PENGAKUAN ASA

2 0 0
                                    

Aku melihat perubahan raut wajah Alesha, kini rona wajahnya terlihat sangat pucat, mungkin dia sangat syok mendengar pernyataanku tadi. Hal ini sudah aku antisipasi sejak awal, pasti tak mudah bagi Alesha mencerna semua yang terkesan terlalu cepat.

“Apa aku tidak salah dengar?” tanyanya lirih.

Aku pun kembali mengulangi perkataan yang sama. Alesha memalingkan wajahnya ke arah lain, aku sempat melihat sudut matanya berembun. Aku tahu itu bukan air mata bahagia.

“Maafkan aku Alesha,” ucapku sangat lirih, mungkin hampir tak terdengar olehnya.

Rasanya ingin sekali menjelaskan mengapa aku bisa begitu yakin padanya, mengapa rasa ini bisa tumbuh subur di hati. Tapi, bukankah rasa tak pernah mempunyai alasan mengapa ia hadir?

“Kamu tahu kita ini berbeda Hizam?” tanyanya mulai kembali mengangkat suara.

Astaghfirullah. Apa maksud dari pertanyaan ini?

“Aku yakin kamu paham dengan maksudku Zam, kita ini beda. Kita ini tidak sekufu Zam.” Terdengar ada penekanan dalam kalimat terakhirnya.

La ilaha illa Allah. Wanita ini. Mengapa status masih jadi permasalahan? Lantas apa bedanya denganku yang tidak  menyandang status sosial sebagai seorang sarjana, sedangkan dia sebentar lagi akan menyandang gelar itu.

“Maksudmu karena aku putra dari seorang ustad yang memangku sebuah pondok pesantren?”

Alesha mengangguk.

“Mungkin kamu bisa ralat kata-kata itu, bukan hanya pemangku tetapi abimu juga sudah resmi menjadi pemilik pondok pesantren itu kan Zam.”

Aku tercekat. Haruskah sedetail itu kamu katakan itu semua Sha? Itu semua tidak ada artinya Sha, andai kamu sadar akan hal itu. Aku menghela napas yang mulai terasa berat.

“Lantas apa bedanya dengan aku dan kamu, kamu memiliki gelar sarjana sedangkan aku…”

Aku mulai memberi pandangan lain untuknya, berharap agar ia bisa berpikir jernih bahwa semua status, jabatan, harta itu tak ada nilainya. Semua sama di mata Allah.

Alesha terlihat mengusap hidungnya yang mulai berair. Air matanya tak berhenti menganak sungai. Entahlah. Apa yang dipikirkannya sehingga dia bisa sesedih itu.

“Kenapa harus aku?” tanyanya.

Allahu kariim. Apa pernyataanku sangat membuatmu terluka Sha? Sampai-sampai kamu bertanya seperti itu? aku meremas jariku rasanya ribuan pertanyaan ingin ku lontarkan padanya. Jika aku bisa memilih aku juga tidak ingin seperti ini, mungkin aku akan membiarkanmu pergi, tapi rasa ini memaksaku untuk berusaha memilikimu. Andai kamu tahu aku hanya ingin menyelamatkan kita dari dosa. Ah, mungkin memang rasa ini hanya ada sepihak, bodohnya aku yang terlalu cepat mengutarakan keingininan untuk menjalin hubungan yang halal.

“Sha … aku tahu ini terlalu cepat untuk kita, aku hanya ingin agar rasa ini tidak jatuh pada lubang yang salah,” ujarku lirih demi menyeimbangkan suasana.

“Jangan pernah tanyakan tentang rasa Sha … aku juga tidak tahu kapan rasa ini ada dan apa penyebabnya, aku sudah berusaha kuat untuk melupakan namun hasilnya malah semakin membuatku jatuh dan terus berharap,” ujarku mencoba memberi pengertian pada Alesha.

Alesha terlihat mengusap wajah yang penuh air mata dengan ujung hijabnya. Kemudian berusaha menatap wajahku dengan pandangan sayu.

“Beri aku waktu Zam.”

Sebelum akhirnya dia beranjak pergi kemudian berlari dengan deraian air mata. Aku mengutuk diriku sendiri, menyalahkan dengan semua yang terjadi hari ini. Arghhh.

Faisal pun mendekatiku, kemudian menepuk-nepuk pundakku. Dia juga terkejut melihat reaksi Alesha yang sangat di luar dugaan. Ah, mungkin ini memang salahku, terlalu cepat mengambil keputusan, padahal aku tahu ini pasti akan melewati lika liku yang sangat melelahkan.

Melihatnya begitu terluka membuatku sangat merasa bersalah dan juga bingung. Alesha sepertinya dia sangat terluka karena pernyataanku, tapi … apa yang membuatnya sangat terluka atau itu bukan luka, melainkan rasa takutnya yang tinggi akan sebuah rasa. Kepalaku seakan berat memikirkan ini, wanita yang sangat aku harapkan menyambut hangat niat baikku ternyata malah sebaliknya.

“Sabar Zam, mungkin Alesha butuh waktu untuk memikirkan ini semua.”

Masih terngiang ucapan Faisal ditelingaku sebelum akhirnya kami kembali ke masjid dan meninggalkan cafe dengan jejak kekecewaan. Jujur, aku sangat kecewa, hatiku terasa patah dan perih. Tapi kata-kata Faisal ada benarnya, mungkin aku memang harus memberi ruang waktu untuk Alesha memikirkan ini. Karena aku yang memulai aku juga harus siap dengan segala kemungkinan terburuk, kecil rasanya harapan Alesha akan menerimaku.

Oh Allah, aku serahkan semua pada Mu, apapun yang akan terjadi nanti kuatkanlah hatiku agar tidak patah, yakinkan hatiku kembali untuk tetap menantinya jika memang dialah jawaban dari istkharahku.

“Zam, yang semangat dong, masa mau ngajar anak-anak mukamu berkerut begitu,” ujar Faisal menegurku yang hendak berangkat ke rumah tahfiz.

“Duh, emang ya cinta bisa buat hati orang jadi gundah gulana,” lanjutnya terkekeh.
Aku diam bergeming. Ah, aku … kenapa jadi serapuh ini?

“Kamu apaan sih Sal, aku baik-baik aja juga,” sanggahku

Faisal malah semakin terkekeh melihat ekspresiku.

“Wajahmu itu Zam, keliatan banget, kayak anak ABG habis putus cinta aja,” ujar Faisal masih dengan gelak tawanya.
“jangan ngadi-ngadi Sal. Dah lah, aku berangkat dulu,” ujarku sambil berlalu meninggalkannya.

Anak itu lama kelamaan kalau dibiarin pasti akan terus meledekku.

“Hizam, kamu ini laki-laki, jika memang Alesha masih belum yakin dengan keputusanmu, kamu harusnya yang berusaha meyakinkan dia bahwa kamu pantas untuknya dan dia juga pantas untukmu. Perjuangkan,”ujar Faisal sebelum aku benar-benar beranjak pergi.

Aku seperti tertampar dengan ucapan Faisal. “ baiklah Sha, aku akan tetap berusaha untuk meyakinkan dan memperjuangkanmu, sekalipun nantinya aku yang harus menunggumu,” batinku mantap.

Antara Impian dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang