4 | Dasar Anak Manja!

7 3 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Happy reading 🤗

✨✨✨

Aku melambaikan tangan pada mobil Avanza putih itu, lebih tepatnya pada dua orang di dalamnya. Rasanya begitu berat, harus berpisah dengan orang yang selama lima belas tahun hidup seatap. Aku menahan air mata yang terbendung di pelupuk, mencoba menguatkan diri. Meski pada akhirnya tetesan bening itu luruh juga.

Sebelum berpamitan, Ayah berpesan padaku. "Kanaya, ini untuk kebaikan kamu. Ayah harap kamu bisa ikhlas di sini, biar bisa manfaat dan barokah ilmu kamu."

Aku hanya diam membisu, menatap orang-orang yang berlalu lalang di pesantren ini.

"Nak, kamu betah-betahin ya di sini. Makannya jangan sampai telat, jangan suka begadang," ujar Bunda sembari mengusap puncak jilbab tosca yang kukenakan.

Ah, Bunda. Dari dulu sampai sekarang, tak pernah bosan mengingatkan tentang itu. Meski nyatanya aku tak pernah mengindahkan perkataannya. Ya, aku selalu tidur setelah dini hari. Dan mungkin aku akan merindukan nasehat itu, saat Bunda mengetuk pintu kamar dan bertanya apakah aku sudah tidur.

"Iya." Jawabku singkat seraya menyalimi keduanya.

Lengang. Sekarang benar-benar hilang, aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Tak kan ada yang membangunkan saat shubuh, tak ada yang mengingatkan untuk makan, tak ada yang memarahi saat aku begadang. Memang benar kata orang, rasa sayang itu akan terasa saat kita telah kehilangan.

Aku pun berjalan menuju kerumunan santri, di sana akan ada pengumuman di mana kamar kami.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya akan membacakan beberapa peraturan di pesantren ini. Harap semua mendengarkan dengan seksama. Saya tidak mau jika ada pelanggaran dan kalian beralasan 'saya tidak tahu soal peraturan itu'."

Seorang gadis yang tampak lebih tua dariku sedang berdiri di atas podium. Seperti yang sering dipakai pembina saat upacara di SMP dulu. Jilbabnya panjang menjuntai, sejenis jilbab syar'i. Warnanya berpadu serasi dengan gamis cokelat yang dikenakannya.

Lima belas menit kemudian aku justru tertarik mengamati orang itu. Wajahnya tampak begitu tegas. Celak tebal di sekeliling matanya menambah kesan seram, santri baru mungkin akan takut jika terlalu lama memandangnya.

"Kamu!" Ucapnya sembari menunjukku, aku terkejut. "Yang dari tadi tidak memperhatikan, dengar peraturan tadi apa saja?"

Aku gelagapan, peraturan apa? Sejak tadi aku sibuk memperhatikan orang itu daripada apa yang dia katakan.

"Iya." Aku terpaksa menjawab begitu, jika tidak ingin masalah berlanjut. Meski sebenarnya, tak ada satupun peraturan yang kutahu.

Setelah kerumunan ini berakhir, kertas bertuliskan letak kamar kami ditempelkan di papan pengumuman. Sudah dipastikan jika semua santri berlarian melihatnya dan kerumunan besar pun terjadi. Aku memilih menunggu di belakang, malas menghabiskan tenaga untuk berdesakkan.

✨✨✨

Aku terus mencari namaku, tapi tak kunjung ketemu. Daftar itu begitu panjang, sehingga aku harus teliti memeriksanya. Sudah urut kubaca dari atas, dari bawah, tetapi tak kunjung kutemukan. Masih ada beberapa santri yang menunggu di sana, mungkin sama sepertiku.

Tiba-tiba seorang santri datang, "Belum dapat kamar?"

Kami serentak mengangguk. Apa memang benar tak ada nama kami di sana.

"Kalian nanti di asrama An-Nur, ya. Di sebelah barat gedung ini, cari kamar Rufaidah. Untuk yang belum dapat kamar, tempat kalian di sana."

"Oke, ikuti saya aja."

Setibanya di kamar.

Seperti yang sudah kuduga, aku akan bosan. Santriwati lain begitu antusias untuk berkenalan satu sama lain. Sementara aku, untuk beranjak dari kamar saja malasnya minta ampun. Aku lebih suka duduk di pojok ruangan sambil membaca buku, daripada harus menyibukkan diri dengan memperkenalkan nama. Huh! Hanya membuang waktu dan tenaga saja.

Aku tenggelam dalam bacaanku, saat ruangan kamar yang tadinya ramai dengan canda tawa santriwati hening seketika. Tapi aku tak peduli dengan apa yang terjadi, dan tetap melanjutkan bacaan novel yang hampir klimaks ini.

Saat aku hendak membalik halaman novelku, tiba-tiba sebuah tangan mengambilnya dengan paksa. Sontak aku terkejut, "Siapa, sih!"

Aku mendongak. Dan mataku membulat. Seorang berkerudung panjang berdiri di depanku dengan tatapan tajam, ID CARD bertuliskan "Pengurus Asrama Putri" terpampang jelas.

"Kamu tahu, ini saatnya untuk santriwati baru saling berkenalan. Bukan baca novel di pojokan. Paham!?" Hardiknya tegas.

Dia membawa novelku, beranjak dari tempatku duduk. Aku hendak memanggilnya, meminta novelku dikembalikan. Itu novel yang baru saja kubeli, enak saja mau diambil.

"Kak, novel saya?" Ucapku lirih, bagaimanapun juga aku adalah santri baru. Belum berani berbuat macam-macam, walaupun sebenarnya aku bodo amat dengan hal itu.

Dia berbalik. Kembali menatapku tajam, kini dengan senyuman sinis yang tersungging. "Novel ini saya sita. Bukan hanya untuk dia, tapi juga santriwati yang lain. Peraturan di pesantren ini adalah santriwati tidak boleh membawa, membaca, ataupun meminjamkan buku selain buku pelajaran dari pesantren. Bisa dipahami?" Kakak pengurus itu kembali menatapku, "saya kembalikan saat orang tua kamu datang. Dan saya harap kamu tidak membawa lagi buku sejenisnya."

Ruangan kembali antusias dengan hiruk pikuk santri baru, tentunya setelah Kakak Pengurus itu pergi. Bagus. Kini aku harus berbuat apa. Novel baru kesayanganku baru saja disita, dan aku akan jadi santriwati paling gabut di sini. Tak ada teman yang menyapa, tak ada kegiatan yang harus dikerjakan, dan tak ada sesuatu untuk dipikirkan. Aku jadi kesal dengan orang tadi, seenaknya saja mengambil barang orang lain. Jika memang dilarang membaca novel, kenapa tidak bilang dari awal. Jadi aku tak perlu repot-repot membawa buku itu.

Dan lihat, kini seisi kamar memandangku dengan berbagai tatapan. Sinis, aneh, waspada, bodo amat, dan lain sebagainya. Mungkin mereka pikir aku aneh, tak mau berbaur dengan mereka. Tapi ya sudahlah, toh itu bukan urusanku. Aku tak terlalu peduli dengan tatapan mereka, hingga sebuah tangan menepuk pundakku.

"Iku Mbak Rahma, pengurus paling galak ndek kene. Ati-ati lak berurusan karo wong kui, iso dowo ceritane," seorang gadis berjilbab pink dan berwajah "baby face" berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti sama sekali.

Aku hanya terbengong-bengong, "Ngomong apa, sih?"

Dia tampak terkejut, menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Maaf, aku kira kamu ngerti bahasa Jawa. Aku tadi cuma ngomong kalau itu namanya Mbak Rahma. Salah satu pengurus yang agak galak, hati-hati kalau berurusan sama dia."

"Oh, gitu."

"Oh, iya. Aku Hasna, kamu siapa?" tanyanya sembari mengulurkan tangan. Tapi jahatnya aku, tak membalas uluran tangan itu. Hanya menjawab singkat, "Kanaya."

"Kamu orang Jakarta, ya?" tanyanya antusias.

"Iya."

Ia menggumam, "pantesan gak genah diajak ngomong jowo¹."

Sementara aku hanya bengong dan tidak mengerti.
________________________
Footnote :
1. Pantas tidak mengerti diajak ngomong bahasa Jawa. (Arti dalam bahasa Indonesia)

✨✨✨

To be continued...


Author
LRI✨

ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang