TENTANG HIZAM

3 0 0
                                    

Namaku Muhammad Hizam Atha Oktarian, aku anak ketiga dari 4 bersaudara kedua kakak laki-laki ku semua sudah menikah, dan adik perempuanku saat ini sedang mondok di Jawa. Hanya abi dan ummi saja di rumah, selepas mondok abi memintaku untuk menetap di rumah sekalian membantu abi mengurus pesantren yang telah di amanahkan oleh sahabatnya yang sudah meninggal. Namun aku menolak permintaan abi, aku mempunyai mimpi sendiri yaitu mendirikan rumah tahfiz untuk para santri yang ingin menghafal. Aku jelaskan pada abi bahwa kakak laki-lakiku pasti suatu saat bisa menolong abi untuk mengurus pesantren. Saat itu abi tetap bersikukuh agar aku mau untuk mematuhi perintahnya, alasan beliau perkuat dengan menjanjikan mambangun rumah tahfiz di pondok, tapi aku tetap tidak menyetujui kemauan abi.

Akhirnya aku pergi diam-diam dari rumah menuju rumah paklek di Jambi, aku merasa paklek lebih paham dengan semua kemauanku, aku akan meminta paklek untuk membujuk abi agar mengizinkanku pergi.

Setelah sampai di rumah paklek aku menjelaskan semuanya, aku benar-benar berharap paklek bisa membantuku.

"Zam, sebenarnya permintaan abimu itu benar, tapi mimpi dan keinginanmu juga sangat mulia. Nanti paklek akan coba bicara dengan abimu," ujar paklek.
Aku sangat lega mendengarnya.

"Terima kasih paklek," jawabku senang.

"Kedua kakak laki-lakimu bagaimana? Apa ada yang mau tinggal di pesantren?"

"Untuk mas Habib, kemungkinan beliau tidak bisa paklek karena mas Habib juga sedang memangku pesantren juga di Malang amanah dari warga daerah tempat istrinya," jawabku.

"Bagaimana dengan Ikram?"

"Mas Ikram ada rencana pulang, setelah tesisnya selesai."

"Baiklah nanti akan paklek diskusikan terlebih dahulu dengan Ikram sebelum dengan Abimu," ujar paklek.

"Baik paklek, terima kasih banyak telah membantu saya paklek," ucapku.

"Kamu ni Zam zam kayak sama siapa aja, paklek ini kan juga bapakmu. Oh ya berhubung Faiz juga gak di rumah tidurlah di kamarnya besok paklek anter kamu jadi imam masjid dekat rumah teman paklek"


Kata-kata paklek benar-benar membuatku senang.

"Terima kasih paklek" jawabku antusias



Setelah pembicaraan itu akhirnya abi setuju karena mas Ikram juga memberi pengertian pada abi. Aku akhirnya menjadi imam salah satu mesjid besar di kota ini atas bantuan dari paklek. Melihat minimnya di sana tempat tahfiz, aku pun memutuskan membuka rumah tahfiz, sebelumnya aku hanya memanfaatkan tempat seadanya namun masyarakat sangat mendukungku akhirnya aku diberikan tempat khusus untuk membangun rumah tahfiz di sana yang jaraknya sangat dekat dengan masjid hanya sekitar 30 meter sehingga membuatku tidak sulit mengontrol antara menjadi imam masjid dan juga mengajar anak-anak didikku. Aku sangat nyaman dengan semua ini, bahkan aku sangat bahagia karena apa yang menjadi harapan terbesarku sudah terwujud.

Tanpa terasa waktu berlalu, sudah 2 tahun aku ada disini. Aku sangat dekat dengan para jamaah di masjid ini, bahkan mereka sudah menganggapku seperti anak sendiri. Dan terkadang ibu-ibu baik hati dengan tulus memberikan makanan padaku setiap harinya, sebenarnya aku tak sendiri disini ada satu teman lagi yang merupakan seorang mahasiswa yang tak jauh dari daerah kami tinggal, Faisal namanya. Dari dialah aku tahu bahwa Alesha juga ada di kota ini, secara kebetulan Alesha adalah teman sekelasnya.

Awalnya aku kira itu bukanlah Alesha yang ku kenal namun ketika aku melihat story WA nya, aku melihat Alesha ada di antara mereka saat foto bersama. Sebelumnya Faisal juga sering menceritakan tentang teman-teman kampusnya tak terkecuali tentang Alesha yang ramah, namun sangat tegas.


Entah mengapa aku sangat senang mendengar dia sering menceritakan tentang Alesha yang kadang lucu, dia cerewet namun sangat baik hati. Dia tak segan membantu selagi dia bisa. Padahal dulu saat kami sempat berkenalan dia sangat pendiam mungkin karena kami baru kenal. Dan kemaren saat ke toko buku tanpa sengaja aku seperti melihat sosok yang aku kenal, walau ragu aku coba beranikan diri untuk menyapanya. Untung saja aku tak salah orang, walau dia sempat bingung tapi akhirnya dia bisa mengenaliku. Anehnya aku sangat senang ketika dia mengingatku dan menyebut namaku, sudah 4 tahun berlalu tapi dia tidak berubah sama sekali hanya saja saat ini dia menjadi lebih anggun dari sebelumnya.

Alesha. Entah apa yang membuatku begitu tertarik padanya, aku merasa dia mempunyai kharisma yang sulit untuk ku jabarkan namun cukup membuatku terpesona karenanya. Dan sepertinya Faisal bisa menangkap sinyal itu.

"Zam kau menyukai Alesha kan?" Tanya nya suatu hari.

"Hahaha. Bicara apa kamu Faisal, jelas aku dan dia tidak saling mengenal," tangkasku.

"Pertemuan walau hanya sekali namun bisa memberikan kesan tersendiri Zam" ujarnya meyakinkan.

Aku diam sejenak. Aku membenarkan apa yang telah Faisal katakan padaku. Pertemuan singkat itu memang sangat membekas dalam ingatanku walau kami hanya bertegur sapa seadanya, tapi kesannya sangat terpatri dalam ingatan.

"Kami hampir di penghujung semester Zam, jika kau serius, segera halalkan. Alesha wanita yang baik hanya saja kadang sifatnya sedikit pemarah namun sangat pemaaf, aku memang tidak begitu dekat dengannya karena dia juga sangat menjaga batasan dengan ikhwan sekalipun dia friendly tapi tetap menjaga batas, aku bisa liat karakter dia yang sangat lembut. Aku rasa kau bisa merubahnya menjadi wanita yang sangat istimewa," ujar Faisal panjang lebar.

Aku diam tak bergeming. Haruskah secepat ini aku menikah? Apakah Alesha mau menerimaku sedangkan dia orang yang berpendidikan?

"Ah, ada-ada aja kamu Sal, kami masih terlalu muda untuk itu," jawabku.

"Apalagi yang kau fikirkan Zam, penghasilanmu sudah lebih dari cukup untuk membangun rumah tangga. Fikirkan baik-baik Zam orang seperti Alesha pasti banyak yang cari meski dia terlihat sederhana tapi dia punya pesona yang sangat kuat." Ujar Faisal sambil menepuk pundakku dan berlalu ke dalam masjid.

Aku terhenyak kaget, jadi bukan hanya aku yang menyadari hal itu ada pada diri Alesha, buktinya Faisal juga bisa melihat itu. Aku semakin pusing dibuatnya, apa yang dikatakan oleh Faisal ada benarnya.

"Ah ... cinta membuatku tak bisa berpikir jernih" batinku, mungkin aku butuh memikirkan ini lebih matang, tak ada salahnya saran yang telah diberikan Faisal untuk di pertimbangkan, aku harus meyakinkan hatiku bahwa ini semua memang tulus dari hatiku yang paling dalam, aku tak ingin ada penyesalan dikemudian hari, akhirnya aku pun beranjak masuk ke dalam masjid untuk persiapan sholat asar.


Antara Impian dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang