Prolog

64 13 14
                                    

Bismillahirrahmanirrahim...
Happy reading 🤗

***
Suasana pesantren sudah sepi sejak satu jam yang lalu, tepat pukul sepuluh saat bel berbunyi. Para santri sepertinya begitu kelelahan setelah menjadi panitia dalam acara Haflah Muwada'ah tadi pagi, sehingga kini sudah terlelap. Maklum, saat kelas 2 Aliyah kami mendapat amanah untuk menjadi pengurus. Segala kegiatan yang berhubungan dengan pesantren menjadi tanggung jawab kami.

Beberapa santri yang memiliki semangat belajar tinggi lebih memilih untuk membaca buku pelajaran, mutola'ah kitab, maupun muroja'ah hafalan qur'annya. Suasana hening seperti ini sangat memudahkan mereka untuk memahami sesuatu. Meski harus melawan kantuk yang tak tertahankan.

"Kanaya," panggil seseorang dari belakang. Aku menoleh.

"Belum tidur?" tanyanya basa-basi, padahal ia sendiri tahu jawabannya.

"Heem," aku menjawab singkat, pandanganku kembali ke arah depan.

"Mikir apa sih, sampe berkerut gitu keningnya."

Jika bisa digambarkan, pikiranku seperti benang kusut saat ini. Kata-kata Ayah tahun lalu masih terngiang di telingaku, "Kalau pengen pulang ke rumah, harus hafal Al-Qur'an dulu."

"Heh, kok malah ngelamun?!" Ucapnya sedikit berteriak, membuatku tersentak.

"Kamu tidur dulu aja," jawabku singkat dan kembali larut dalam pikiran kusut.

Sudah satu tahun di sini, tetapi separuh pun belum mampu kuhafal. Satu tahun berada di sini, satu tahun pula aku mati-matian menghafal juz 30. Hanya itu, tak ada peningkatan. Kepalaku semakin pening saat harus menjadi panitia Haflah Muwada'ah, bagaimana jika tahun depan aku gagal mengikuti acara itu dan mengulang lagi di sini?

***
Di dalam kamar pun, sulit sekali memejamkan mata. Para santri sudah mengakhiri belajarnya sejak tadi, dan suasana begitu sepi. Mungkin kini mereka sedang menikmati alam mimpi.

Sementara aku masih digelayuti berbagai kemungkinan yang akan terjadi, kegelisahan yang sangat melekat. Bagaimana jika aku tidak bisa menepati janjiku pada Ayah? Bagaimana jika aku tidak bisa lulus tepat waktu? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana.

Tiba-tiba, di tengah keheningan malam itu terdengar suara isak tangis. Awalnya kupikir hanya perasaanku saja, tetapi suara itu terdengar lagi. Samar-samar, suara tangisnya berat.

Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya, tetapi suara itu terdengar begitu dekat. Sebenarnya sedikit ngeri, mendengar isak tangis di malam hari. Apalagi ini sudah tengah malam. Tetapi, rasa penasaran itu mengalahkan segalanya. Aku beranjak dari tempat tidur, melangkah perlahan mencari sumber suara.

Kamarku terletak di lantai satu, tepat di sebelah ruang pengurus. Begitu dekat dengan mushola ndalem, mushola khusus untuk keluarga Kyai.

Aku mempertajam pendengaran, mengedarkan pandangan. Barangkali ada seseorang yang memiliki masalah besar dan tidak memiliki teman curhat, mungkin aku bisa membantu. Karena ada beberapa temanku yang lebih suka memendam masalah sendiri, lalu diam-diam menangis sendiri pula.

Suara itu kian dekat, dan sepertinya berasal dari mushola ndalem. Aku pun nekat untuk mendekat, menurutkan rasa penasaran yang tak tertahan. Begitu tiba di depan pintu, aku terbelalak saat melihat seseorang tengah bersujud sembari menangis tersedan.

"Ya Allah, Ya Ghaffar...
Ya Allah, Engkau Maha Penyembuh...
Berikanlah kesembuhan kepada Abah, angkatlah sakitnya."

Aku tak berniat menguping, tetapi do'a itu mampu kudengar begitu jelas. Sudah terjawab sekarang, dari mana isak tangis itu berasal. Tampaknya dia adalah putra dari Abah Kyai yang sedang khusyu' berdo'a, sampai tersedu sedan. Semoga Allah mengabulkan, dalam hati aku turut mengaminkan do'anya. Meski tak tahu  do'a siapa yang telah kuaminkan ini.

"Ehm... Ehm..." terdengar seseorang berdeham.

Saat aku menoleh, seorang berbaju koko dengan sorban terlampir di pundaknya, telah berdiri di hadapanku. Parahnya lagi dia adalah Kang Habib, santri ndalem yang terkenal sangat disiplin itu. Alis tebalnya bertaut saat melihatku mengintip ke arah mushola.

"Ngapain malam-malam di sini? Pakai ngendap-ngendap segala," Pertanyaan singkat yang mampu membuatku tercekat.

"Maaf, Kang. Saya pamit dulu," ucapku tak mau berbasa-basi lagi.

Aku berjalan dengan muka merah karena ketahuan sudah mengintip mushola ndalem. Aku tak berniat apa-apa, hanya ingin memuaskan rasa penasaran. Dan sekarang rasa penasaran itu telah tunai, ternyata suara isakan dari putra Abah yang aku tak tahu siapa namanya.

"Ada apa, Kang?" suara berat tadi terdengar samar.

"Nggak apa-apa, Gus. Tadi cuma ada santri yang iseng," jawab Kang Habib.

Huh, untung selamat. Semoga berita ini tidak menyebar kemana-mana, jangan sampai terkena takziran yang kesekian kalinya.

Tapi, suara itu seperti tak asing lagi di telingaku. Seperti begitu familiar, tapi aku lupa di mana pernah mendengarnya.

***
Hai, Readers!!
Ini work pertama saya di DCM 2021, semoga ide mengalir terus.

Scene di prolog itu bakal kalian temui di pertengahan cerita ini, semoga bisa bermanfaat dan menghibur.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Dan support lewat vote and comment...

See you on next chapter 🤗

Author
LRI

ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang