Part 6 - Vila

67 17 0
                                    

Bumi memandangi Malia cukup lama, tanpa ada niat untuk memalingkan wajah. "Kamu masih pucat," katanya sembari berusaha menghilangkan kesan canggung. "Jangan-jangan kamu sakit." Disodorkannya teh hangat ke hadapan Malia. Wajahnya sama sekali tidak tersenyum.

Malia tertawa canggung. "Sok tahu banget ngomongin penyakit sama dokter," kilahnya. "Aku cuma gugup karena wawancara ... Bumi." Menyebut nama itu secara langsung membuat hati Malia terasa perih. "Jangan khawatir, Kapten."

Bumi menggeleng. "Dan kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari seorang polisi, Dok," timpalnya lugas. "Bukan bermaksud ikut campur, tapi sepertinya kamu takut pada Dokter Prima." Dia ingin menggigit lidah karena merasa sangat lancang, tapi keingintahuannya tidak bisa ditahan. Malia memiliki magnet yang tidak dimengerti oleh Bumi.

Malia tercekat.  Buru-buru gadis itu memasang senyum manis. "Ah, gak kok. Beliau gak menakutkan sama sekali." Dunia mereka berantakan dan berputar arah. Malia tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan pria ini. "Gimana persiapan pindah rumahnya?" tanyanya mengalihkan.

"Gak begitu merepotkan," jawab Bumi. Dia menyadari Malia merasa tidak nyaman. "Belum ada perabotan yang ikut pindah. Semuanya baru akan dipilih nanti. Tinggal bawa baju dikit-dikit. Kamu beneran bisa ikut hari minggu?" Kamu berada dalam mimpiku. Sekarang aku merasa telah cukup lama mengenalmu. Jika kuceritakan, akankah kamu percaya?

"Pasti menyenangkan," lanjut Malia. "Milih-milih perabotan baru dan semuanya. Aku bisa ikut kok hari minggu. Jangan khawatir. Aku baik-baik aja." Dia meminum teh yang disodorkan Bumi lalu menarik napas dalam-dalam. "Semoga residensiku berjalan lancar di sini, Kapten. Sepertinya kita bakal sering ketemu."

Bumi tertawa kecil. "Aku sama sekali gak keberatan," sambarnya segera. "Dokter Prima juga antusias ngajarin kamu."

"Antusias?" Malia mengerutkan kening. "Beliau bilang gitu?"

Bumi mengangguk. "Jangan-jangan, beliau malah suka sama kamu." Sekarang Bumi merasa sangat norak.

Malia terbelalak lalu ikut tertawa kecil. Kilatan masa lalu dari sebuah kehidupan melintas di benaknya. Kanaya, Aryan dan Sapta. "Pak Kapten tukang gosip."

Bumi tertawa lebar. "Syukurlah, kamu akhirnya bisa tertawa."

Malia kembali meminum tehnya. Prima antusias. Apakah dia tidak ingat ataukah sedang berpura-pura? Dipandanginya Bumi dalam-dalam. Malia mengembuskan napas. "Terima kasih tehnya, Kapten," katanya seraya berdiri. "Sampai ketemu hari minggu, ya."

"Nanti kirim alamatnya, ya," pinta Bumi. Dia ikut berdiri. "Biar aku jemput."

Malia mengangguk. Dia tidak ingin kehilangan momen di waktu yang semakin menipis. Dia harus segera mengembalikan ingatan Bumi, suami yang sangat dicintainya. "Nanti aku kirim."

Bumi mengantarkan Malia hingga ke tempat parkir. Dia merasa terintimidasi melihat mobil mewah yang dikendarai dokter itu. Namun, hatinya sedikit hangat mengingat mereka akan bertukar pesan nanti. Ada sesuatu dalam diri Dokter Malia yang membuatnya tidak bisa lepas. Bumi tidak ingin gadis itu terlepas.

***

Gerimis turun menimpa padang rumput luas yang menjadi halaman vila mewah itu. Seseorang sedang memandang ke arah jendela dari dalam. Dia tersenyum memandangi gerimis. Kepulan uap dari cangkir kopi menguarkan aroma hangat yang menyenangkan. Dia beranjak ke sofa. Tidak ada agenda untuk dikerjakan hari ini. Dia bisa berburu tidak lama lagi.

Ponselnya berdering. "Ya," sapanya segera.

"Pak Lesmana," sapa suara di seberang. "Aplikasi kita yang baru diluncurkan, sukses besar di pasaran. Perkiraan keuntungan bisa mencapai jutaan dolar. Harga saham perusahaan naik di angka yang cukup baik per hari ini."

Dia tersenyum. "Terima kasih," katanya. "Terus kabari saya."

Sambungan ditutup. Diraihnya cangkir kopi, lalu dihirupnya isinya perlahan. Beginilah rasanya menjadi kaya raya di kehidupan ini. Ayah sungguh baik telah merancang ini untuknya. Uang memudahkan segala pergerakan, termasuk rencana besarnya untuk menemukan mereka semua.

"Malia ..." gumam Lesmana dingin. "Kamu tahu, Kembaran? Menemukanmu adalah perkara gampang bagiku sekarang."

Lesmana duduk di depan laptop lalu mengetik alamat situs sebuah universitas. Tidak perlu menunggu lama, dia telah berhasil masuk ke dalam pusat data mahasiswa dan dosen yang bersifat rahasia. "Dokter. Hmmm ... Residen Forensik," katanya lagi. "Selalu jadi dokter. Ayah tidak bisa memikirkan profesi lain."

Di layar laptop telah terpampang data Dokter Malia Kanaya berikut alamat lengkap. Lesmana geleng-geleng kepala. "Harusnya kalian buat pengamanan yang lebih canggih." Dicatatnya alamat Malia dengan seksama. "Kita akan segera bertemu, Anak Kesayangan."

Bayangan tentang pertemuan terakhir mereka terlintas di kepala Lesmana dengan jelas. Semua orang terpisah, berpencar dan terlempar. Malia dan Bumi pastilah terpisah. Ayah telah memberinya hidup yang sangat layak di dimensi ini. Dokter itu pasti sedang kacau balau saat memikirkannya. Secara tidak langsung, Baruna telah memberi kesempatan hidup serta kesejahteraan pada orang-orang yang seharusnya telah hancur.

Prima dan Jagad. Tangan Lesmana dengan lincah mengetikkan sesuatu. Alisnya terangkat begitu menemukan hal yang dicari. "Dokter Prima Sapta Nusantara ternyata sekarang jadi dosen Malia. Benar-benar ikatan yang sulit untuk dilepaskan," tambahnya. "Baik. Kita lihat apa yang bisa kamu lakukan, Prima."

Lesmana masih menelusuri hingga menemukan nama Dokter Baruna Dwipa. "Pemilik rumah sakit internasional. Ck, Malia bekerja di sana. Kalian semua di sana, tidak sedikitpun ingat tentangku, anak yang kalian buang demi Malia." Matanya menatap layar penuh dendam. "Kalian akan lihat bagaimana nanti Malia akan hancur pelan-pelan, mati pelan-pelan dengan rasa sakit yang luar biasa."

Lesmana tersenyum samar. Dia tahu ke mana harus mencari kapten itu. Lesmana tidak perlu repot. Kapten Aryan Bumi beberapa hari yang lalu muncul dalam wawancara televisi. Dia hanya perlu memilih salah satu. Malia atau Bumi. Jika yang satu hancur, maka yang lainnya akan ikut hancur dengan sendirinya. Mereka tidak akan tahan melihat penderitaan satu sama lain.

Dia mencatat semua temuan lalu mematikan laptop. Lesmana beranjak ke dapur, mendapati sepuluh baling-baling kertas aneka warna di jendela. Perlahan, diambilnya salah satu baling-baling lalu diremukkannya tanpa perasaan. Satu persatu, baling-baling kertas di jendela remuk dan hancur di tangan Lesmana. Baling-baling itu berakhir di tempat sampah. Besok, dia akan membeli lagi baling-baling kertas, sebagai pengingat misinya dalam kehidupan ini.

Ayah, Ibu, Malia, Bumi dan keluarganya harus hancur. Mereka semua harus hancur.

***

Timeline 4, The Final Chapter: KEPINGAN WAKTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang