementara itu hujan semakin menggila. Curahan air bagaikan ditumpahkan dari langit. Para pengawal kerajaan yang sudah berang, tidak mempedulikan keadaan cuaca lagi. Maka dengan teriakan menggeledek, mereka menerjang Siluman Tengkorak Gantung. Desingan dan teriakan kembali meningkahi cuaca yang semakin buruk.
Ctar!
"Haaat!"
Sambaran tali pengikat leher, disambut para prajurit dengan berbagai senjata. Pertarungan sengit tidak dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus dilalui. Dan mendadak....
"Ugh... Hoekh...!"
"Aaa...!" Tiba-tiba tercium bau yang amat busuk, diiringi ambruknya para prajurit kerajaan dengan teriakan menyayat.
"Awas! Bau ini mengandung racun jahat! Jaga dan atur pernapasan kalian!" ujar kepala prajurit, namun telah terlambat. Karena dia sendiri juga merasakan kepalanya pening dan bumi yang dipijak bergoyang-goyang.
"Celaka! Kita telah menghisap asap beracun dari Siluman Tengkorak Gantung. Aaakh..!"
Satu persatu para prajurit ambruk di tanah dengan tubuh membiru. Dan yang terakhir adalah kepala prajurit itu, setelah tanpa sengaja menghisap racun yang disebarkan Siluman Tengkorak Gantung.
"Hik hik hik...!"
Dalam cuaca seburuk ini, suara tawa Siluman Tengkorak Gantung terdengar sangat menyeramkan melihat kematian para prajurit. Arung Garda dan Jayadi yang ditolongnya sampai bergidik mendengarnya. Lalu ketiga siluman itu menatap Arung Garda dan Jayadi. Kedua pemuda itu tidak terkena racun karena Siluman Tengkorak Gantung telah membuat penawarnya tadi.
"Mari ikut kami...!" ajak salah satu Siluman Tengkorak Gantung.
"Ke mana?" tanya Jayadi.
"Jangan banyak tanya!" dengus Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus sambil melangkah pergi.
Terpaksa kedua pemuda itu mengikuti dari belakang. Sementara hujan masih terus tercurah dari langit. Sedang malam pun semakin larut.

161. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Tengkorak GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang