Part 1 - Memori

181 31 2
                                    

Malia menghapus air mata. Dia memandangi jalanan dari jendela apartemen. Hidup macam apa yang sedang mereka jalani sekarang? Apa yang ada dalam pikiran Ayah ketika menciptakan ini semua? Ayah bilang, beliau tidak punya cukup waktu untuk memikirkan. Beliau hanya menginginkan keselamatan keluarga mereka. Namun, jika selamat berarti terpisah jauh dari orang yang dicintai, Malia merasa lebih baik mati.

Pintu lift apartemen terbuka. Malia menoleh dari jendela. Dia tersenyum. "Ibu," sapanya menghampiri lalu memeluk seorang perempuan yang terlihat hampir sebaya dengannya. "Kok gak bilang dulu mau dateng?"

Andaru menghela napas. Diletakkannya semua rantang yang dibawa lalu diusapnya kepala Malia. "Ayah bilang kamu minta cuti. Ibu langsung tahu ada yang gak beres," katanya.

"Persiapan ambil spesialis, Bu. Aku masih ada tugas klinik minggu depan," jawab Malia. "Di kehidupan yang ini, aku baru dokter umum. Dokter jaga IGD yang bisa tinggal di apartemen mewah karena ayahnya pemilik sekaligus direktur rumah sakit."

Andaru kehilangan kata. Dia duduk di sofa ruang tamu. "Kok jadi sinis begini, Malia? Ayahmu hanya ingin semuanya selamat setelah bencana terakhir kali."

Malia ikut duduk di samping Andaru. Sulit mengatakan bahwa mereka adalah ibu dan anak akibat ketidakmampuan untuk menua. Darah yang mengalir dalam tubuh tabib kerajaan dan keluarganya memang istimewa. "Gak ada jaminan kalau Prima, Jagad dan Lesmana sudah tewas, Bu. Semua orang terpisah dan tidak lagi punya ingatan, kecuali kita. Aku belum bisa menemukan Aryan dan Kanaya. Bu ... aku ..."

"Tapi kamu telah menemukan Bumi beberapa hari yang lalu," sambung Andaru mengerti. "Kita hanya perlu mengulang semua dari awal."

"Dia bahkan gak inget siapa aku." Malia tiba-tiba terisak. "Tatapannya ramah seperti sikap biasanya menghadapi orang-orang. Aku gak ada istimewanya. Gak ada secuil ingatan pun tentang aku, tentang kami. Di kehidupan sebelumnya, tetap aku yang harus mengingatkan. Aku lelah, Bu."

"Beri waktu, Malia." Andaru dengan sabar mengusap kepala putrinya. "Baruna berjanji bahwa ini akan jadi yang terakhir. Ayahmu punya rencana. Kita akan bicarakan nanti. Kamu ditunggu makan malam di rumah. Bisa, kan?" Dihapusnya air mata Malia dengan kasih sayang. Pandangannya jatuh pada jendela yang mengarah ke balkon, di mana sepuluh baling-baling kertas berwarna-warni terpajang kokoh, berputar mengikuti irama angin. "Kita akan mulai dari awal. Maafkan kami, Nak."

"Bukan salah Ayah dan Ibu." Malia mengangkat bahu. "Setidaknya aku tahu Bumi baik-baik saja. Semoga ... semoga dia belum berjodoh dengan orang lain."

"Kalian. Selalu kalian," kata Andaru. "Bumi tidak akan mampu bersama orang lain, seperti halnya dirimu, Malia."

***

Luka akibat tembakan itu hampir pulih. Bumi menghitung sisa obat dan surat kontrol yang diberikan oleh dokter itu sebelum dia meninggalkan rumah sakit. "Kontrol di bagian klinik, Kapten," katanya. "Minggu depan."

"Terima kasih," jawab Bumi sebelum pergi. Dia sempat melihat dokter itu tersenyum lalu meninggalkannya untuk mengurus pasien lain.

Sekarang, Bumi tidak mengerti kenapa dia begitu tidak sabar untuk kontrol kembali. Kapten itu melihat nama yang tertera di bagian bawah surat. Dokter Malia Kanaya. Nama yang indah. Bumi serasa telah mengenalnya cukup lama, tapi tentu saja sesungguhnya tidak begitu. Mereka tidak saling mengenal.

Pintu diketuk. Bumi tersenyum. "Masuk aja, Bu," katanya. "Gak dikunci."

Pintu terbuka. Segurat senyum menghiasi wajah cantik Ibu. "Bisa makan di meja makan?" tanya beliau sambil memeriksa luka Bumi. "Kamu beneran mau pindah rumah? Ini rumahmu, Bumi. Ayahmu sebenarnya gak setuju, tapi gak mau ngelarang juga."

Bumi tertawa kecil. "Biar mandiri, Bu," kilahnya. "Udah gede masa masih diurusin Ibu? Biar Ibu tinggal urusin Ayah aja."

"Bilang itu sama Brigjen Aksan saat beliau pulang nanti." Ibu ikut tertawa. "Ayahmu gak rela, tapi gak mau bilang. Ya udahlah. Kamu juga udah sedewasa ini, Bumi. Ibu gak akan larang."

"Aku masih bakal ke sini tiap hari." Bumi meraih tangan Ibu. "Janji. Yuk, makan, Bu."

Ibu mengangguk. "Janji harus selalu ditepati, Bumi. Kamu boleh pindah ke rumah sendiri, tapi makan tetap di sini. Ibu gak mau rumah ini jadi sepi."

"Janji."

Bumi mengikuti Ibu keluar dari kamar menuju ruang makan mereka. Lukanya terasa sedikit nyeri. Bumi meletakkan obat-obatnya di meja makan. Diterimanya piring dari tangan Ibu. "Besok harus kontrol ke dokter," katanya mengumumkan. "Minggu depan udah harus kembali bertugas."

"Mau Ibu temani ke dokter?" tanya Ibu antusias. "Siapa tahu dokternya cantik, baik dan masih lajang. Kan bisa Ibu tanya-tanya buat kamu. Trus ..."

"Bu ..." Bumi tertawa. "Mulai deh, ya. Kan aku udah bilang belum kepikiran untuk itu."

Ibu ikut tertawa. "Abisnya, Ibu gak sabar ingin lihat kamu berkeluarga," lanjut beliau, menyimpan sendiri kekhawatiran dalam hati. Bumi tidak akan mengerti, begitu juga ayahnya. Mereka tidak ingat apa pun setelah kejadian itu. Ibu selalu sensitif jika mendengar kata dokter. Bumi, sudahkah kamu temukan Malia?

"Enak, Bu," puji Bumi membuyarkan lamunan Ibu. "Masakan juara. Gak ada lawan."

"Bisa aja. Makan yang banyak kalau gitu."

Ibu menatap Bumi dengan khawatir. Bahkan dengan hidangan istimewa telur mata sapi, tumis bayam dan sambal goreng pun, kapten itu tetap tidak ingat. Hidangan sederhana ini dulu selalu istimewa bagi Bumi dan Malia. Sekarang, semuanya buyar. Bumi tidak ingat. Ayah tidak ingat. Hanya Ibu terbiar sendiri mengingat masa lalu dan persahabatannya dengan Andaru. Di mana mereka?

"Ibu gak usah khawatir. Aku bisa ke dokter sendiri. Memangnya aku anak SD harus ditemenin? Aku ini kapten polisi, Bu."

"Yang jadi korban tembak akibat perkelahian antar geng senjata ilegal baru-baru ini," komentar Ibu. "Ibu akan selalu khawatir, Kapten Aryan Bumi. Baik kamu suka atau tidak. Buat Ibu, kamu selalu anak kecil."

"Siap, Bu." Bumi kembali tertawa. "Tapi, please jangan ikut ke dokter. Aku bisa diketawain Dokter Malia."

"Dokter siapa?" Telinga Ibu langsung siaga mendengar nama itu.

"Dokter Malia," jawab Bumi. "Dokter yang ngurusin aku waktu itu. Malia Kanaya kalau gak salah. Kenapa? Ibu kenal?"

Ibu menggeleng. Rasa lega dalam hati tidak bisa dibohongi. "Ya udah kalau begitu. Salam buat Dokter Malia, ya. Sampaikan terima kasih dari Ibu."

"Beres."

***

Timeline 4, The Final Chapter: KEPINGAN WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang