Pagi itu Aiden terbangun karena suara yang sangat berisik, suara pecahan piring yang menghampiri telinga Aiden. Tak perlu menunggu lama lagi Aiden langsung bangkit dari kasurnya dan menghampiri sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya Aiden melihat Ibunya yang sudah penuh dengan luka-luka, darah yang mengalir dari tangan Ibunya menetes ke lantai. Kelopak matanya merah seperti habis menangis dan terlihat sangat sembab, namun Janet sudah tak bisa lagi mengeluarkan air matanya. Theo memaki-maki Janet sambil memegang botol alkohol di tangan kanannya. Botol tersebut terlihat sudah bersisa setengah, pecahannya berceceran di lantai. Aiden langsung mendorong Ibunya ke belakang, menggantikan posisi Ibunya yang tadinya berhadapan dengan Theo.
"Ayah, sudah cukup! Jangan sakiti Ibu lagi!" raut wajah Aiden tampak sangat marah, dan juga sedih, perasaannya sangat campur aduk.
"Diam kau anak tak berguna!"
Theo menghantam wajah Aiden dengan sangat keras sampai hidungnya berdarah. Aiden terjatuh karena hantaman dari Theo yang sangat keras dan ia tak sanggup untuk menangkalnya. Pandangan Aiden sempat kabur dan semuanya terlihat gelap.
Theo langsung menarik kerah baju Janet, lalu ia mencekik lehernya dengan sangat kencang hingga wajah Janet terlihat pucat membiru. Tanpa pikir panjang lagi Theo menusuk perut Janet dengan botolnya. Aiden terbangun dan terkejut melihat Ibunya yang tengah sekarat. Namun darah yang seharusnya keluar dari perut Ibunya tidak tampak sama sekali. Aiden menyaksikan botol tersebut hanya melayang saja di udara. Janet yang tadinya berhadapan dengan Theo sekarang ia berpindah di belakang Theo.
"Aiden..anakku..tak ada yang janggal lagi kan..?"
Janet tersenyum namun mukanya terlihat sangat sedih. Wajah Janet masih terlihat membiru, dan di sekujur tubuhnya masih ada memar yang membekas. Bekas botol yang masih tertancap di perut Janet juga masih ada, dari perutnya pun mengeluarkan banyak darah. Semua perasaan janggal yang ada di benak Aiden kini telah terjawab. Ibunya telah meninggal malam itu. Aiden merasa sangat sedih, ia pun juga merasa bersalah karena malam itu ia tidak terjaga. Kalau saja malam itu ia terjaga, pasti ia masih bisa melihat Ibunya, atau mungkin ia yang akan menggantikan posisi ibunya. Raut wajah Theo terlihat sangat tenang, ia sama sekali tidak merasa bersalah atas perbuatannya tersebut. Bagi Aiden, Ayahnya ini sudah sakit.
Theo perlahan mengeluarkan pecahan beling yang disembunyikan di telapak tangannya dan mengarahkannya ke muka Aiden.
"Kau juga akan berakhir seperti dia, Aiden."
Pecahan beling tersebut mengenai dahi Aiden dan menggores dahinya hingga mengeluarkan darah. Raut wajah Aiden sangat datar melihat Theo yang melukai dirinya.
"Kau sama saja seperti dia..kamu harusnya tak ada disini..."
Theo tertawa seperti layaknya orang gila, ia tampak sangat senang melihat anaknya sendiri seperti itu. Mungkin Theo tidak pernah menganggap Theo adalah anaknya sendiri.
"Bam..."
Tiga peluru dari pistol milik Aiden menembus kepala Theo. Theo terjatuh dan kepalanya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Matanya melotot seolah-olah ia sangat dendam kepada Aiden, ia menginginkan Aiden mati. Namun apa yang diinginkannya tidak bisa ia lakukan, dirinya sangat lemah. Aiden diam-diam tersenyum melihat Theo tumbang karenanya. Memang, saat Theo sedang sibuk menertawai Aiden, Aiden mengeluarkan pistolnya dari belakang kantong celananya dan mengisi peluru dengan cepat.
"Darimana kau belajar menembak, anak setan...?"
Wajah Theo kian memucat dan badannya semakin melemah. Jantungnya pun berhenti berdetak. Theo melemparkan pistolnya, kemudian mendekati Ayahnya.
"Ayah yang mengajarkanku, bukan..?"
Aiden duduk dengan posisi jongkok sambil menatap Ayahnya. Janet duduk dengan posisi yang sama tepat di sebelah anaknya. "Selamat tinggal, Theo.." Janet mengecup kening Theo dan memutuskan untuk berdiri.
Perlahan Janet berjalan keluar dari rumahnya. Aiden memutuskan untuk mengikuti Ibunya dari belakang. Langkah Janet terhenti tepat di depan pohon besar yang ada di depan rumahnya, lalu ia menoleh dan menghadap ke Aiden. Janet tersenyum dan perlahan ia mulai menghilang. Disitu Aiden menyadari bahwa urusan Ibunya telah selesai. Aiden juga bisa tahu bahwa ternyata Ibunya dikubur secara tidak layak tepat di depan pohon besar itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Luthendorf's
NouvellesKeluarga Luthendorf bisa dibilang keluarga yang jauh dari kata sempurna, dan jauh dari kata harmonis. Setiap harinya Aiden dan Janet, Ibunya, selalu dijadikan pelampiasan amarah Theo. Aiden tak tahan dengan Ayahnya, ia ingin Ibunya segera berpisah d...