"Dokter Prima!"
Panggilan itu membuat Prima menghentikan langkah. Dia mengunci mobil lalu menoleh. Keningnya berkerut. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seraya melirik jam tangan.
Seorang pria tinggi dan tampan dengan wajah yang mengingatkan Prima pada seseorang, berdiri di samping sebuah mobil SUV berwarna hitam. Pria itu tersenyum ramah lalu menghampiri Prima. Dia mengulurkan tangan. "Lesmana," katanya memperkenalkan diri. "Saya butuh bantuan anda. Tadinya saya ingin bertemu di kantor anda secara formal, tapi tidak ada salahnya jika kita bertemu secara informal terlebih dahulu."
Dalam keheranannya, Prima tetap menjabat tangan Lesmana. "Jika anda ingin mengajukan permohonan autopsi ..."
"Oh, tidak," sela Lesmana. Dia tertawa kecil. "Saya memang sudah mendapat izin dari kepolisian. Suratnya ada di mobil saya, tapi ini bukan tentang autopsi. Saya ingin riset. Saya memerlukan izin akses ke ruang autopsi."
"Riset?" tanya Prima ingin tahu. "Sebaiknya kita bicara di kantor saya saja." Dia memberikan isyarat agar Lesmana mengikuti. Mereka masuk ke Instalasi Forensik rumah sakit besar tempat Prima bertugas lalu langsung menuju ruangan dokter itu. Beberapa residen telah menunggu di pintu masuk untuk meminta tanda tangan. Prima mengambil berkas mereka semua. "Saya periksa dulu," katanya. Para residen itu beranjak pergi.
Prima mengangguk pada Lesmana. "Silakan masuk, Pak Lesmana," katanya.
Lesmana mengikuti Prima. "Panggil saya Lesmana saja, Dok," katanya. Dia kemudian duduk di sofa setelah dipersilakan.
Prima ikut duduk. Dia menghela napas sejenak. "Jadi, riset seperti apa yang anda perlukan?"
Lesmana menyerahkan surat izin dari kepolisian. "Saya punya perusahaan game, Dokter Prima. Kami berencana untuk membuat sebuah rancangan yang melibatkan manusia yang seperti asli. Semacam Virtual Reality. Saya perlu mempelajari anatomi manusia secara detail agar desain kami tidak meleset."
"Kenapa di sini? Di Indonesia?" Prima membuka surat yang diserahkan Lesmana. "Kenapa tidak di luar negeri? Di sana sumber daya riset jauh lebih banyak."
"Karena dunia dalam VR saya adalah Indonesia," jelas Lesmana. "Perusahaan kami akan jadi yang pertama membuat Indonesia dalam VR dengan karakter yang juga orang Indonesia." Dia semakin bersemangat.
"Kenapa tidak minta tolong ke Fakultas Kedokteran saja?"
"Fakultas Kedokteran mengarahkan saya pada anda, dokter forensik dengan banyak kasus," tambah Lesmana. "Saya berjanji tidak akan mengganggu. Seluruh kasus yang saya buat desain gambar digitalnya akan bersifat anonim."
"Game ..." gumam Prima. Dia akhirnya membubuhkan persetujuan. "Anda bisa memulai riset hari senin hingga enam bulan ke depan. Saya akan mendampingi riset anda bersama seorang residen baru karena kita perlu untuk mulai dari awal."
"Terima kasih, Dok." Lesmana kembali menjabat tangan Prima. "Saya akan ada di sini senin jam setengah delapan."
"Ditunggu, Lesmana."
Lesmana meninggalkan ruangan. Prima mengambil ponsel lalu menunggu.
"Dokter Prima," sapa suara di seberang sana. "Ada kasus, Dok?"
"Untuk hari ini belum ada, Dok. Tapi anda diperlukan senin di cold room penyimpanan jenazah. Kita perlu mendampingi riset seorang desainer VR."
"VR? Kita nolongin orang buat bikin bikin grafis game?"
"Begitulah, Dokter Malia. Sepertinya pekerjaan kita mengalami ekspansi. Dia sudah punya izin."
"Baiklah, Dok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeline 4, The Final Chapter: KEPINGAN WAKTU
Acción©anita-daniel (2021). Karya ini dilindungi oleh UU Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Segala bentuk penjiplakan, pencatutan, penggandaan dan pendistribusian tanpa ijin akan dipidanakan. *** [ON GOING] Ini adalah buku ke 4 seka...