Kejadian aneh yang aku alami berakhir pada jam 4 subuh. Bukan hanya aku, karena rumah kecil berlantai 4 itu mempunyai 2 penghuni lagi.
Pagi menjelang aku mulai beranjak dari ranjang bersiap untuk mandi. Bersamaan dengan baru keluarnya aku dari kamar, Wina terlihat letih kurang tidur.
Tidak ada percakapan di antara kami saat itu, aku sendiri orangnya memang agak tertutup apa lagi kami masih baru kenal.
"Sa! Kamu nitip nasi pecel buat sarapan juga ndak?" Tanya Mbak Intan menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Waktu itu masih ada penjual nasi keliling yang biasa ngider di gang kecil depan rumah kost. Namanya Mbah Minah, beliau menjajakan dagangannya dengan cara di suwun atau di letakkan di atas kepalanya.
"Iya nitip mbak, nasi jagung aja sama sayur nangka." Ucapku sambil menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu pada Mbak Intan.
"Sa, kamu duluan aja mandinya aku bikinin teh anget buat sarapan nanti." Kata Wina tanpa semangat, kemudian berlalu menuruni tangga setelah meletakkan handuk di pundaknya.
Masih terbayang jelas tentang kejadian aneh yang aku alami di malam pertama menghuni rumah kost itu. Bahkan semua terasa sangat nyata, saat telapak tangan mengelus pelan papan triplek. Langkah kaki basah yang mondar mandir naik turun tangga.
Karena kejadian malam itu juga aku sampai begadang sepanjang malam. Dinginnya air tak mampu menyegarkan tubuh yang sudah terlanjur letih.
"Semalam kamu juga ngerasain kan Sa!?" Suara Wina mengagetkan diriku ketika mandi.
"Kejadian apa emang Win?" Tanyaku pura-pura tak mengerti dengan apa yang di maksud Wina.
"Aku tahu kamu semalam nggak tidur juga kan? Karena gangguan hantu itu!" Seru Wina dari balik pintu kamar mandi.
Gayung berisi air yang hendak ku guyurkan di atas kepala terhenti sejenak, "setiap malam gangguan seperti itu selalu ada Win?" Tanyaku penasaran.
"Iya Sa! Udah seminggu ini aku bertahan karena terbatasnya biayanya untuk cari kost baru Sa."
"Udah ngasih tahu sama ibu pemilik kost tentang kejadian ini belum Win?"
"Udah! Bahkan aku udah berkali-kali ngadu tapi tanggapannya sinis banget, 'kalo nggak betah silahkan cari tempat kost lain saja dek' cuma itu aja jawabannya Sa." Jawab Wina panjang sambil menirukan ucapan ibu pemilik kost.
"Sudah-sudah, jangan bahas soal itu sekarang. Fokus kerja saja dulu, kamu mandi di kamar mandi bawah saja Win." Seru mbak Intan menyudahi percakapan kami saat itu.
Selesai sarapan bareng sebelum berangkat kerja kami bertiga yang merupakan orang perantauan jauh dari keluarga saling berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing.
===
Seperti biasa setelah turun dari angkot biru tua bertuliskan 'GA' suasana sore dengan banyaknya anak-anak yang bermain sepeda seakan menyambut kedatanganku setelah pulang kerja.
Gang kecil yang di penuhi oleh pejalan kaki dan anak-anak yang bermain menjadi potret tersendiri yang tidak akan pernah terlupakan bagiku.
Di ujung gang dengan kanan kiri bangunan tinggi itu mbak Intan sedang bercakap-cakap dengan pemilik warung. Di antara kami bertiga yang menghuni rumah kost hanya mbak Intan yang paling ramah pada warga sekitar, sekilas aku mendengar suara obrolan mereka "mbak yang dulu ngekost di situ meninggal setelah tiga hari pindah kost karena nggak betah dapat gangguan setiap malam Tan," kata ibu pemilik warung yang belum ku ketahui namanya saat itu.
"Eh, Sa baru pulang?" Sapa mbak Intan setengah terkejut di tengah-tengah obrolannya ketika melihatku.
"Iya mbak ke sorean karena macet di jalan tadi angkotnya," jawabku kalem. Karena saat itu aku sedang halangan jadi ku putuskan juga untuk mampir ke warung membeli pembalut.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH KOS 1874
HorrorKadang sebagian orang akan tergiur dengan harga yang relatif murah tanpa memikirkan dampak negatifnya. begitu juga yang di alami oleh seorang gadis bernama Alexsa. gadis perantau asal kota Jember ini harus indekos di sebuah rumah kecil berlantai emp...