🎵Santai-santai, jodoh ga akan kemana!🎵
***
H a p p y • R e a d i n g
***
"Kenapa Anda harus mengundurkan diri? Apa gaji yang selama ini saya bayar itu kurang?"
Pria itu menghela nafas, "Tidak, Bu, bukan seperti itu. Gaji yang selama ini saya terima sudah lebih dari cukup."
Aku meletakkan selembar kertas laknat itu dengan kasar. Netra ini beralih menatap sinis ke arah Argus, seseorang yang baru saja mengajukan surat pengunduran diri—entah karena sebab apa. Ah, aku jadi sebal sendiri.
"Lalu, mengapa Anda malah menginginkan saya untuk menyetujui hasrat itu?" tanyaku masih mengintrogasi dirinya, tak habis pikir atas keputusan mendadaknya yang satu ini. Jujur saja, kinerja Argus selama ini sangat bagus. Berkat didikannya, teater kami berhasil berjaya menyabet banyak penghargaan sebagai penyelenggara pagelaran teater terbaik se-Purwokerto ataupun se-Jawa Tengah. Bahkan, kami juga sempat menjadi juara dalam beberapa event lomba nasional yang kami ikuti.
"Saya berhenti karena saya rasa sudah cukup waktu saya untuk bekerja. Saya ingin pensiun dari dunia teater dan beralih menjadi seorang penulis, sesuai dengan mimpi saya sejak dahulu."
Mataku memicing, "Apakah Anda sudah menimbangnya dengan matang? Begini, maksud saya, Anda masih bisa mengajar teater di The Night sekaligus menjadi seorang penulis di tengah-tengah kesibukan Anda."
Hembusan nafas panjang keluar dari mulutnya, "Saya hanya ingin benar-benar fokus dalam satu bidang saja, Bu. Dan pilihan saya jatuh kepada menulis, bukan lagi teater. Saya mohon maaf sekali, Bu."
Salah satu alis ini terangkat, kemudian aku mengangguk paham. "Baik, saya mengerti." balasku dingin sambil mengambil sebuah pena untuk membubuhkan tanda tangan. Bagaimana lagi? Mau tetap dipertahankan, tapi orang lain pasti punya mimpi yang harus kita hargai keberadaannya, kan? Tak bisa seenaknya dipaksa sesuai dengan kehendak kita.
Tak lama, kembali kusodorkan map berisi surat pengunduran diri miliknya, "Sudah saya setujui, silahkan Anda keluar dari ruangan ini. Mulai sekarang, Anda tidak terikat lagi dengan The Night. Terima kasih atas dedikasi Anda selama ini."
Argus mengangguk seraya tersenyum singkat, tangannya bergerak cepat mengalami kedua tanganku. Setelahnya, ia mengambil benda tipis berbentuk persegi panjang berwarna merah itu dan mengucapkan kata terima kasih. Segera, Argus bangkit untuk pergi dari ruangan tempatku bekerja.
Aku memijat pelan pelipis, pening rasanya—sungguh. Kepalaku terasa akan meledak, memikirkan bagaimana nasib selanjutnya The Night—teater milik ayahku—setelah Argus memutuskan untuk benar-benar vakum.
Sudah sekitar dua tahun aku menjabat sebagai pimpinan di sini, menggantikan posisi ayah yang katanya ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan ibu. Dasar bucin—memang. Ayah asyik berdua-duaan dengan ibu, sedangkan anaknya harus menghadapi berbagai macam masalah rumit di sini. Naasnya, aku sama sekali tidak tahu menahu soal teater, management, apalagi jika keduanya dikembangkan menjadi bisnis. Parah sekali memang, seperti tak ada pengalaman apik yang mengakar kuat di kepalaku setelah selama ini bekerja. Ataupun, cap sebagai seorang anak pemilik teater tersohor di kota besar dengan julukan Kota Satria. Berat rasanya, harus memikul tanggung jawab sebesar bumi yang bentuknya bulat. Apalagi jika teater yang dipegang, tak lagi terkenal di satu kota saja. Bahkan, sampai se-Indonesia. Sering diajak kolaborasi mengadakan acara besar. Duh, sing, pusing, pusing, pusing, pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin
RomanceKlandestin yang berarti rahasia. Seperti pria yang selama ini menjadi pacar sekaligus pelatih di teater milikku. Sosok berwajah dingin, pemilik kulit pucat. Dia berhasil membuat kehidupanku diliputi rasa bahagia dan bingung secara bersamaan. Masalah...