27 | Dua Pilihan

6 2 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
Happy reading 🤗

✨✨✨

Al-Quran, jawaban atas segala keraguan.

Al-Quran, penenang bagi hati yang diliputi kegelisahan.

Al-Quran, sastra paling indah tiada bandingan.

Dari kitab suci itulah, inspirasi membuat kaligrafi datang. Setelah mendengar kajian dari Abah tadi pagi tentang keutamaan surah Al-fatihah, keinginan untuk melukiskannya kian besar. Jadilah sekarang aku memilih untuk duduk menyepi di gazebo dekat  taman pesantren, membuat tulisan basmalah.

Khat khufi, yang menurutku cukup mudah untuk dibuat. Jika kalian berpikir aku membuatnya dalam sekejap, maka selamat, kalian salah besar. Ustadz Muthi' belum pernah mengajariku cara menulis khat ini, sehingga aku harus memutar otak untuk membuat huruf-hurufnya. Mudah saja sebenarnya, khat ini berbentuk balok. Sehingga yang paling kubutuhkan adalah penggaris.

Pertama, aku membuat pola di atas kertas kotak. Menghitung jumlah kotak yang dibutuhkan untuk satu huruf hijaiyah, lalu membuat skala yang lebih besar di atas kertas gambar. Karena tangan yang belum terbiasa, aku harus membuat ukuran yang sama untuk tiap hurufnya. Kalian bayangkan sendiri bagaimana ribetnya.

"Bismillahi, ngawiti ingsun kelawan nyebut asmanipun Gusti Allah. Ar-rahmaani, kang paring welas dunyo. Ar-rahiimi, tur paring welas akhirat belaka." Abah menerjemahkan lafadz basmalah itu ke dalam bahasa Jawa. Yang artinya begini, "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".

Aku turut mendengarkan kajian itu dengan seksama. Mencoba meresapi setiap maknanya, meskipun kebanyakan tidak kupahami. Abah menjelaskan kalau surah Al-Fatihah adalah Ummul Qur'an, induknya Al-Quran. Salah satu keutamaannya, surah Al-Fatihah selalu dibaca dalam salat. Jika tidak membacanya, maka salat yang kita lakukan tidak sah hukumnya.

Melihat istimewanya surah ini, aku akan memberikan kaligrafi berlafadz basmalah ini sebagai hadiah untuk Umi. Dua hari lagi beliau akan berulang tahun, jadi waktunya sangat tepat.

Ketika sedang serius menggambar, tiba-tiba terdengar bunyi mobil berderum pelan. Mobil Avanza putih itu berhenti di depan rumah, mungkin itu tamunya Abah pikirku. Namun, ketika seorang pria sepuh berjubah putih turun dari mobil, aku baru menyadari jika itu adalah mobil milik Eyang. Ya, ayah dari Umi yang tinggal di Jakarta.

Aku buru-buru mengemasi peralatan gambarku, lalu berlari ke rumah. Sebelum Eyang masuk, aku langsung bersalaman dengan beliau.

"Assalamu'alaikum, Eyang!" Seruku kegirangan saat tiba di hadapan beliau. Awalnya Eyang bingung, lalu setelah menatapku lekat barulah beliau membungkuk untuk memelukku.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ini Abhimanyu, 'kan?" Sapa Eyang begitu ramah. Jika saja belum berusia senja, mungkin aku sudah digendongnya tinggi - tinggi sekarang.

"Iya. Ini Abhi, Eyang." Jawabku antusias. Rasanya rindu sekali, karena jarang sekali aku pergi ke Jakarta.

"Kamu sudah besar, ya, sekarang. Eyang kangen sekali sama Abhi," ucap beliau dengan lembut. Belum terobati rasa rinduku pada Eyang, Umi sudah terburu keluar rumah.

"Masya Allah, Abi. Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Umi tampak terkejut melihat kedatangan Eyang secara tiba-tiba, beliau mencium tangan Eyang dengan takzim.

"Abi kangen," jawab Eyang singkat. "Kamu jarang ke sana, sih."

"Ya sudah, mari masuk dulu."

Sejak kedatangan Eyang, aku tak mau jauh-jauh dari beliau. Sampai Umi menyuruhku untuk masuk ke dalam, barulah aku meninggalkan kakekku itu. Aku meminta mbak santri ndalem untuk membuat minuman. Ketika hendak masuk kamar, aku tak sengaja mendengar pembicaraan di ruang tamu.

"Abi pasti ada keperluan penting kalau sampai datang ke sini," ucap Umi memulai pembicaraan.

"Iya kalau mau dibilang penting, benar juga. Tapi lebih tepatnya Abi mau meminta izin sesuatu sama kalian," terang Eyang. Dari sela-sela jendela penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah, aku melihat jika Eyang menatap kedua orangtuaku dengan wajah serius.

"Izin? Memangnya sesuatu apa yang membuat Abi harus izin dulu kepada kami?" Tanya Abah kali ini. Mungkin aneh jika seorang Kyai sepuh meminta izin suatu hal kepada anaknya.

Sebelum menjawab, mbak santri sudah masuk terlebih dahulu untuk memberikan minuman yang tadi kusuruh.

"Bukan sesuatu yang besar," jawab Eyang dengan nada santai. "Abi hanya meminta anak bungsumu untuk tinggal di Jakarta. Menemani Abi."

Umi sampai tersedak mendengar penuturan Eyang itu, wajahnya mungkin sekarang tampak bingung. Aku tak mampu melihat dengan jelas karena posisi Umi yang membelakangi jendela.

"Maksudnya bagaimana, Bi? Salmah belum paham," ujar Umi dengan nada terkejut bercampur khawatir. Mendengar itu, Eyang hanya tersenyum simpul seraya meminum teh hangat yang telah disediakan.

"Dia kan udah lulus SD di sini, biarlah Abhi melanjutkan pendidikan di Jakarta. Kamu kan tahu semenjak umi pergi, Abi sendirian di rumah."

Umi diam sejenak, tampak keberatan dengan permintaan Eyang. Aku pun begitu, ternyata kedatangan beliau kemari adalah untuk mengajakku tinggal di Jakarta. Abah sedari tadi hanya terdiam memperhatikan.

"Salmah, abimu ini sudah sepuh. Ingin masa tuanya ditemani oleh cucunya sendiri, apa itu salah?" Sambung Eyang berusaha meyakinkan.

Umi tampak menggeleng, "Dia masih terlalu kecil untuk jauh sama orang tua, Bi."

"Menurutmu bagaimana, Nak?" Tanya Eyang seraya menatap Abah dengan lembut.

"Semua yang menjalani 'kan Abhi, jadi tergantung bagaimana dia saja." Jawab Abah sangat tenang, jauh berbeda dengan reaksi Umi saat mendengar penuturan Eyang.

"Sini, Bhi! Jangan ngintip di balik jendela begitu," seru Eyang dengan keras. Aku terkejut, apakah beliau melihatku di sini.

Aku memasuki ke ruang tamu dengan malu karena ketahuan mengintip dan menguping pembicaraan.

"Maaf, Abhi nggak sengaja dengar." Ucapku polos dengan muka merah. Abah dan Umi hanya menggelengkan kepalanya.

"Kamu dengar apa yang tadi dibicarakan?" Abah melemparkan pertanyaan padaku dengan tatapan tegas.

"Nggeh, Bah. Abhi dengar," jawabku yang masih menunduk.

"Gimana, Nak? Kamu mau kan ke Jakarta sama Eyang?"

Pertanyaan itu membuatku bingung, aku masih berat meninggalkan tempat ini. Terlebih belajar kaligrafi pada Ustadz Muthi' belum selesai. Apalagi jika harus meninggalkan Umi saat hari ulang tahunnya, hadiah yang telah kusiapkan akan sia-sia nanti.

"Biar dia pikirkan dulu, Bi. Sekarang Abi istirahat saja, pasti masih capek setelah perjalanan jauh." Umi berusaha mengakhiri pembicaraan ini secara sepihak, terlihat jelas ingin mengalihkan perhatian Eyang.

"Iya."

Setelah mengantarkan Eyang ke kamarnya, Umi menemuiku yang sedang duduk di gazebo dekat taman. Beliau memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Sampean mau ikut ke Jakarta apa nggak?" Umi menanyakan hal yang sangat sulit untuk kuputuskan. Aku tahu bahwa beliau pasti akan sangat sedih jika aku pergi, tapi di sisi lain, Eyang juga akan kesepian jika aku tidak pergi.

"Abhi masih bingung," ujarku ragu. "Apa Umi kasih izin kalau seandainya Abhi ikut Eyang tinggal di Jakarta?"

Mendengar pertanyaan barusan, Umi langsung menunduk. Ibu mana yang bisa berjauhan dengan anaknya.

"Kalau itu yang terbaik buat sampean,  Umi cuma bisa mendoakan saja." Ucap Umi dengan senyum yang dipaksakan.

✨✨✨

To be continued...

Author
LRI ✨

ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang