14 | Pesan Terselubung

11 3 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Happy reading 🤗

✨✨✨

Suasana kamar cukup hening, karena saat ini penghuninya sedang tenggelam dalam bacaan Al-Quran. Safana yang sejak tadi siang heboh membicarakan Gus Abhi juga serius mengulang bacaannya. Belum, dia belum memulai hafalan. Sama sepertiku, makhorijul hurufnya masih belum benar. Selain itu, kami juga harus mendalami ilmu tajwid.

Aku bolak-balik bergantian antara membaca Al-Quran dan buku tajwid. Mengulang pelafalan huruf tsa', ternyata tidak sesimpel yang kukira. Aku sering meminta bantuan Gendis untuk mengucapkan huruf hijaiyah yang satu ini.

"Tsa," ucapnya dengan mudah saja mempraktekkan.

"Sa."

Aku meniru bentuk bibirnya, tetapi dia menggeleng. Lidah menempel gigi, tak kurang dari sepuluh kali dia mengulangi perkataan itu.

"Tsa," setelah mengulangi sebanyak dua puluh kali, akhirnya dia mengangguk benar.

Tentu ada alasan mengapa kami begitu serius belajar membaca Al-Quran, nanti malam ba'da maghrib merupakan jadwal setoran. Santri baru seperti kami harus memperbaiki bacaan Al-Quran terlebih dahulu, mulai dari makhrijul huruf, tajwid, dan banyak lagi. Sudah hampir dua minggu di sini, aku belum tuntas dalam melafalkan huruf hijaiyah. Padahal yang kuyakini, aku telah mempelajari ini sebelum masuk taman kanak-kanak.

"Susah bener, ya."

Mendengarku bergumam seperti itu, Gendis menoleh. Dia yang awalnya duduk di dekat Safana, kini bergeser ke arahku.

"Kalau gampang, kita nggak akan dikirim ke sini." Ujarnya pelan, "Bismillah, insya Allah bisa!"

Gadis itu menatapku dengan rona keyakinan, tangan kanannya mengepal layaknya orang berseru "Merdeka!". Aku mengangguk, tampaknya dia sedang menyalurkan sugesti positif kepadaku. Keraguan yang sempat terbesit tadi berangsur menghilang.

✨✨✨

Usai sholat maghrib kami telah berkumpul di masjid, membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang. Masing-masing kelompok ditemani oleh satu ustadzah, kepada beliau kami harus menyetorkan bacaan.

"Dari kamar Khadijah?" Tanya Ustadzah Rumi memastikan, "Gendis, Safana, Ami, Arum, dan Kanaya."

Kami mengangguk bersamaan, partner satu kamar menjadi kelompok yang sama pula saat setoran.

"Toyyib, kita baca bismillah dulu supaya diberi kelancaran."

Tak hanya membaca bismillah, sholawat kini menjadi bacaan wajib untukku. Karena dengan membaca itu, aku menjadi lebih tenang.

"Dimulai dari Gendis."

Gadis yang berdialek medok khas Malang itu membaca Al-Quran dengan lancar, hanya sedikit saja kesalahan. Kata Ustazah Rumi, huruf dha' dan dzat masih mirip. Selain itu, bacaan idgham bigunnah kurang mendengung. Masih bisa ditoleransi, itu menurutku.

Ami dan Arum, dua gadis kembar kelahiran kota kembang. Meski memiliki wajah identik, tetapi cara mereka membaca sangatlah berbeda. Hanya suara mereka yang terdengar sama, tetapi Ami membaca lebih cepat. Sehingga banyak makhrijul huruf yang kurang jelas.

"Kalem aja, Nduk." Ujar Ustadzah.

Sementara Arum membaca lebih pelan daripada Ami, lebih tepatnya membaca dengan tartil. Meski nadanya adalah modifikasi dia sendiri, tetapi kedengarannya cukup ramah di pendengaran.

ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang