BAGIAN 3

147 7 0
                                    

Dalam waktu singkat, dunia persilatan geger oleh berita Kitab Pusaka Kincir Angin yang berisi ilmu-ilmu tinggi. Tetapi orang harus berpikir seribu kali. Karena kitab itu kini berada di tangan dua tokoh sakti yang beraliran hitam. Siapa lagi kalau bukan Loro Blonyo dan Manuk Beduwong?
Jangankan orang luar. Kedua orang itu sendiri saja tengah saling memperebutkan potongan kitab itu sendiri. Sementara kegemparan lain adalah munculnya Siluman Tengkorak Gantung, yang selalu membela dan melindungi penjahat rendahan yang kemudian dijadikan murid atau anggota.
Saat ini cuaca agak mendung. Angin bertiup cukup keras. Namun itu tak menghalangi rombongan prajurit Kerajaan Suralaya yang berhenti pada dataran yang agak luas. Rupanya mereka hendak beristirahat setelah membuat kemah.
Ternyata mereka adalah rombongan Panglima Sena dan istrinya yang bernama Nirmala. Mereka belum lama menikah. Dan saat itu, panglima itu ditugaskan diwilayah selatan. Sedangkan pasukan yang mengawalnya berjumlah tiga puluh orang.
Menjelang tengah malam, banyak prajurit yang tertidur karena kelelahan sehabis melakukan perjalanan jauh. Beberapa penjaga juga mulai terkantuk-kantuk. Kini suasana jadi hening dan sepi. Mereka semua terlelap dalam buaian malam.
Waktu berlalu. Sementara dari balik batu-batu besar dan pepohonan berloncatan, sosok tubuh berpakaian hitam bergambar tengkorak. Gerakan mereka demikian gesit dan cepat. Sehingga para penjaga tidak menyadarinya.
Ternyata, jumlah sosok berpakaian serba hitam bergambar tengkorak itu ada dua puluh orang. Secara bersamaan, mereka membanting sebuah benda sebesar telur puyuh di sekeliling kemah. Setelah mengeluarkan ledakan kecil, benda tadi mengeluarkan asap tebal bergulung-gulung ke udara.
Mendengar ledakan, para prajurit dan Panglima Sena serta istrinya terjaga dengan wajah terkejut. Namun lebih terkejut lagi ketika merasa kepalanya pening. Pandangan mata mereka mendadak kunang-kunang. Namun demikian dengan cepat mereka mencabut senjata masing-masing.
"Awas! Ada pengacau menggunakan asap beracun! Bersiap semuanya!" teriak salah seorang prajurit.
"Aaa...!" Tapi pada waktu yang bersamaan, terdengar teriakan-teriakan menyayat, disusul jatuhnya beberapa sosok tubuh tanpa nyawa lagi.
"Hihihi...! Mampuslah kalian orang kerajaan yang usil dengan urusan orang lain!" ejek sosok-sosok yang ternyata Siluman Tengkorak Gantung.
Sambil tertawa-tawa, mereka mencabut senjata masing-masing dan langsung menyerang para prajurit Kerajaan Suralaya. Mendapat serangan mendadak dan masih dalam keadaan pening, membuat para prajurit jadi kelabakan dan tidak dapat bertahan dengan baik. Maka kembali beberapa orang jatuh jadi korban dalam keadaan menyedihkan. Tubuh mereka berlumuran darah.
Panglima Sena dengan senjata pedang pendek, beradu punggung dengan Nirmala yang bersenjata pedang panjang. Sebelum menikah Nirmala dulu juga seorang pendekar wanita yang cukup disegani dalam dunia persilatan. Julukannya Dewi Pedang Kelana. Sedangkan Sena, sebelum jadi panglima kerajaan adalah pendekar rimba persilatan yang berjuluk Ksatria Hina Kelana.
Ada empat Siluman Tengkorak Gantung yang menyerang suami istri itu. Tetapi Nirmala segera membentuk pertahanan kuat dan sulit ditembus. Begitu serangan para Siluman Tengkorak Gantung tertahan, Sena melakukan serangan balasan yang bergulung-gulung bagaikan ombak lautan.
"Hiaat!"
Bret! Brebet!
"Akh!"
Beberapa teriakan menyayat segera terdengar, disusul jatuhnya dua Siluman Tengkorak Gantung tanpa nyawa lagi. Melihat kedua kawannya dapat dirobohkan begitu mudah, dua Siluman Tengkorak Gantung lainnya segera melompat mundur.
"Chiaaat...!" Disertai teriakan menggeledek, Panglima Sena dan Nirmala menerjang kedua Siluman Tengkorak Gantung.
Serta merta, kedua Siluman Tengkorak Gantung menangkis. Tetapi pada serangan berikutnya, mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ketika senjata-senjata Panglima Sena dan Nirmala mencari korban.
Perkelahian di luar kemah berlangsung tidak seimbang. Para pengawal Panglima Sena yang telanjur menghirup racun, menjadi kalang kabut. Penglihatan mereka jadi kabur dengan tenaga melemah mendadak. Sehingga mereka hanya menjadi bulan-bulanan para Siluman Tengkorak Gantung.
Bret! Jep! Bletak!
"Wuaaa! Aaakh!"
Teriakan berkepanjangan terdengar saling susul. Darah pun tampak menganak sungai. Sehingga dalam tempo singkat, yang tertinggal hanyalah Panglima Sena dan istrinya saja yang mengamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan.
"Bangsat! Rupanya kalian yang sering melakukan kejahatan. Kini sudah kubuktikan sendiri! Bersiaplah. Aku atau kalian yang akan terkapar mati di tempat ini...!" dengus Panglima Sena. Suaranya menggeledek dan bergetar, pertanda sedang menahan marah luar biasa.
Sehabis bicara, panglima berusia dua puluh delapan tahun itu memberi tanda pada istrinya. Lalu, mereka menerjang serentak. Begitu dahsyat amukan suami istri ini.
Beberapa orang Siluman Tengkorak Gantung berusaha menahan serangan dengan melempari pisau dan jarum beracun. Tetapi dengan jurus Kupu-kupu Mengitari Bunga, suami istri itu memutar pedang bagaikan kitiran. Maka tak satu pun dari senjata rahasia Siluman Tengkorak Gantung yang mengenai sasaran.
Bahkan serangan balasan dari Panglima Sena dan Nirmala menyebabkan tiga orang terjungkal dengan isi perut terburai. Tentu saja melihat kematian rekannya, membuat marah pemimpin para Siluman Tengkorak Gantung. Maka dengan kecepatan luar biasa, dia melempar benda sebesar telur puyuh ke arah Panglima Sena dan Nirmala yang tangguh itu.
Blap...!
Saat itu juga terdengar ledakan kecil yang menimbulkan asap beracun mengurung suami istri ini.
"Awas istriku! Tahan napasmu! Asap itu mengandung racun!" ujar Panglima Sena sambil menahan napas.
Tetapi, para Siluman Tengkorak Gantung tidak mau memberi kesempatan lagi. Sambil terus mengejek, mereka mendesak. Yang paling berbahaya, adalah serangan dua Siluman Tengkorak Gantung yang menggunakan cambuk berujung tengkorak kepala manusia.
Jdar! Jdar!
"Hait! Chiyat!"
Sambil memutar pedang bagai baling-baling suami istri itu coba bertahan dari serangan yang selalu mengarah ke bagian yang mematikan. Namun jumlah pengeroyok yang banyak, membuat mereka tidak dapat berbuat banyak, hingga hanya dapat main mundur saja.
Apalagi serangan dua Siluman Tengkorak Gantung yang menggunakan cambuk berujung tengkorak manusia. Mereka tidak sudi memberi kelonggaran sama sekali. Tampaknya, kedua Siluman Tengkorak Gantung ini mempunyai dendam pada orang-orang Kerajaan Suralaya.
"Keparat! Siapakah kalian berdua?! Tampaknya senjata kalian itu sudah tidak asing lagi bagi kami!" bentak Panglima Sena sambil menangkis serangan cambuk yang mengarah pada kepala istrinya.
Sejenak kedua Siluman Tengkorak Gantung menghentikan serangan itu. Lalu mereka membuka topeng berbentuk wajah tengkoraknya. Memang di antara para Siluman Tengkorak Gantung lainnya, hanya dua orang ini yang menggunakan topeng. Sedangkan lainnya, memang asli berwajah buruk, mirip mayat membusuk. Entah ilmu apa yang mereka gunakan, sehingga wajah mereka demikian buruk. Maka tampaklah dua raut wajah hampir membusuk, namun masih bisa dikenal baik oleh panglima itu.
"Perhatikan baik-baik! Kami Jayadi dan Arung Garda! Kami berdua selalu dikejar dan diburu bagaikan kucing memburu tikus oleh Kerajaan Suralaya. Setelah tahu wajahku, tentu kau tidak akan mati penasaran lagi, bukan...?!" ejek kedua Siluman Tengkorak Gantung yang ternyata Jayadi dan Arung Garda.
"Bangsat! Pantas saja kau selalu membuat resah rakyat dan memusuhi kerajaan. Kiranya kau buronan yang dicari dan bersembunyi di balik kedok Siluman Tengkorak Gantung! Mari, istriku! Kita mengadu nyawa dengan mereka!"
Sambil berseru keras, Panglima Sena dan istrinya menerjang tanpa menghiraukan keselamatan diri lagi.
"Ciaaat!"
Trang! Tring! Trang!
Namun usaha suami istri itu tetap saja tidak berarti banyak. Beberapa pukulan dan senjata tajam telah mengenai tubuh mereka. Darah mulai mengucur. Tetapi sedikit pun tidak ada niat untuk menyerah. Bahkan keduanya semakin berang, dan berniat bertarung habis-habisan.
Bret! Bret!
"Aaakh!" Kembali seorang Siluman Tengkorak Gantung kena terbabat lehernya oleh pedang Panglima Sena. Tidak ampun lagi, kepalanya menggelinding ke tanah. Darah pun menyembur dari lukanya.
Tetapi pada saat itu pula, ujung cambuk Jayadi yang berbentuk tengkorak telah menghantam kepala panglima itu tanpa bisa dicegah lagi.
Prak!
Tubuh Panglima Sena kontan ambruk dengan kepala pecah. Seketika istrinya memburu dengan teriakan menggidikkan. Tetapi baru saja memeluk suaminya, tiba-tiba satu hantaman cambuk berujung tengkorak mendarat di kepalanya.
Prak!
Nirmala kontan ambruk tanpa suara lagi di pelukan suaminya. Setelah memandangi mayat-mayat lawannya, Jayadi dan Arung Garda pergi meninggalkan tempat ini.
Ketika belum jauh para Siluman Tengkorak Gantung meninggalkan tempat itu, di depan mereka telah berdiri tegak sesosok pemuda tampan berambut panjang. Pedang bergagang kepala burung rajawali tampak bertengger di punggungnya. Rompinya berwarna putih. Melihat keadaan di sekitarnya yang seperti telah terjadi pertarungan, kening pemuda itu jadi berkerut.
"Hm.... Aku yakin, kalian adalah Siluman Tengkorak Gantung yang selama ini membuat onar! Sepak terjang kalian yang kejam sudah sampai di telingaku. Dan aku tidak bisa berdiam diri!" kata pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Hihihi...! Pemuda kemarin sore! Sombong benar kau! Apakah sudah bosan hidup berani berurusan dengan kami...?!" tanya salah satu Siluman Tengkorak Gantung, jumawa.
"Soal mati dan hidupku bukan di tangan kalian!" sahut Pendekar Rajawali Sakti yang bernama asli Rangga.
"Katakan, siapa kau?! Atau kau lebih suka kukirim keneraka?!" tanya Siluman Tengkorak Gantung yang lain dengan pandangan mata berapi-api.
"Namaku Rangga. Orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga, kalem.
Mendengar julukan Pendekar Rajawali Sakti, para Siluman Tengkorak Gantung jadi tersentak mundur. Dengan wajah ragu-ragu, mereka mengepung Rangga dari segala penjuru.
Sedangkan pemuda itu sendiri tampak tenang-tenang saja! Yang jelas, kedua kakinya sudah membuat kuda-kuda kokoh. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'! Heaaa...!" Disertai bentakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya keseluruh pengepungnya, melepaskan ajiannya yang mengeluarkan deru angin bagai topan.
"Aaakh! Waaa...!"
Beberapa Siluman Tengkorak Gantung kontan beterbangan dan langsung menghantam pepohonan. Padahal Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan hanya sebagian tenaga dalamnya.
Sementara sisa Siluman Tengkorak Gantung yang memiliki tenaga dalam lumayan mundur ketakutan. Bagaimana mungkin dengan sekali gebrak pemuda itu dapat merobohkan beberapa orang teman mereka yang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan lumayan?
Agaknya Pendekar Rajawali Sakti sudah sering mendengar sepak terjang Siluman Tengkorak Gantung yang di luar batas perikemanusiaan. Maka dia tak ingin memberi hati lagi. Seketika tubuhnya berkelebat cepat mengelilingi para Siluman Tengkorak Gantung. Tubuhnya seakan-akan berubah jadi banyak karena memang tengah mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali', pada saat itulah pukulan dahsyat mencari sasaran. Tidak ampun lagi, tubuh para Siluman Tengkorak Gantung berpelantingan tanpa nyawa lagi.
Darah segar berhamburan ke mana-mana. Kini Rangga menghentikan serangan, lalu dihampirinya seorang dari Siluman Tengkorak Gantung yang sengaja ditinggalkan hidup.
"Katakan! Siapa yang menjadi pemimpin Siluman Tengkorak Gantung! Apakah dia juga terlibat dalam pembunuhan di sini...?!" bentak Rangga sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Ampun, Pendekar! Aku hanya diperintah. Yang menjadi pemimpin adalah Jayadi dan Arung Garda. Keduanya memang terlibat dalam pembunuhan ini...," jelas orang itu, bergetar.
"Kemana kedua orang yang kau sebutkan tadi?!"
"Mereka berdua pergi menuju Hutan Bondowoso...!"
Begitu kata-kata orang itu habis, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat dari tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti harus mencari jejak Siluman Tengkorak Gantung yang bernama Jayadi dan Arung Garda. Karena mereka yang paling bertanggung jawab. Tetapi jejak mereka sudah tidak terlihat lagi.

***

Saat itu di tengah Hutan Bondowoso tampak sepi. Binatang penghuni hutan tampak berkeliaran mencari makanan. Dalam hutan itu, kadang kala terdapat uap beracun dan sumur yang mengeluarkan asap beracun. Sehingga hutan ini sangat berbahaya.
Di tengah hutan, berdiri sebuah rumah batu yang sangat kokoh dan kuat, yang merupakan tempat kediaman tiga pemimpin para Siluman Tengkorak Gantung. Merekalah yang sesungguhnya berjuluk Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Sedangkan para pengikutnya, juga disebut Siluman Tengkorak Gantung. Kini tiga siluman itu tengah mendengarkan laporan dari dua orang muridnya yang bernama Jayadi dan Arung Garda.
"Guru. Kami telah berhasil menghabisi Panglima Sena dan istrinya. Bahkan seluruh pengawalnya, tidak ada seorang pun yang kami biarkan hidup," lapor Jayadi.
"Lalu, kemana saudaramu yang lainnya. Mengapa mereka tidak ikut menghadap...?!" tanya guru salah satu Siluman Tengkorak Gantung sambil mengerutkan kening.
"Mereka nanti menyusul. Kami berangkat lebih dahulu," Arung Garda memberi penjelasan.
"Ah! Kau terlalu sembrono! Bagaimana kalau mereka menemui bahaya dan bertemu tokoh tingkat tinggi yang membenci kita?!"
"Kalau beberapa saat lagi tidak muncul, berarti mereka mendapat halangan. Biar aku susul mereka ke tempat tadi," tukas Arung Garda.
"Tidak perlu, Arung Garda! Apakah kau mau bunuh diri? Siapa tahu di sana telah menunggu beberapa tokoh berkepandaian tinggi yang siap menghabiskan kalian!" seru salah seorang dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Kalau begitu, kita tunggu saja mereka di sini."
"Ya! Tujuan kita adalah mendapatkan kitab yang berada pada Loro Blonyo dan Manuk Beduwong. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin. Kalian pasti tahu, mereka berdua berkepandaian tinggi dan sulit dikalahkan."
"Perkataan Guru benar. Kami sudah merasakan sendiri keganasan mereka yang tidak kenal ampun!" ujar Jayadi.

***

161. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Tengkorak GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang