RUMAH KOST 1874 (3)

423 48 1
                                    

Seperti kemarin sampai sinar matahari muncul dari balik celah jendela yang tertutup kain, kami bertiga di buat tidak tidur semalaman.

Aku ingin menyerah dengan keadaan yang membuat perasaanku semakin tertekan. Badan terasa lelah dan letih, baru dua hari menghuni rumah kost itu kedua pelupuk mataku sudah cekung menandakan kurangnya istirahat.

"Win bangun sudah pagi," ucapkuu sambil menggoyang badan Wina yang tidur di sebelah dengan posisi meringkuk.

"Loh Mbak, badan Wina panas banget!" Seruku setengah berteriak panik karena saat kusentuh badan Wina terasa panas.

Mbak Intan yang tadinya tetap berusaha bersikap tenang mulai ikut panik karena badan Wina benar-benar sangat panas.

"Sa, kamu masuk kerja jam berapa?" Tanya Mbak Intan sebelum beranjak dari posisinya untuk mengambil air guna mengompres kening Wina.

"Jam delapan Mbak," jawabku pelan tanpa semangat.

"Kamu cepat-cepat mandi yah, habis ini kita antra Wina ke puskesmas. Semakin lama kita di sini keadaan kedepannya tidak akan membaik Sa." Kata Mbak Intan kemudian berlalu menuruni tangga.

Setelah mbak Intan kembali ia segera mengompres kening Wina lalu menyuruhku untuk segera bersiap-siap mandi.

Keadaan Wina saat itu sangat memperihatinkan, suhu tubuhnya panas dengan badan menggigil seperti kedinginan. Bahkan beberapa kali mulutnya meracau, "maaf, aku ingin pulang saja!" Begitulah suara yang keluar dari mulut Wina.

Beberapa warga yang datang untuk menolong mengangkat badan Wina bertanya dengan wajah heran, "kok tiba-tiba sakit? Perasaan kemarin baik-baik saja!" Tanya Bu Ismail yang tinggal di sebelah rumah tempat kost kami.

"Kurang tahu juga Bu! Mungkin karena terlalu capek." Jawab Mbak Intan.

Iya! Capek karena gangguan mahluk halus penunggu rumah ini, batinku saat itu.

Sesampainya di puskesmas mbak Intan segera memberikan kabar pada keluarga Wina. "Kamu Ndak berangkat kerja Sa?" Tanya Mbak Intan mulai duduk di kursi sebelahku.

Raut wajah kami saling menandakan lelah kurang tidur. "Nggak Mbak, kerjaan sudah amburadul! Aku mau pulang saja ke Jember." Jawabku tanpa semangat.

"Kamu yang sabar yah," tangan mbak Intan mengelus pundak kiriku pelan. "Nanti mbak bakalan cerita sama kamu tentang apa sebenarnya terjadi! Kapan rencana kamu mau pulang?" Lanjut mbak Intan memejamkan kedua mata dengan bagian kepalanya bersandar di tembok ruangan Wina di rawat.

"Rencananya besok pagi mbak. Apa mbak intan tahu sesuatu di rumah itu?" Tanyaku memandang wajah wanita berkulit kuning langsat yang sedang memejamkan matanya saat itu.

"Belum saatnya aku ceritakan, ada sesuatu yang aku selidiki dan hal itu mengharuskan aku untuk bertahan di rumah itu Sa." Jawab mbak Intan tenang sambil terus memejamkan kedua matanya.

Semua yang terjadi begitu sukar untuk nalar oleh pikiran. Rasanya aku ingin menyerah dengan cepat-cepat berkemas lalu pulang ke tempat asalku.

Tepat di hari ke tiga setelah aku dan Mbak Intan membereskan barang-barang Wina yang hendak di bawa pulang oleh keluarganya. Gangguan mahkluk tak kasat mata itu masih sangat terasa.

Tepatnya setelah adzan sholat Isya, aku sedang mengemasi barang-barang untuk pulang pagi harinya. Karena sudah terlanjur trauma dengan yang kualami setiap malam selama dua hari itu. Ku putuskan untuk mengginap di tempat kost Ica.

Setelah selesai berkemas dan berniat untuk keluar kost malam itu juga tiba-tiba tengkuk terasa dingin serasa di tiup dari belakang. Bersamaan dengan itu seluruh bulu-bulu halus yang tumbuh di seluruh badan berdiri seketika.

Langkahku tertahan sejenak, sekilas sosok bayangan berjalan cepat melewati depan pintu kamar kecil tempat tidurku. Segala macam doa yang kuhafal sudah kubaca sebisa mungkin namun, semuanya terasa sia-sia karena tiba-tiba lampu lantai tida berkedip beberapa kali dengan sendirinya.

Tak berselang lama suara air dalam galon berbunyi 'glung, glung, glung-"

Jantung serasa ingin meloncat keluar saat itu, belum hilang rasa terkejut yang kulami darah mulai berdesir ketika suara langkah kaki basah kembali terdengar berulang-ulang seperti malam sebelumnya.

Bukan lagi bau bunga melati yang tercium lebih tepatnya adalah bau anyir darah.

Deg!

Kedua bola mataku menatap keget saat bekas kaki dengan noda darah sudah berada di lantai depan kamar tempatku berada.

Keringat mulai bermunculan sebelum membasahi seluruh tubuh, langkah suara kaki basah yang meninggalkan bekas darah itu masih terdengar pelan dan sangat jelas.

Tas ransel berisi pakian dan barang-barang yang saat itu sedang kupegang langsung terlepas dari kedua tanganku. Suara tangisan lirih yang terdengar menyayat hati seolah membawaku ikut larut dalam kesedihan yang sedang ia rasakan membuatku terduduk lemas sambil menahan tangis.

Langkah kaki tanpa wujud itu terdengar mulai menaiki anak tangga lalu berhenti di tengah-tengah. Di saat itulah suara tangisan pilu dan tersedu-sedu mulai membuat hawa semakin mencekam.

Bekas langkah kaki dengan noda darah sudah mengotori ubin lantai tiga. Dalam situasi saat itu jalan pikiranku benar-benar terasa buntu! Kehadiran mahkluk tak kasat mata tersebut mampu membuat nyaliku menciut dengan rasa ketakutan yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya.

Suara tangisan yang berulang-ulang bak film dokumenter yang sedang berputar terasa menyesakkan dada, sosok yang belum kulihat wujudnya itu seakan memaksaku untuk merasakan semua rasa sedih dan keputusasaan yang di alaminya.

"Opo seh seng kok karepno?" (Apa sih yang kamu inginkan?) Aku bukan satu-satunya orang yang bisa berada dalam tekanan, hingga aku berteriak meminta penjelasan dari makhluk yang belum kulihat wujudnya.

Dadaku terasa panas dengan gemuruh yang terasa ingin meledak. Mata sudah basah oleh tangisan yang memang bukan keinginanku terpaksa melihat sosok wanita bergaun putih panjang dengan rambut awut-awutan sedang berdiri di atas tangga dengan posisi membelakangi diriku.

Lengkap sudah apa yang kulami saat itu! Ketika kulit wajah pucat dengan bundaran hitam di kedua kelopak matanya perlahan menoleh ke arahku dengan sorot mata memberikan sebuah ancaman yang nyata.

Jelas sekali kulihat postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Sebelum sosok wanita yang tak kukenal tersebut menoleh ke arahku, punggungnya sempat bergerak sedikit menandakan bahwa ia sedang menangis sesenggukan meratapi nasipnya.

Langkah kakiku mundur secara refleks, wajah pucat dengan hidung mancung. Kiyakin jika sebelum meninggal ia adalah seorang wanita berparas cantik meski yang terlihat saat itu sosok menyeramkan.

Semua tiba-tiba gelap! Bukan cahaya lampu yang mati, melainkan aku sudah kehilangan kesadaran.

===

"Kamu sudah bangun Sa?" Suara mbak Intan dengan wajah khawatir yang pertama kulihat.

"Aku mau pulang saja Mbak," kataku pelan. Semua yang kulalui di rumah Kost ini membuatku hampir gila!

"Nggak mau pindah kost dulu saja Sa? Sayang kerjaan kamu di sini." Ucap mbak Intan sendu.

"Nggak mbak, aku udah hampir gila di sini." Tepisku karena saat itu aku memang ingin segera pulang ke kota asalku.

Hari sudah siang dengan terik matahari yang terasa panas saa

Setelah berpamitan dengan mbak Intan dan tidak ingin berlama-lama lagi di rumah yang memberikan kenangan paling buruk seumur hidup. Langkahku mulai menyusuri gang sempit menuju jalan besar, sebelum aku berbelok menuju jalan besar sempat kulihat rumah dengan tulisan 1874 yang terbuat dari ukiran semen di lantai dua.

Insyaallah jika ada waktu akan aku lanjutkan kembali dengan tokoh utama Intan.

Ambil hikmah dari sebuah cerita, jangan pernah menyombongkan diri di atas keahlian yang kita miliki saat ini. Sebab kita tidak pernah tahu dengan siapa kita sedang berurusan, meskipun ia hanyalah orang yang baru kita kenal.

Selalu dekatkan diri pada sang pencipta agar kita selalu dalam perlindungannya.

Sampai di sini yah, aku pamit dulu. Sampai jumpa di cerita yang lain. Aku sayang kalian semua 😘😘😘😘

RUMAH KOS 1874Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang