2 | Plester Pembalut Luka

155 18 14
                                    

Hallow!
Waa, kita sudah sampai di chapter 2! sebelum membaca, janga lupa VOTE, ya!
Saat baca bagian ini, jangan sungkan untuk tinggalkan komentar juga, ya!

Enjoy!!!

🌥🌥🌥

Sejak tadi, kedua mata Galuh tak pernah lepas memerhatikan Haya yang tengah fokus memerhatikan guru yang sedang memberikan pelajaran. Setiap gerak-gerik Haya menjadi fokusnya sejak tadi.

"Lo, mau dicap penguntit?" tanya Adam yang duduk di sampingnya.

Dua menit berikutnya, suara dentingan bel menggema diseluruh penjuru sekolah. Suara yang ditunggu-tunggu itu memecah fokus dalam keheningan seluruh siswa yang sedang belajar. Menjadikannya pertanda akan waktu istirahat telah tiba. Kegembiraan terpancar penuh pada setiap siswa, mereka langsung berbondong-bondong meninggalkan mejanya dan segera pergi menuju kantin sekolah untuk memanjakan setiap perut mereka yang meronta-ronta meminta makanan.

Begitupun dengan Haya. Perempuan itu, sejak tadi tengah sibuk berkutat dengan aksi membereskan buku-buku miliknya sebelum pergi meninggalkan kelas. Wajahnya kini sudah pucat pasi akibat dahaga yang melanda tenggorokannya.

Laki-laki bermata teduh yang sejak tadi memperhatikannya, langsung mencekal pergerakan Haya. "Aya, ikut gue." Galuh dengan sigap menggenggam tangan Haya dan membawanya berjalan ke luar kelas.

"Haya, mau dibawa ke mana??" teriak Seina, selaku teman sebangku sekaligus sahabatnya. Sayang sekali, teriakannya tak digubris karena mereka telah menghilang jauh dari dalam kelas.

Haya ikut mempercepat langkahnya untuk menyeimbangkannya dengan Galuh. Sesekali ia meronta meminta untuk dilepaskan genggaman tangannya. Sialnya, Galuh tak benar-benar membiarkan melepaskannya. Meskipun begitu, genggaman tangan Galuh tak membuat Haya kesakitan. Sebab laki-laki itu menautkan setiap jemarinya dengan kelembutan.

"Mau kemana sih, kita?" tanya Haya. Berharap Galuh akan menjawabnya, tetapi pertanyaannya hanya dianggap angin lalu olehnya.

Di persimpangan, mereka berbelok ke arah kanan dan mulai memperlambat langkahnya. Di sinilah tujuan Galuh. Di ujung sudut sekolah, mereka masuk ke dalam ruang kesehatan. Membawa Haya dengan lembut untuk duduk di kursi dekat ranjang kesehatan. Galuh sempat melihat sekeliling untuk memastikan apakah ada siswi PMR yang sedang berjaga di dalam sana.

"Mau apa? Pake acara megang tangan segala, lagi!" ujar Haya. Perempuan itu tetap duduk diposisinya sembari melihat Galuh yang sedang mondar mandir di ujung pintu sana. Saat itu, kebetulan tak ada satupun siswa PMR yang terlihat.

"Kalau dilepas, lo pasti kabur."

"Lo pikir gue burung?" timpal Haya tak terima.

"Bersihin dulu, Ay lukanya."

Haya menurut. Ia berdiri dari duduknya dan pergi menuju toilet di dalam ruang kesehatan untuk membasuh lukanya dengan air mengalir. Setelah beberapa saat, Haya kembali duduk di kursi tadi.

Di tangan Galuh, kini sudah ada sebuah kotak P3K berwarna putih yang ia bawa dari nakas dekat jendela. Ia kemudian mengambil sebuah kursi kosong lainnya untuk ia duduk di depan Haya. Dengan cekatan, tetapi tetap lembut, Galuh mengeringkan luka yang sudah dibasuh sebelumnya dengan selembar tisu. Setelah itu, ia mulai mengobati luka Haya dengan mengoleskan betadin pada area lututnya.

"Lo tuh kalau ada luka, obatin. Mau kecil, mau besar, mau dangkal atau sedalem apapun, jangan sampai dibiarin," tutur Galuh.

"Emang, gue sering luka?" balas Haya dengan raut wajah ketus andalannya. Mungkin lebih tepatnya wajah ketus andalan yang sering ia berikan kepada Galuh.

Last Night on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang