3. In Self On Defeat

382 16 4
                                    

Aku terbangun dalam kegelapan yang hanya diterangi secercah cahaya bulan. Aku berdiri, lantas berjalan memasuki koridor rumah dan menuruni tangga. Di ruang duduk, Lilia dan Dennis menunggu. Di luar sana, laut bersinar keperakan. Tidak ada suara-suara yang memecah kerapuhan malam. Semuanya hening dan tidak bergerak. Bahkan Seth, aku tidak melihat anjing itu.

Aku berjalan ke arah tempat duduk Lilia dan Dennis. Namun sebelum aku berhasil mendekati mereka, tiba-tiba saja semuanya menjadi kabur dan jelas kembali saat mereka berdua menghilang. Digantikan seorang wanita yang duduk di depan jendela, memunggungiku. Rambutnya pirang diikat dengan pita berwarna hijau kebiruan. Ia memandang ke luar kaca jendela, ke arah gadis kecil yang melompat-lompat di halaman.

Jennifer.

'Dulu dia akan menjadi putrimu.'

Dia akan selalu jadi putriku. Di dunia ini atau dunia selanjutnya, dia akan tetap putriku.

'Kami menunggumu, Ellias. Kami menunggumu. Kami tidak akan pergi. Kami tidak akan menghilang. Kau akan terus mengingat kami. Kau tidak akan lupa.'

Rachel menyemburkan kata-kata, dan kekuatan amarahnya memercikkan darah ke kaca jendela. Di luar, gadis kecil itu berhenti melompat dan memandangiku melewati ambang jendela. Kegelapan menyamarkan wajahnya.

Kemudian Rachel berpaling. Kulihat wajahnya yang rusak, kelopak matanya yang kosong. Bau belerang tercium dari deru napasnya. Dia sangat dekat dengan neraka sekarang. Lalu kenangan akan derita yang ia alami karenaku menghantam amat keras sehingga aku tergetar, tanganku terentang, punggungku melengkung sangat kuat sehingga seakan terdengar tulangku berderak patah.

Aku tiba-tiba terbangun dengan tangan bersedekap, keringatku bercucuran, mulutku terbuka kesakitan. Lilia memelukku, mengelus rambutku sementara Dennis menenangkanku.

Kuputar bola mata menelusuri tempat aku tertidur. Ini kamarku. Tidak ada Rachel yang duduk di depan jendela, tidak ada Jennifer yang melompat-lompat di halaman. Matahari pagi bersinar menembus kaca jendelaku. Aku melirik jam kecil di atas nakas. Jam delapan pagi. Jadi, aku tertidur dari kemarin?

Aku mengernyit. Kepalaku berdenyut, lantas mengingat sesuatu. Kemarin aku dan Lilia pulang sekolah bersama. Adikku terus-terusan mengeluh lapar, kemudian kami mampir di sebuah restoran cepat saji. Aku menunggunya di luar sementara Lilia mengantre. Kemudian seorang laki-laki menghampiriku. Aku merasa bingung apakah ia benar-benar menghampiriku? Kejadian itu sangat singkat seperti mimpi namun juga tearsa nyata. Laki-laki itu mencengkeram lenganku, membuat segel itu berpendar dan panas membakar seluruh tubuhku.

Pikiranku menjadi kacau. Sesuatu di dalam kepalaku seperti meronta, berteriak marah dan putus asa. Aku meminta Dennis untuk mengendarai mobil sementara aku duduk di belakang dengan rasa nyeri di kepala. Setibanya di rumah, aku berjalan cepat menuju kamar, meninggalkan Lilia dan Dennis di belakang dengan dua kantong besar penuh makanan. Bahkan aku tidak mempedulikan suara Seth saat menggonggong menyambut kedatangan kami.

Aku juga mengabaikan pikiran Lilia yang terdengar samar di telingaku tentang tingkah anehku siang itu. Aku terlalu lelah. Lelah berpura-pura menjadi manusia.

"Kau baik-baik saja?" tanya Lilia melepas pelukannya, membuyarkan lamunanku. Dahinya berkerut memandangiku cemas. Tidak, jika ingin tahu yang sebenarnya. Namun sayangnya, aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum samar. Ini akan melegakannya.

"Baguslah, dan ... lukamu?" Lilia melirik lenganku.

"Tidak masalah. Semuanya kembali normal," ujarku menunjukkan lenganku dengan bangga, berharap dia akan terkesan atau apa. Perban sudah kulepas. Tidak ada bekas luka sama sekali. Sebenarnya hanya butuh waktu sepuluh menit untuk kembali pulih. Namun matanya malah fokus pada tato segel yang terukir di tanganku.

'Aku tahu kau hanya pura-pura, bukan? Lihat! Bahkan ekspresimu tidak menunjukkan kau baik-baik saja. Kau tidak bisa membohongiku, Yoong.'

Aku tertegun saat pikirannya dengan cepat menyeruak masuk ke telingaku. Lilia, apa kau sepeka ini? Bahkan aku pun tidak bisa pura-pura di hadapanmu?

"Sebaiknya kita turun dan duduk di meja makan. Aku khawatir jika sarapan pagi ini akan menjadi dingin." Dennis bicara sembari tangannya merangkul bahu Lilia. Kepalaku dipenuhi pikiran Lilia hingga sejenak membuatku lupa bahwa Dennis juga berada di sini.

"Ya ampun, aku hampir lupa," Lilia seketika memukul dahinya sendiri. "Tadi aku dan Paman Seokjin sedang memasak sarapan." Dia kemudian beranjak dari kasurku. Menggandeng Dennis berjalan menuju pintu. "Kami akan menunggumu di bawah, Yoong. Ingat! Jangan sampai kau mengunci pintu kamarmu setelah ini atau aku akan mengadu pada Mom kalau kau sakit." Lilia memperingatiku. Aku mendelik ke arahnya.

"Aku akan menyusul," sahutku cepat. Jika Lilia benar-benar menghubungi Ruth pagi ini, bisa dipastikan wanita itu akan sampai malam ini juga. Dia akan segera berlari menuju kamarku, menanyakan keadaanku, memastikan pola makanku, dan mengawasiku seperti bayi. Oh, ayolah ... aku adalah makhluk dengan umur ribuan tahun, bukannya balita umur lima tahun. Aku tahu Ruth sangat memperhatikanku, tapi itu sangat berlebihan dan membuatku merasa tidak nyaman.

***

Lilia berjalan menuruni tangga, Dennis berjalan di belakangnya. Wajahnya tertunduk dan terlihat murung. Dia terus berjalan hingga ke pintu belakang, membukanya, kemudian duduk melihat pemandangan hutan cedar yang berbatasan dengan padang rumput. Lilia hanya terdiam, namun Dennis yang sedari tadi terus memperhatikannya, tahu apa yang sedang gadis itu pikirkan.

"Dia akan baik-baik saja." Dennis mengambil tempat duduk di sebelah Lilia. Dia tersenyum dan mengusap kepala gadis itu.

"Aku hanya berpikir ... apa setiap hari Yoongi seperti itu? Maksudku, aku selalu melihatnya kesakitan dan putus asa setiap segel itu berpendar. Lalu traumanya, apa tidak bisa hilang?" tanya Lilia cepat. Gadis itu memandang Dennis dengan gelisah.

Yoongi sudah kehilangan terlalu banyak. Puluhan kali. Tidak. Mungkin ratusan kali, atau bahkan ribuan kali. Kehormatan, kebebasan, kebahagiaan dan cinta. Dia telah kehilangan semua itu. Kejatuhannya sebagai malaikat, kematian Jennifer, penderitaan Rachel dan terakhir kematian Sereta, neneknya. Itu yang diketahuinya, mungkin masih banyak yang lain yang lebih menyakitkan.

Dennis menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Semua hal yang Yoongi alami adalah takdir yang ia pilih sejak awal. Segel itu, traumanya dan kesedihan yang kakakmu rasakan. Dia melakukannya sebagai penebusan dosa."

Lilia sebenarnya tahu. Namun melihat Yoongi kesakitan sama saja membuatnya tersiksa.

"Aku hanya ingin melihatnya hidup normal," ucapnya lirih.

Dennis tersenyum. "Kehidupan normal seperti apa yang kau inginkan dari Yoongi?"

Ah, benar. Kehidupan seperti apa?

Sejak awal dia sendiri sudah tahu bahwa Yoongi bukanlah manusia. Pemuda yang dia sebut sebagai kakaknya itu nyatanya malaikat terbuang yang kakek buyutnya temukan di tengah hutan ratusan tahun yang lalu. Yoongi menjelma sebagai manusia hanya karena balas budi atas kebaikan yang dia terima dulu. Lantas, apa yang Lilia harapkan?

"Sebaiknya kita segera ke meja makan. Kau tentu tidak ingin Yoongi mendapati kita sedang membicarakannya. Dia bisa besar kepala nanti." Dennis berdiri, hendak kembali masuk menuju dapur. Namun sebelum itu, Lilia sempat melontarkan sebuah kalimat yang membuatnya terkekeh.

"Tidak masalah, kan, aku memanggilmu Paman Seokjin. Dennis terlalu asing untukku."

Dennis berbalik. Pria itu berkacak pinggang sementara ia berdiri dengan kaki kiri sebagai tumpuan. "Hey, bukankah semua orang di sini mengenalku sebagai Paman Asia Seokjin yang tampan?" serunya dengan nada jenaka.

Lilia tertawa, "Tapi sebenarnya kau terlalu muda untuk dipanggil paman."

Kemudian Lilia bangkit menyusul Seokjin. Mereka saling melempar lelucon dengan suara tawa yang memenuhi ruangan.

Dennis Sloan, Kim Seokjin, Malaikat Pelindung, Orpheans atau apapun sebutan untuk mahkluk yang satu itu. Lilia bersyukur telah mengenalnya. []

The FallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang