Part 3 - Rumah

104 23 8
                                    

Bumi masih belum menemukan alasan yang tepat untuk ajakan yang satu ini, tapi Malia tahu persis alasan dirinya untuk setuju. Ikatan mereka begitu kuat di masa lalu. Seharusnya, meski begitu banyak pengulangan, ikatan akan tetap sama. Seusai sarapan, keduanya berkendara menuju sebuah kompleks yang terbilang cukup bagus. Bumi berada di belakang kemudi. Dia berjanji akan mengantarkan Malia kembali ke rumah sakit jika mereka sudah selesai memantau renovasi.

Perjalanan itu kaku dan hening. Tidak seorang pun memulai pembicaraan lebih dahulu, tapi tidak seorang pun ingin perjalanan itu berakhir. Mereka menikmati kehadiran satu sama lain dalam diam, seperti di masa lalu. Masa yang harus segera diingat oleh Bumi. Malia berharap agar kapten itu kembali bermimpi tentang mereka, tentang Aryan, Kanaya dan Kotapraja.

"Di sana, Dok." Bumi membuyarkan lamunan Malia dengan menunjuk rumah paling ujung. Beberapa orang pekerja lalu lalang melewati pagar rumah. "Sederhana, tapi menurut saya ..."

"Bagus ..." desis Malia tercenung. Dia terpana dalam hati melihat rumah yang ditunjuk Bumi. Dirinya tidak sabar untuk turun dari mobil.

"Begitu menurut anda?" Bumi berbinar, senang melihat reaksi Malia terhadap rumah yang dibelinya dengan jerih payah sendiri. Dia memarkir mobil dengan sedikit gugup.

Malia mengangguk. "Dari sini aja udah kelihatan, Kapten." Jangan bilang kalau susunan ruangannya sama seperti dulu, dengan perpustakaan dan ruang terpisah untuk menonton televisi. Kamu tidak suka ada televisi di ruang tamu, Bumi. Dia turun dari mobil bagai terserap ke dimensi lain. Malia merasa kakinya melayang.

Bumi tersenyum. Dia merasakan kehangatan menjalar tiba-tiba. Apakah ini semua adalah karena ucapan Ibu? Beliau begitu ingin mewawancarai dokter yang merawat Bumi, melihat potensinya untuk jadi menantu. "Anda memang menyukai bangunan-bangunan?" tanyanya bertambah gugup.

"Pagarnya putih?" Malia balas bertanya. Dia menoleh pada Bumi. "Anda yakin?"

"Nanti akan dicat hitam, Dok," kata Bumi. "Kalau dikasih warna putih ntar cepet kotor."

Persis Bumi yang kuingat, batin Malia. Pagar rumah kita dicat hitam karena alasan yang sama. "Setuju," katanya. "Anda punya perpustakaan dan ruang khusus untuk menonton?" tanyanya langsung, tanpa menunggu.

Bumi tercengang. "Bagaimana anda tahu?" tanyanya takjub. "Saya gak suka ada TV di ruang tamu. Yuk, Dok, saya perlihatkan ruangannya."

Mereka masuk dan melihat-lihat setelah menyapa ramah para pekerja. Renovasi itu hampir selesai. Menurut perkiraan, Bumi bisa menempatinya minggu depan. Malia meringis saat mendapati bahwa seluruh ruangan sama persis dengan rumah mereka yang dulu. Jendela dapur menghadap ke taman, di mana angin sore akan menyapa baling-baling kertas mereka. Namun, baling-baling itu sekarang tidak ada di sana.

"Dulu pas beli gak kayak gini, Dok," jelas Bumi. "Tapi ini yang paling mendekati dengan yang saya mau. Cuma butuh sedikit renovasi, akhirnya jadi begini. Puas dengan kerja para tukang."

"Bagus banget, Kapten," komentar Malia tulus. "Terima kasih untuk tur ini."

"Anda boleh kasih saran kalau bersedia, Dok," sambung Bumi yang hari ini jadi begitu banyak bicara. "Biasanya kan perempuan punya banyak ide."

Malia tertawa. "Jadi, saya perempuan pertama yang anda mintai ide?"

"Habisnya, Ibu bilang terserah." Bumi ikut tertawa. "Tapi beliau senang, anaknya akan mandiri."

Dada Malia bergemuruh. Ibu. Ibu Bumi masih hidup. Ya Tuhan. Entah apa komentar Baruna dan Andaru nantinya. Apakah Ibu Nastiti ingat dengan identitas mereka semua? Malia berusaha tersenyum. "Saran dari Ibu selalu yang paling benar, Kapten."

"Justru itu, Dok. Ibu orangnya gak suka atur-atur ini dan itu." Bumi menghela napas. "Siapa tahu anda mau memberi saran."

"Boleh juga," sahut Malia lagi. "Sepertinya akan lebih baik diberikan pada saat pindahan nanti, Kapten. Baru bisa kelihatan anda butuh apa saja."

Bumi makin berbinar. "Wah, beneran anda akan datang saat saya pindahan? Nanti akan saya kenalkan sama Ibu."

"Ha?"

Keduanya terdiam. Bumi mendadak kembali gugup karena kalimat terakhirnya. "Ma ... maksudnya, saya akan kenalkan sebagai dokter yang sudah menyelamatkan nyawa saya. Gitu, Dok."

Malia menyembunyikan kegugupan dengan menyentuh salah satu dinding. "Warna catnya bagus, Kapten. Iya, tentu saja saya dengan senang hati bersedia menemani pindahan, kalau diajak. Dan juga kenalan dengan ibu anda."

"Anda diajak," putus Bumi tegas. "Minggu depan saya jemput, ya. Di mana pun anda tinggal."

"Saya tunggu."

Bumi mengantarkan Malia kembali ke rumah sakit setelah sengaja berlama-lama menahan dokter itu di rumah. Dia berulang kali memperlihatkan seluruh ruangan, memastikan Malia menganggapnya bagus. Ketika waktu beranjak siang, tidak ada pilihan selain kembali. Mereka berpisah di area parkir rumah sakit, dengan lambaian tangan dan nomor kontak di ponsel masing-masing.

Malia tidak bisa menyembunyikan senyum saat kembali ke bagian klinik. Bumi belum bersama orang lain. Rumah barunya bahkan ditata persis seperti rumah mereka dulu. Hal terbaik dari ini semua adalah fakta bahwa ibunya masih hidup. Malia tidak sabar untuk memberitahu orang tuanya.

"Dok, rantang anda masih di meja," sapa salah seorang perawat begitu melihat Malia. "Maag anda ..."

"Kamu mau?" tawar Malia. "Buat kamu aja. Saya udah makan bareng temen."

"Masakan ibu anda?" Perawat itu sumringah. "Beneran, Dok?"

"Beneran."

"Makasih banget, Dok." Perawat itu tersenyum manis. Ini bukan perkara makanan gratis. Masakan ibunda Dokter Malia memang terkenal enak.

Sementara itu, Bumi menyetir pulang sambil tersenyum. Apa reaksi Ibu saat mengetahui semua ini nanti? Dia harus mempersiapkan diri untuk menerima semua komentar nanti.

Ponsel kapten itu berdering. Bumi memarkir mobil di pinggir jalan. Wajahnya seketika menjadi tegang melihat nama yang muncul. Ayah tidak akan menelepon jika tidak darurat. Beliau tahu, Bumi masih pemulihan.

"Siap, Brigjen," sapa Bumi hormat. "Kapten Aryan Bumi bicara."

"Kapten, bisa ke kantor sebentar?" tanya Ayah. "Ada yang ingin disampaikan."

"Siap, Brigjen."

Bumi menutup ponsel dan meluncur menuju kesatuan tempatnya bertugas. Dia tidak bisa menduga hal yang akan disampaikan Ayah. Bumi berkonsentrasi penuh. Dia sangat berdedikasi pada pekerjaan.

Bumi memarkir mobil di depan kantor, menyapa petugas piket, lalu bergegas menelusuri koridor menuju ruangan Ayah. Dia mengetuk pintu dengan sopan.

"Masuk, Kapten!" Terdengar suara Ayah dari dalam.

Bumi membuka pintu. Dia memberi hormat. "Kapten Aryan Bumi memenuhi panggilan, Brigjen."

"Bumi," kata Ayah sambil tersenyum. Dia menunjuk seseorang yang juga sudah ada di sana. "Perkenalkan, dokter Forensik kita yang baru. Kalian akan sering bekerja sama nanti." Beliau mengangguk pada seorang pemuda tampan yang duduk di kursi tamu.

Pemuda itu berdiri sopan. Dia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan pada Bumi. "Dokter Prima Sapta Nusantara. Senang berkenalan dengan anda, Kapten. Mohon kerjasamanya."

***

Timeline 4, The Final Chapter: KEPINGAN WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang