"Setelah kejadian beberapa waktu lalu, aku gak punya akses lagi ke Forensik," kata Malia di sela makan malam. "Sekarang kita malah jadi keluarga pemilik rumah sakit besar dan ..."
"Kamu gak butuh akses ke Forensik, Malia," potong Baruna. "Kita hanya perlu menemukan Bumi dan itu sudah terjadi." Dia menghela napas. "Maafkan Ayah soal ingatanmu dan Bumi. Ini memang melelahkan, tapi sekarang kita punya akses tidak terbatas pada kemungkinan rencana yang sedang dibangun Prima, Jagad atau mungkin Lesmana. Ayah tidak bisa menjamin kondisi mereka semua, Malia."
"Sudah," sela Andaru lembut. "Kita sedang makan malam. Jangan bahas hal ini dulu." Dia memandangi Baruna penuh arti. "Putri kita baru saja menemukan Bumi dan mengalami hari yang buruk."
Baruna balas tersenyum. Dia menatap Malia. "Kamu tidak merindukan kamarmu, Nak? Bagaimana kalau malam ini kamu menginap di sini? Mungkin kamu akan merasa lebih baik."
Malia mengangguk. "Ide bagus, Ayah," katanya setuju. "Aku menginap saja malam ini. Kita gak akan bisa menghindari pembicaraan ini. Cepat atau lambat, pasti harus kita hadapi."
Baruna memandangi kedua perempuan yang sangat dicintainya itu bergantian. "Maafkan," katanya. "Hanya kehidupan seperti ini yang sempat terpikirkan sebelum kita semua hancur saat ..."
"Tidak sepenuhnya salah Ayah," sela Malia lembut. "Ayah sudah menyelamatkan kita semua dengan tepat. Bahkan Ibu juga dalam keadaan baik-baik saja dan bisa bersama dengan kita. Lucu saja mengingat di kehidupan sebelumnya, Ayah adalah sahabatku."
"Semoga ini adalah akhir dari semuanya," doa Andaru. "Setelah ini, Ibu hanya ingin hidup tenang dengan kalian, Malia."
"Semoga." Baruna berharap. "Aku tidak ingin putriku menderita terus menerus karena keharusan untuk berpindah-pindah."
***
"Silakan, Kapten." Perawat itu tersenyum ramah. Walau tanpa seragam, dia tahu Bumi adalah seorang polisi. Perawat itu mengenalinya sebagai salah satu polisi yang masuk IGD pada hari terjadinya bentrok dengan remaja-remaja pemilik senjata ilegal itu. "Dokter Malia sudah menunggu."
Bumi berdiri. Dia mengikuti perawat menuju ruang periksa. Klinik pagi itu tidak begitu ramai. Begitu memasuki ruangan Malia, dadanya mendadak berdebar tidak menentu. Dokter itu menyambutnya dengan ramah. Perawat yang tadi memanggil Bumi, ikut menemani.
"Selamat pagi, Kapten Bumi," sapa Malia. "Silakan duduk."
Bumi duduk di brankar dengan patuh. Dipandanginya Malia dengan seksama. Rasa yang tidak asing menyeruak perlahan. "Pagi, Dok," balasnya sedikit gugup.
"Bagaimana lukanya?" Malia mengisyaratkan Bumi untuk membuka pakaian agar dia bisa memeriksa bekas luka tembak di bahu kapten itu. "Masih nyeri?"
"Tidak terlalu, Dok." Bumi membuka kemejanya lalu menyerahkan bahunya untuk diperiksa Malia.
"Pergerakan lengan dan bahu tidak terganggu?" Malia lanjut bertanya. Hatinya menangis karena Bumi tidak ingat apapun tentang mereka. Gadis itu mengangguk. "Luka anda pulih dengan baik."
"Sama sekali tidak terganggu, Dok." Bumi menggerakkan lengannya, sementara Malia kembali ke belakang meja untuk menulis resep. Kapten itu memasang kembali kemejanya. "Bagaimana, Dok?"
"Saya akan berikan resep terakhir. Anda sudah pulih dengan baik, Kapten," jelas Malia. "Tidak perlu kunjungan lagi." Dia menuliskan resep dan menyerahkannya pada perawat.
Perawat menyerahkan kertas resep pada Bumi. "Silakan, Kapten. Anda tidak memerlukan kunjungan lagi. Luka anda sudah dinyatakan pulih."
"Terima kasih." Bumi menerima resep dari tangan perawat. Dia sedikit kecewa karena tidak perlu berkunjung ke tempat Malia lagi. Entah kenapa dia merasakan keharusan untuk berada di dekat dokter ini. "Saya tidak perlu kembali lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeline 4, The Final Chapter: KEPINGAN WAKTU
Action©anita-daniel (2021). Karya ini dilindungi oleh UU Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Segala bentuk penjiplakan, pencatutan, penggandaan dan pendistribusian tanpa ijin akan dipidanakan. *** [ON GOING] Ini adalah buku ke 4 seka...